Pramoedya Ananta Toer, atau akrab dipanggil Pram, adalah sastrawan besar Indonesia yang mendunia. Ia lahir di Blora 6 Februari 1925 dengan nama asli Pramoedya Ananta Mastoer. Tapi lantaran sang pemilik nama ini merasa awalan Jawa “mas” pada nama belakangnya itu terkesan aristokratik, dia pun menghilangkannya, padahal Mastoer itu sendiri adalah nama ayahnya. Nah, dari urusan nama saja, sudah terlihat karakter pemikiran Pram yang tak ingin menempatkan dirinya dengan status sosial yang tinggi di masyarakat.
Pram juga lahir dari keluarga guru. Ayahnya kepala sekolah Institut Boedi Oetomo, di mana dia mengenyam pendidikan di sekolah dasar itu. Tapi di sekolah itu juga Pram tidak naik kelas sampai tiga kali. Ya, tiga kali! Tentu saja hal itu membuat ayahnya malu luar biasa. Apakah karena itu Pram kemudian dicap sebagai anak bodoh? Entahlah. Tapi yang pasti bibit-bibit perlawanan, kalau tak ingin disebut pemberontakan, sudah tumbuh dalam dirinya sejak masih di sekolah dasar.
Kehidupan Pram sejak muda penuh perjuangan. Di usia 17 tahun, sepeninggal ibunya, dia memutuskan merantau ke Jakarta dengan membawa adik-adiknya. Sejak itu, jadilah dia tulang punggung keluarga. Untuk membiayai kehidupannya dan kehidupan adik-adiknya, Pram bekerja di kantor berita Domei. Sambil bekerja dia juga meneruskan sekolahnya di Taman Siswa dan mengikuti kursus di sekolah stenografi. Baru kemudian di tahun 1945 Pram melanjutkan studinya ke sekolah tinggi Islam jurusan filsafat, sosiologi dan sejarah.
Baru tahu kalau Pramoedya Ananta Toer itu Aristokrat, tapi terlepas status sosialnya dia adalah seorang Pejuang