Diam
Sumber foto: Kompasiana.com

Ma’nya –bukan nama aslinya dan dia tidak pernah memberitahu siapa pun– adalah janda tua asal Surabaya yang bekerja sebagai tukang cuci pakaian persis satu dekade bulan ini. Kematian suaminya tidak saja menyakiti perasaannya. Anak-anaknya yang tampak sehat dan bugar, menitipkan anak-anak mereka dan seorang lelaki bujang yang malas tinggal bersamanya dan harus dia hidupi pula selama bertahun-tahun. Selama bertahun-tahun dia mengetuli pintu demi pintu rumah tetangga; harap-harap ada pakaian kotor menumpuk di sana. Semakin tinggi tumpukan, semakin besar pula upahnya. Demikian ini, dia harus mengerahkan semua tenaganya di hadapan ember hitam agar tidak kalah jauh dari kecepatan mesin cuci di gerai-gerai laundry.

Anak pertamanya yang telah dia berikan kepada keluarga Kristen sejak kecil dan menjadi umat Kristen, menikahi seorang jemaat dan mereka sama-sama bekerja sebagai buruh di pabrik makanan di Mergomulyo; jalan perlintasan Surabaya, Gresik, dan Lamongan yang di sana engkau dapat melihat pabrik-pabrik tumbuh menjamur dan subur, karena keringat dan keberanian para buruh untuk memperkaya pemiliknya. Mereka memiliki dua anak, semua laki-laki yang mereka titipkan kepada Ma’nya. Tidak ada yang tahu dan untuk apa menerka, apakah Ma’nya diupah untuk itu. Sementara itu, anak kedua dan anak ketiganya tertangkap basah menjambret di gang tetangga. Habislah mereka di tangan para hakim jalanan dan penjara! Namun tersiar kabar. Setelah bebas, lagi-lagi mereka tertangkap basah mengedar sabu! Dan, mereka juga menitipkan anak-anak mereka, lelaki dan perempuan kepada Ma’nya. Ma’nya, habislah engkau!

Empat puluh sembilan kaki dari Gereja, persis di hadapan toko buku milik seorang keluarga kecil, dapatlah engkau melihat rumah sederhana bercat biru langit agak kehijauan luntur. Di sanalah, pada hari Senin sore, Rabu sore, dan Jumat sore Ma’nya mengunci pintu rumah itu dan bersembunyi dan melarang cucu-cucunya bersuara sekatapun! Seorang tetangga, perempuan, pernah menceritakan kepada si pemilik toko buku mengapa Ma’nya bersikap demikian, seakan-akan pada hari dan waktu tertentu itu dia akan dibunuh.

“Dia berhutang kepada Bank,” kata si tetangga. “Lima juta, barangkali. Untuk membeli telepon pintar agar kedua cucunya dapat mengikuti sekolah dari rumah. Dan, tidak lain! Dua petugas gagah dan tinggi yang datang ke rumahnya itu adalah petugas Bank! Oh. Kadang, meski tidak ada hubungannya denganku, aku menyayangkan bagaimana Ma’nya diperlakukan oleh anak-anak dan negaranya! Tapi… oh! Orang seperti kita, lebih baik diam.”

Memang. Orang-orang yang kerap ke Gereja, ke Masjid, dan tampak taat dalam acara-acara keagamaan, memilih diam ketika berhadapan dengan Ma’nya. Perasaan mereka sebagai manusia, benar-benar diam dan luntur! Tangan mereka seperti sengaja dikakukan agar tidak mengulurkan kebaikan atau pertolongan! Dan, Ma’nya, tidak sekali pun menyuruh orang-orang untuk menolongnya. Dalam persembunyiannya, kerap dia berdoa kepada Tuhan agar para petugas Bank itu segera pergi dan tidak mencar-carinya lagi. Sebagai doa, itu mungkin doa yang memilukan, tetapi jika sebagai pelarian, Bank tidak akan membiarkan Ma’nya hidup begitu saja, seenaknya! Tanpa perlu membayar hutang. Tidak akan.

Pada suatu waktu, ketika matahari di Surabaya semakin kejam, Ma’nya tidak menemukan selembar pun pakaian kotor milik tetangganya. Itu hari Minggu. Karena itu, dia duduk berjam-jam di pekarangan rumahnya yang menyatu dengan jalan gang sembari meremas-remas kertas plastik kosong. Tidak ada yang bisa dimasak untuk hari ini, gumamnya. Tiba-tiba, datang dua orang lelaki gagah dan tinggi dan menanyakan apakah janda tua yang duduk itu adalah Ma’nya. Namun, Ma’nya berbohong. Dia katakan bahwa dirinya adalah pelanggan yang sedang menunggu Ma’nya pulang dari pasar.

“Tuan-tuan,” kata Ma’nya, “Mengapa Tuan-tuan datang ke sini? Barangkali ada pesan yang bisa kusampaikan kepada Ma’nya?”

Tanpa mencurigai, salah seorang petugas menjawab, “Pemilik rumah ini telah melewati tempo pembayaran hutang. Kami ke sini untuk mengambil hak kami, tetapi acap kali kami datang, pemilik rumah ini selalu tidak ada. Jam berapa dia biasanya berada di rumah?”

Ma’nya menjadi gugup.

“Tidaklah aku memiliki kemampuan mengetahui itu, Tuan-tuan.”

“Baik. Kami akan di sini sepertimu, menunggu Ma’nya.”

Habislah engkau, Ma’nya! Habislah! Selama beberapa jam kedepan, engkau akan menjadi orang-orang diam dengan tetap menjaga kebohonganmu agar selamat dari para petugas Bank itu! Ha-ha-ha… bukan demikian? Demikianlah, selama berjam-jam Ma’nya duduk saling berhadapan dengan dua petugas Bank itu tanpa bicara sekata pun, hingga cucu-cucunya datang kepadanya. Ma’nya mengedipkan matanya berkali-kali kepada cucu-cucunya  agar berlalu pergi. Akan tetapi, mereka masih terlalu kecil untuk mengerti bahasa tubuh.

“Ma’nya, aku ingin membeli layangan!” kata cucunya yang laki-laki. “Teman-teman semua punya layangan!”

“Ma’nya, aku ingin membeli paket data untuk menyelesaikan tugas sekolah!” kata cucunya yang perempuan.

Ma’nya, habislah engkau!

Kedua petugas Bank itu bangkit dan menghampiri Ma’nya. Mereka membawa paksa Ma’nya dengan kuda besinya tanpa perlawanan. Hari itu juga Ma’nya harus membayar hutang-piutangnya kepada Bank beserta bunga-bunganya, sedang tidak selembar pun pakaian kotor milik tetangga dia cuci di hari yang sama. Hampir semua tetangga keluar dari rumah mereka, ada juga berdiri di balik jendela menyaksikan kejadian itu tanpa berkata barang sekata pun dan hanya hembus nafas mereka yang terdengar, kemudian diam.

Surabaya, 2021.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here