Sumpah pemuda, momen heroik yang selalu diperingati dengan romantis. Terlihat dari aneka panggung perayaan sumpah pemuda yang selalu dibingkai retro khas nasionalis, seperti upacara bendera atau panggung-panggung pembacaan isi sumpah pemuda.
Bagi beberapa kalangan, sumpah pemuda dimaknai sebagai simbol perjuangan. Momen itu dapat dilihat dari para mahasiswa yang mengadakan aksi dengan suara menggelegar saat orasi.
Aksi semacam ini biasanya diwarnai oleh sumpah serapah hingga refleksi yang ditutup dengan pembacaan isi sumpah pemuda dan sumpah rakyat Indonesia.
Di kutub lain, sumpah pemuda juga menjadi lumbung rezeki bagi para pendesain grafis dan percetakannya. Tamu rezeki ini diraih karena banyak politisi atau organisasi nonpemerintah sampai kalangan pemerintah baik sipil maupun militer yang biasanya akan menampilkan pesan heroik beserta foto-foto pimpinannya sebagai bentuk peringatan Hari Sumpah Pemuda.
Masih di kutub yang sama, media sosial juga mulai kebanjiran poster-poster dengan kalimat heroik sampai motivasi dari e-poster yang polanya tak jauh beda dengan versi cetak—tidak ada improvisasi, monoton menjurus jelek.
Berbeda dengan apa yang saya tuliskan di atas, di sini saya ingin bercerita tentang dua sosok pemuda yang boleh dibilang anti-mainstream. Akan tetapi, saya tidak akan sebutkan siapa mereka demi privasi.
Dua pemuda ini tidak suka tampil di publik dan jangan harap mereka akan membuat poster atau ucapan-ucapan heroik. Mereka cukup membuktikan filosofi cinta akan tanah airnya dengan bergerak dari komunitas ke komunitas, terutama dalam upaya untuk menyelamatkan masa depan kampung halaman mereka dari gempuran eksploitasi sumber daya alam.
Saya mengenal mereka dari organisasi yang sedang saya singgahi, sebuah organisasi yang bergerak di isu lingkungan hidup. Perkenalan dengan mereka sangat sederhana, tidak ada obrolan teoretik atau yang menonjolkan intelektualitas.
Malahan pertemuan kami dimulai dari obrolan ringan penuh dengan candaan, sangat jauh dari kesan bahwa mereka adalah pejuang lingkungan hidup. Saya berani mengatakan ini karena melihat dengan mata kepala sendiri.
Mereka bergerak dalam senyap ketika mendengar ada ancaman terhadap alam di kampungnya, terutama kawasan sumber mata air. Mereka mencintai kampungnya dan sumber mata air melebihi ucapan kosong politisi yang doyan mengobral kepalsuan.
Dari merekalah saya belajar banyak mengenai pentingnya menjaga alam, khususnya sumber mata air. Jika dilihat dalam kesehariannya, mereka hanya pemuda biasa—sama juga seperti saya, dipenuhi kerentanan hidup.
Bedanya mereka sudah memiliki keluarga kecil, sementara saya belum. Secara ekonomi, mereka termasuk golongan rentan, pemuda pertama merupakan peternak kecil dan membuka warung kelontong di rumahnya.
Kemudian pemuda yang satu lagi bertani dan terkadang serabutan. Baru-baru ini dia menjadi mitra ojek online, dia pun tidak malu dengan profesinya meski berstatus alumnus salah satu kampus top di Jawa Timur.
Di tengah kerentanan hidup yang serba tidak pasti, mereka tetap bisa konsisten di jalan-jalan penyelamatan lingkungan hidup. Mereka tidak pernah mengeluh meski kadang susah secara finansial.
Bahkan dalam kehidupan sosial sebagai konsekuensi aksi-aksinya, mereka harus dimusuhi banyak orang termasuk keluarga sendiri. Anehnya, mereka sekalipun tidak membenci orang-orang itu.
Dua pemuda ini mendedikasikan hidupnya untuk menyelamatkan mata air di kampung mereka. Ketika ada ancaman terhadap situs tersebut, mereka akan langsung bergerak melindunginya dengan sekuat tenaga.
Selama perjalanan penyelamatan mata air, mereka telah mengorganisir banyak orang untuk mendorong perubahan kebijakan dan mewujudkan tata kelola wilayah yang lebih peduli dengan lingkungan hidup dan masyarakat kampung.
Dari fase radikal dengan mobilisasi massa, pembangkangan sipil dengan tidak membayar pajak secara kolektif sampai fase-fase sunyi. Saat itu, satu persatu kawan yang membersamai mereka menghilang satu persatu.
Bahkan beberapa menjadi lawan, karena sudah nyaman menjadi pejabat kampung. Mereka tetap pada pendiriannya berada di jalan penyelamatan lingkungan hidup.
Filosofi hidup mereka sederhana, lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak dasar yang seharusnya dilindugi dan dijamin oleh negara melalui pemerintah. Akan tetapi, sering kali hal tersebut hanya formalitas saja, praktiknya sangat jauh dari kenyataan.
Gerakan yang mereka lakukan dilandasi sebuah keyakinan, yakni “warisi mata air, bukan air mata.” Makna dari kalimat tersebut adalah lingkungan hidup harus terjaga baik, seperti sumber mata air.
Sebab sumber mata air tidak hanya milik generasi yang lalu dan sekarang, tetapi juga milik generasi yang akan datang. Menghancurkan alam terutama sumber mata air sama saja dengan menghancurkan kehidupan generasi yang akan datang.
Uang pun tidak akan ada artinya jika air hilang, oksigen menipis, dan cuaca semakin panas. Jika hari ini dengan uang seolah-olah dapat membeli semua, tetapi di masa depan kala lingkungan hancur, uang hanya seonggok kertas yang tak bernilai.
Sebab yang paling bernilai adalah air, oksigen, tanah yang subur, dan indahnya pohon-pohon yang berwarna hijau. Saya belajar dari kedua pemuda itu mengenai apa arti mencintai tanah air, apa arti sumpah pemuda yang sesungguhnya.
Tidak perlu kata-kata heroik nan motivasional sampah, tetapi yang dibutuhkan sesungguhnya adalah menjadi manusia yang peka terhadap sekitarnya, baik dengan sesama manusia maupun yang bukan manusia. Bergerak melindungi lingkungan hidup adalah kewajiban, karena manusia tidak bisa hidup tanpa lingkungan yang terjaga dengan baik.
Manusia tidak bisa hidup sendiri, mereka membutuhkan air, udara, sinar matahari, rumput, pohon, serangga, dan lainnya sebagai kesatuan harmonis—saling mendukung untuk menunjang kehidupan yang lebih baik.
Tugas manusia bukan sekadar mempertahankan hidupnya sendiri, melainkan juga harus menjaga ekosistem termasuk di dalamnya manusia, hewan, tumbuhan, batu, air, udara dan lain-lainnya.
Semoga catatan ini bisa mendorong kalian untuk memahami bahwa melindungi lingkungan hidup adalah tugas bersama—untuk adik-adik dan anak-anak kalian di masa depan. Mencintai sesungguhnya adalah berkorban demi masa depan yang lebih baik untuk kemanusiaan dan keberlanjutan bumi.