nirwan ahmad arsuka

Dunia kita kini, adalah dunia yang sepenuhnya lebur, Demarkasi nilai hampir luruh semuanya. Di dalam narasi kisah-kisah, antara lain, hilangnya kisah-kisah kepahlawanan. Bila istilah ini terlalu agung, boleh diubah dengan Ksatria. Tokoh ksatria hari ini, dianggap hilang dalam narasi zaman. Sementara dalam dunia pra-modern, dunia sebelum Cartesian membuka pintu “aku”, misalnya, teritori geografi masih terbatas. Maka batasan, atau demarkasi, antara nilai “tahu” dan “tidak tahu” masih jelas. Dengan alsaan demikian, di zaman itu, kisah tentang Ksatria masih berlaku. Misalnya pengetahuan “masyarakat perkampungan”. Mereka, antar satu sama lain, sangat mudah bertanya dan mengenal, jika ada kerusuhan antar kampung.

Siapa jagoan di kampung A, kok bisa-bisanya dia membuat tim sepak bola kampung kita dibantai. Siapa jagoan di kampung B,  kok bisa-bisanya dibacok golok, tapi goloknya mental dan patah. Jagoan-jagoan ini, adalah sosok Ksatria bagi masing-masing kampung. Jagoan / Ksatria bukan sekedar petarung. Seorang ksatria adalah sosok yang dihormati, teguh dan berpendirian. Prinisip merupakan ciri soerang Ksatria, sehingga menjadikannya unggul dalam masyarakat.

Barangkali kisah-kisah ini, redup, hilang, hancur, atau hanya berada di pinggiran jurang kisah manusia kontemporer. Meskipun memang orang-orang, atau komunitas, masih ada yang meyakini, bahwa ada sosok Ksatria. Sebagian mungkin merindukannya. Sosok ratu adil dan imam mahdi misalnya. Dalam contoh lain misalnya, cerita popular dalam anime Attack On Titan, seorang Otaku barangkali hidup dalam imajinasi dunia Apocalypse.

Dunia penuh ancaman. Sehingga tembok-tembok berdiri untuk membatasi, dunia yang masuk “zona aman” dan yang tidak. Sehingga betapa gagahnya, saat para pasukan Pengintai habis membantai, meneiliti, dan membawa “kabar baik” dari kondisi Titan terkini, yang berada di luar tembok. Titan adalah ancaman, dan gerombolan Levi adalah seorang Ksatria. Bukan tidak mungkin, Otaku AOT, beserta ragam laman fanbasenya, “menghadirkan” kembali Levi dalam dunianya yang nyata. Memandang tempat lahir dan bertumbuhnya sebagai ancaman, dan membatasi dirinya dalam komunitas terkecil, yang mereka yakini sebagai “kelompok sadar” akan ancaman dunia.

Amtsal lain. Bagi penggila Novel, barangkali tidak asing mendengar Don Quixote. Parabel cerita Miguel De Cervantes, yang berkisah tentang Ksatria Gendeng dari La Mancha. Seorang petani yang tenggelam dalam cerita sastra, lalu mendekam di kamar, dan meninggalkan aktivitas pertanian, lalu lekas mengembara. Kesadarannya dirampas kisah, tapi ia keluar mengembara dengan kisah baru. Ksatria dari La Mancha yang membawa pedang dan bersiap membunuh monster-monster kehidupan. Barangkali pembaca novel itu, akan terpingkal, dan mengejek Don Quixote gendeng. Tetapi bukan tidak mungkin, mereka juga menghadirkan ini dalam realitas kehidupan mereka. Mencari, menilai, dan melihat siapa yang tepat disematkan sebagai seorang yang mirip dengan Don Quixote.

Hanya saja, Don Quixote berbeda dengan Mushahsi. Saya mengatakan Mushashi seorang Ksatria berpedang. Seorang Samurai. Dalam Jepang era Feodal, seorang Samurai adalah alat pemenggal kepala seorang tuan. Mereka yang memiliki kuasa dan jabatan, mesti memiliki Samura sebagai tangan kanan, bila kekuasannya terganggu. Sayang ketika era Feodal Jepang runtuh, Samurai kehilangan orientasi pedangnya. Istilah sematan untuk menamakan Samurai yang kehilangan tuannya adalah Ronin.

Peribahasa lain mengatakan, bahwa Ronin adalah anjing-anjing ganas yang kehilangan tuannya. Karena seorang Samurai sejatinya hanya memiliki orientasi mengayunkan pedang, sejauh ia memilii tuan. Jika tuannya mati, Samurai tidak lain hanya sebatas anjing liar. Tetapi Mushahsi bukan Ronin sembarangan. Setelah Era Feodal runtuh, ia tidak berontak mencari panggung, berduel antar sesama ronin. Kendati dalam masa-masa peralihan itu, Mushahsi terkenal sebagai Samurai ganas, yang tak pernah menuai kekalahan sekalipun dalam pertandingan adu pedang. Mushahi memilih menyepi dari hiruk pikuk kehidupan Samurai ke pinggiran hutan. Dalam film 47 Ronin, Musashi digambarkan tinggal di sebuah rumah berbahan kayu, dengan ukuran 5 x 6 dengan anjing kecilnya. Di tempat itu, ia merefleksikan seluruh jalan hidupnya sebagai Samurai, dalam buku The Book Five Of Rings. Buku yang memuat ajaran dan nilai-nilai seorang Ksatria Samurai, seorang Ronin, mulai dari ilmu berpedang, sampai cara berperilaku.

Cervantes menulis Don Quixote sebagai petanda Novel Modern. Seolah ia lahir sebagai pertanda modernitas. Benar memang, penulis berhasil mengontruksi ulang citra seorang Ksatria. Seorang yang memiliki nilai luhur, dan diganti sebagai sosok gendeng. Ksatria Modern yang jenaka.

Berbeda dengan Levi yang penuh nuansa heroisme, yang hadir dalam gambaran era mitologi kuno, adalah seorang Ksatria yang teguh, hampir serupa dengan Mushasi, meskipun Mushahi bukan Ksatria yang mati di pertarungan. Setidak-tidaknya menjelang kematian dengan statusnya sebagai Ronin, Musashi berhasil menjadi Guru. Istilah lebih radikal, barangkali Mushahsi adalah Syaikh Akbar bekas petarung. 

Seorang Ksatria redup, benarkah, biar kita menguji ini sebaik mungkin. Barangkali memang benar adanya, jika Ksatria hilang dalam narasi cerita kehidupan hari ini. Siapa yang menghilangkan, atau faktor apa yang membuatnya hilang dan menyepi. Saya kira relasi sosial-lah, yang menentukan ini. Dalam relasi sosial, dari sirkular kerja yang berputar pada sistem kapital, seorang Ksatria bukan sosok luhur. Ia hanya akan menjadi lelucon media, yang akan menghadirkannya sebagai tontonan. Di era Kapitalisme Pasca-Fordis, saat produksi besar-besaran membutuhkan media penghantar iklan dalam dunia pasar, kiranya Ksatria ini lahir dalam gegap gempita komoditas yang liar. Nirwan adalah salah satunya, saya kira. Dari ketiga contoh di atas, Nirwan adalah seorang ronin.

Saya mengenal Nirwan Ahmad Arsuka melalui pidato kebudayaannya di Dewan Kesenian Jakarta, melihat dirinya berpidato dengan baik melalui kanal Youtube DKJ. Beruntung saya mengenal dirinya sebelum ia wafat 8 Agustus lalu. Pidato itu berjudul Percakapan Dengan Semesta.

Pidato menarik tentang kritik kebudayaan kita, yang hidup dalam siklus Antroposen. Singkatnya pidato ini menawarkan paradigma seorang moyang yang terlanjur dianggap kuno. Moyang Nusantara yang menegaskan kehidupannya sebagai satu-kesatuan dengan Semesta. Cara hidup yang menubuh dengan Semesta. Kosmologi Nusantara dalam bentuk tata sosial yang Feodal, kira-kira begitu. Saya kutip penggalan pidatonya yang mengkritik cara pandang Sutan Takdir Alisjahbana, sebagai pengagum dunia Barat, dan kaitannya dengan pengetahuan arketip Nusantara.

Keterbukaan pada pengetahuan baru, yang berkaitan dengan kemampuan menghasilkan ciptaan akal budi yang memukau, memang bukan barang asing di Nusantara. Akar-akarnya pun bisa ditelusuri sampai puluhan ribu tahun yang silam. Tahun 2014 kemarin, Jurnal Nature dan Antiquity masing-masing memuat dua hasil penelitian yang menarik: Pleistocene cave art from Sulawesi, Indonesia dan The global implication of the early surviving rock art of greater Southeast Asia. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa manusia pra-aksara penghuni Asia Tenggara adalah makhluk kreatif dengan kemampuan artistik yang hebat. Mereka sudah mampu menciptakan karya seni yang bahkan mendahului sekitar 5000 tahun rock art di Eropa. Penelitian itu antara lain menandaskan bahwa 12 karya hand stencil dan 2 animal painting “babi-rusa” yang terletak di Leang-Leang, Maros, telah ada paling tidak sekitar 40.000 tahun lampau.

 Kalau hanya untuk menyamai otak Barat, otak manusia Nusantara ini memang belum perlu dibongkar dan diasah, sebagaimana yang pernah diserukan Sutan Takdir Alisjahbana dalam Polemik Kebudayaan yang terkenal itu. Lukisan cadas di Leang-Leang yang terbentang di wilayah Maros dan Pangkajene, ikut menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan otak umat manusia di berbagai penjuru, kurang lebih hampir sama, dan nalar umat manusia dengan segenap daya ciptanya, telah menyala sejak leluhur kita merantau keluar dari Afrika.

Nirwan adalah seorang lulusan Teknik Sains UGM. Namun dasar pengetahuan ini, tidak membuatnya keranjingan menjadi seorang Teknisi dalam bidang tersebut, untuk memajukan “Pembangunan” Indonesia. Hal yang lazim ditemui dalam iklim intelektual Indonesia. Seorang Messiah yang gagap ingin merubah segala sesuatu dengan pengetahuan yang dimilikinya. Memang ia jenis intelektual yang berbeda, ia lahir untuk kebudayaan dan kesenian. Dalam ulasan Hamid Basyaib tentang Nirwan, bahkan Nirwan, dalam aktivitas literasi yang ia bentuk – Pustaka Bergerak – bukan jarang berani tidur di tempat hasil ngontrak, dengan kamar penuh buku.

Buku yang bukan untuk dirinya. Buku yang ia kirim untuk anak-anak di seluruh penjuru Indonesia, yang minim akses buku dan mentor belajar. Ia siapkan Kuda, Perahu, Motor, bahkan mungkin pesawat jika dia hidup lebih lama, untuk mengajak anak-anak ini belajar. Memotong laut, membelah gunung, dan asing di pulau berhari-hari. Karena bagi Nirwan, jenis apapun pengetahuan yang terima, adalah Akal Budi yang menentukan kita berpendidikan atau tidak. Ia yakin hal itu. Demi mencapai keyakinan akar peradaban adalah Akal Budi, Nirwan, dalam kiasan Basyaib sekali lagi, bahkan rela menyumpal mulut anak-anak selama seharian degan buku di seluruh penjuru Indonesia.

Nirwan keluar dari Pembangunan-isme Indonesia yang terus menelan korban masa depan generasi. Membantu ibu-ibu yang keteteran menyekolahkan anaknya yang biayanya kian mahal. Ia menyep, dari rekan segenarasinya yang, barangkali sedang gila-gilanya membeli mimpi pembangunan demi Indonesia yang lebih maju dengan Industri. Apalagi kondisi mutakhir kini, ketika narasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir sedang mencuat. Demi akal-budi, demi peradaban, demi anak yang kelimpungan berhadapan dengan tantangan zaman, Nirwan menyepi. Ia lepas dari tuannya, rezim dan pemilik modal, untuk membangun negeri yang fiskal menuju aras spritiual. Nirwan adalah Ronin hari ini, atau Don Quixote yang lain? Atau ia seorang Ackermann? Biar sejarah yang “menyingkap”.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here