Tahukah Anda bahwa salah satu tokoh sastra paling produktif di Indonesia pada era Balai Pustaka juga tercatat sebagai perintis kemerdekaan Republik Indonesia? Dialah Nur Sutan Iskandar, seorang penulis yang lahir pada 3 November 1893 di Sungaibatang, Maninjau, Sumatera Barat. Nama aslinya adalah Muhammad Nur, tetapi setelah menikahi Aminah, ia dianugerahi gelar Sutan Iskandar oleh keluarga istrinya. Sejak itu, ia dikenal dengan nama Nur Sutan Iskandar, yang menjadi identitasnya hingga akhir hayat.
Nur Sutan Iskandar adalah seorang sastrawan yang sangat produktif pada masa kolonial Belanda, khususnya di era 1920-an hingga 1950-an. Ia mulai menulis novel sejak awal 1920-an, dengan fokus utama pada isu-isu adat dan konflik antara generasi muda dengan nilai-nilai tradisional, terutama dalam hal perkawinan. Dua karya terkenalnya, “Hulubalang Radja” dan “Salah Pilih,” masih sering dibicarakan hingga kini sebagai cerminan perjuangan sosial dan budaya pada masa itu.
Perjalanan karier Nur Sutan Iskandar dimulai dari dunia pendidikan. Meskipun gagal dalam ujian guru bantu, ia tetap gigih dan akhirnya diterima sebagai guru baru di Muara Bakti, Palembang, pada tahun 1911. Tiga tahun kemudian, ia dipindahkan ke Padang dan mengajar di sekolah rendah. Pengalaman mengajar ini membentuk disiplin dan dedikasinya yang kemudian sangat berpengaruh dalam dunia sastra. Pada tahun 1919, ia pindah ke Jakarta dan bergabung dengan Balai Pustaka, lembaga penerbitan milik pemerintah kolonial yang berperan besar dalam perkembangan sastra Indonesia.
Di Balai Pustaka, Nur Sutan Iskandar mulai sebagai korektor naskah Melayu. Kariernya berkembang pesat, dan pada tahun 1924, setelah lulus ujian Bureau Cursus, ia diangkat sebagai redaktur. Dari sinilah ia mulai menunjukkan bakat menulisnya. Sebagai redaktur, ia tidak hanya menyunting karya-karya orang lain, tetapi juga mulai menulis karyanya sendiri. Karyanya sering kali mengangkat tema-tema sosial yang relevan dengan kondisi masyarakat saat itu, seperti pernikahan paksa, perjuangan melawan adat, dan konflik antara nilai-nilai tradisional dengan modernitas.
Salah satu karya yang paling mencolok dari Nur Sutan Iskandar adalah “Neraka Dunia” yang diterbitkan pada tahun 1937. Karya ini terinspirasi dari pengalamannya berkeliling di tempat-tempat pelacuran di Surabaya bersama Dr. Sutomo, pendiri Budi Utomo. Pengalaman ini memberikan perspektif baru bagi Nur Sutan Iskandar tentang kehidupan sosial yang kemudian dituangkan dalam tulisannya. “Neraka Dunia” menjadi salah satu karya sastra yang menggambarkan sisi gelap kehidupan kota kolonial dengan sangat mendalam.
Selain sebagai penulis, Nur Sutan Iskandar juga aktif dalam berbagai organisasi politik dan kebudayaan. Ia pernah menjadi pengurus Budi Utomo pada tahun 1929 dan menjabat sebagai bendahara Partai Indonesia Raya (Parindra) dari tahun 1935 hingga 1942. Setelah Indonesia merdeka, ia bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan terpilih sebagai anggota Konstituante pada pemilihan umum tahun 1955. Aktivitas politiknya ini memperkuat posisinya sebagai salah satu tokoh perintis kemerdekaan Indonesia.
Sebagai seorang sastrawan, Nur Sutan Iskandar memiliki karya yang sangat beragam. Selain menulis novel, ia juga aktif dalam menerjemahkan karya-karya sastra dunia ke dalam bahasa Melayu. Beberapa karyanya yang terkenal antara lain “Apa Dayaku karena Aku Perempuan” (1923), “Cinta yang Membawa Maut” (1926), “Abu Nawas” (1929), “Tuba Dibalas dengan Susu” (1933), dan “Cinta dan Kewajiban” (1941). Di bidang terjemahan, ia menerjemahkan karya-karya besar seperti “Tiga Orang Panglima Perang” karya Alexander Dumas dan “Anjing Setan” karya Arthur Conan Doyle. Karyanya yang beragam ini menunjukkan kepiawaiannya dalam berbagai genre sastra, baik karya asli maupun terjemahan.
Kiprah Nur Sutan Iskandar di dunia sastra dan politik tidak hanya diakui di dalam negeri, tetapi juga oleh pemerintah Indonesia. Pada tahun 1961, ia dianugerahi Satyalencana Kebudayaan atas kontribusinya yang besar dalam mengembangkan budaya dan sastra Indonesia. Penghargaan ini semakin mengukuhkan posisinya sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah sastra Indonesia.
Tidak hanya sebagai sastrawan, Nur Sutan Iskandar juga berperan sebagai pendidik. Pada tahun 1950, ia menjadi dosen di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, di mana ia membagikan pengetahuan dan pengalamannya kepada generasi muda. Peran ini menunjukkan dedikasinya yang tinggi terhadap pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia di Indonesia.
Karya-karya Nur Sutan Iskandar hingga kini masih menjadi bahan kajian dan inspirasi bagi banyak penulis dan pembaca. Melalui karyanya, ia berhasil menggambarkan berbagai persoalan sosial dan budaya yang relevan pada masanya dan tetap relevan hingga kini. Warisannya sebagai seorang sastrawan, pendidik, dan pejuang kemerdekaan akan terus dikenang dalam sejarah sastra dan budaya Indonesia.
Sebagai seorang tokoh yang aktif dalam dunia sastra dan politik, Nur Sutan Iskandar telah memberikan kontribusi yang luar biasa bagi perkembangan sastra Indonesia. Karyanya yang kaya dan beragam serta peranannya dalam perjuangan kemerdekaan menjadikannya salah satu tokoh yang patut dihormati dan dikenang.