Suasana seketika gempar. Hadirin saling bertukar tatap, mencari-cari siapa yang nekat membawa kucing liar bertampang lusuh itu ke dalam ruang sidang yang sakral. Setelah ditelusuri, orang-orang termasuk majelis hakim kian kelimpungan karena hewan itu betul-betul datang tanpa pendamping, tanpa tuan.
Namun, kucing berloreng tiga itu sama sekali tak peduli dengan situasi canggung yang dia timbulkan. Seiring dengan bau amis yang meruap ke tiap sudut, dia meneruskan langkahnya dan tetap memusatkan mukanya ke meja hakim yang menjulang di hadapannya.
Kucing liar itu kemudian duduk di kursi yang telah disediakan, melemparkan pandangan ke sekeliling, lalu mengangguk pelan ke arah Hakim Ketua yang memimpin sidang gugatan. Selanjutnya, diraihnya map cokelat berisi gundukan kertas yang dia seret di antara giginya.
“Baiklah, lelucon apa ini?” kesabaran Hakim Ketua menyusut.
Kendatipun demikian, kucing liar itu tak serta-merta menghiraukannya. Dia berupaya menjaga etika. Melalui matanya yang memicing, dia mengamati gerak-gerik sang hakim dengan saksama sebelum akhirnya menumpahkan kata-kata dari balik kerongkongannya.
“Demi Bhatara Kucing, saya menggugat pemerintah atas kelalaiannya dalam pemenuhan hak warga negara.”
***
Muhis, Balu, dan Kancul sedang asyik berbincang di sebuah serambi besar yang terhampar di rumah Menteri Ketenagakerjaan. Itu adalah petang kesekian yang mereka lalui bersama, ditemani bercangkir-cangkir kopi, camilan yang tumpah ruah, dan kepulan asap rokok.
Mereka bertiga, yang sudah berkawan sejak SMP, tengah melepas lelah setelah seharian bekerja merenovasi langit-langit perpustakaan pribadi milik sang pejabat. Dua pekan lalu, mereka diminta membuatkan sebuah mezanin apik beralaskan kayu gaharu untuk perpustakaan seluas lima meter persegi itu.
Berkat relasi yang dimiliki Kancul, ketiga lelaki itu memang sudah melanglang buana ke rumah-rumah megah di daerah perkotaan. Bila sedang tertimpa rezeki, adakalanya mereka menangani proyek pembangunan kolam renang, paviliun, bahkan kamar anak seukuran garasi untuk empat mobil.
Namun, sebanyak apa pun pujian yang mereka raih dari sanak saudara di kampung, mereka menganggap keistimewaan itu tak ubahnya kutukan. Mereka terlalu banyak menyaksikan kemewahan dan kemalangan di saat yang bersamaan. Di satu momen, mereka bisa saja berleha-leha di tepi balkon sambil menikmati awan, tapi juga merasakan kesedihan atas diri mereka karena tabungan yang kunjung menebal.
“Ini gila,” kata Muhis.
“Gila kenapa?” sahut Balu.
“Bayangkan, entah sudah berapa lama kita mengaso di rumah Menteri Ketenagakerjaan ini tapi tidak ada satu pun dari kita yang punya pekerjaan tetap.”
“Bukankah kita dibayar sebagai tukang bangunan?”
“Ya, tidak salah,” Muhis melanjutkan, “tapi kalau dihitung dari upah harian yang kita terima, ditambah biaya hidup yang terus naik, kapan kita bisa pulang kampung dan kawin?”
“Betul juga,” sambut Kancul yang lebih banyak diam, “seluruh keluarga sampai bosan menagih janjiku lima tahun silam.”
“Apa sebaiknya kita buka angkringan saja setelah ini?” timpal Balu lagi, “kata Pak Menko, usaha kecil-kecilan bisa mengangkat perekonomian orang-orang seperti kita, kan?”
“Pemerintah itu licik. Mereka sengaja gembar-gembor soal betapa bagusnya memulai usaha kecil dan menengah. Padahal itu sama saja membiarkan kita menanggung beban sendirian agar mereka tak perlu repot-repot membuka lapangan kerja.”
“Ah, mereka menelantarkan kita!” pekik Balu.
“Lantas, kita harus bagaimana?” Kancul bertanya seraya menyesap kopinya.
“Solusinya jelas: kita mesti menggugat pemerintah.”
Jeda sejenak. Meski telah dirancang secara mantap di kepalanya, sampai saat ini Muhis masih belum berani melancarkan niatnya itu. Muhis mafhum, itu lebih gila daripada kegilaan yang baru saja dia paparkan. Ada segudang risiko yang harus ditanggung. Ide itu hampir tak masuk akal, terlebih bagi tukang bangunan.
Lagi pula, di negerinya, menggugat pemerintah tiada bedanya dengan melawan bapak sendiri. Ibarat durhaka pada orang tua yang telah mengasuh sejak bayi. Tak tahu terima kasih dan lupa diri. Orang waras mana yang ingin kualat dan mengundang malapetaka?
Mereka masih tenggelam dalam benaknya masing-masing untuk beberapa saat. Tak lama berselang, kekosongan itu dipecahkan suara Kancul. Telunjuknya mengarah ke gerbang, di mana ada seekor kucing liar yang tengah berbaring lesu.
“Lihat kucing liar itu,” kata Kancul buru-buru. “Kasihan, dia tidak pernah kita kasih makan lagi.”
“Kalau bukan karena isi dompet yang menipis, kita pasti sanggup membeli makanan kucing yang mahal itu atau menyisihkan daging ikan sesudah makan,” tukas Balu.
Serambi besar itu kembali lengang.
“Oh, aku punya ide!” Muhis sontak menggebrak meja.
“Apa?”
“Kita coba ajarkan kucing itu berbicara.”
“Sudah sinting rupanya.”
“Tidak juga. Kita ajarkan dia berbicara, berbahasa secara baik dan benar, agar kelak dapat menggantikan kita di pengadilan untuk menggugat pemerintah.”
Balu dan Kancul saling melirik. Sepanjang yang mereka tahu, manusia hanya mengajarkan kucing liar untuk berak di tempat semestinya atau tidur di ubin kasar atau menjauhi kulit sofa atau melarangnya mencuri lauk di dapur. Namun, tak pernah terpikirkan sebelumnya untuk melatih seekor kucing berbicara.
Tapi Muhis berpendapat lain. Muhis berkata bahwa kucing liar sejatinya termasuk warga negara sah. Mereka dan manusia sama-sama meminum air yang sama, mendiami tanah yang sama, dan menghirup udara yang sama. Hidup mereka pun tersampir pada kebijakan-kebijakan yang dihasilkan. Bedanya, mereka tak memegang kartu identitas.
“Dengan demikian, para kucing liar juga berhak mendapatkan hak-haknya. Nah, bagaimana?”
Usai berembuk sebentar, lahirlah kata setuju. Maka mulai malam itu Muhis, Balu, dan Kancul mulai menyusun silabus berjudul Linguistika Kucing. Menggunakan materi yang ada, mereka dengan giat mengajarkan sang kucing liar untuk berbicara dengan harapan hewan mamalia itu dapat menggugat pemerintah di persidangan kelak.
Pekan pertama adalah yang tersulit. Mereka hampir putus asa lantaran kucing liar itu tak sedikit pun menunjukkan kemajuan. Mulutnya tetap mengeluarkan bunyi meong. Perangainya pun masih menyebalkan seperti sediakala, masih suka melengos, bersikap masa bodoh dengan sekitarnya.
Namun setelah pekan ketiga, jerih payah mereka akhirnya berbuah. Berkat dedikasi yang pantang surut, keterampilan kucing liar itu berangsur muncul. Moncongnya lambat laun bergerak selayaknya manusia dan tingkah lakunya lebih mudah ditebak jika dibandingkan dengan hari pertama.
Kemahiran kucing itu berkembang pesat di luar perkiraan, terutama usai dia berkenalan dengan dunia sastra. Wataknya kini lebih menyerupai manusia; langsung menengok saat dipanggil dan senang dimintai tolong. Binatang itu bahkan sudah bisa mengikuti pembicaraan, terbahak ketika mendengar kisah lucu dan mampu bersimpati tatkala mendengar keluh kesah.
Bulan demi bulan berlalu. Renovasi perpustakaan pun nyaris rampung. Saat momentum sudah dirasa tepat, ketiga pemuda itu segera mengungkapkan rencana mereka yang sesungguhnya pada sang kucing. Agar tak berujung penolakan, mereka membujuknya dengan penawaran yang sukar ditampik.
“Jika di masa mendatang kamu bisa mengutarakan apa yang kami minta di pengadilan, kamu akan mendapatkan apa yang selama ini kamu inginkan: makanan berlimpah setiap hari!”
Tanpa pikir panjang, makhluk berbulu itu mengabulkan permohonan mereka. Bukankah ini saling menguntungkan? Renung sang kucing liar. Jika dia memenangkan gugatan di pengadilan, pemerintah tentu saja bakal memperluas lapangan kerja beserta sarana dan prasarananya, yang mana akan memberi jutaan orang uang berlipat, lalu menyumbang isi perutnya.
Hari yang dinantikan hampir tiba. Segenap bahan telah disiapkan secara matang hingga suatu waktu, keraguan merundung. Biarpun kucing liar itu sudah mampu berceloteh bahkan berdebat dengan lantang, entah mengapa, keyakinan tiga sekawan itu lama-kelamaan redup.
“Aku tidak begitu yakin kucing liar itu sanggup memenangkan gugatan.”
“Sudahlah,” Kancul berusaha menghibur diri, “apa salahnya jika kita sesekali menaruh harapan pada seekor kucing liar?”
***
Hakim Ketua menurunkan kacamatanya. Pria sepuh itu, yang telah memimpin sidang selama hampir tiga dekade, belum pernah menjumpai perkara macam ini. Diperhatikannya kucing liar itu dengan arif. Dirinya maklum, instansinya kini sedang berada dalam sorotan publik dan sudah sepatutnya dia tak bertindak semena-mena.
“Baiklah, mengapa Anda hendak menggugat pemerintah, dalam hal ini Menteri Ketenagakerjaan?”
“Sebab, Yang Mulia, jika manusia saja menderita lapar di rumah Menteri Ketenagakerjaan, bagaimana nasib kucing liar seperti saya?”
“Coba terangkan secara lebih jelas.”
“Begini, Yang Mulia,” sambung kucing liar itu, “akibat kegagalan sistem ketenagakerjaan serta janji-janji kampanye yang urung terealisasi, saya mendapat kerugian materiel maupun immateriel. Dengan semakin sulitnya mendapat pekerjaan dewasa ini, kami, bangsa kucing, terkena imbasnya. Kami semakin susah mendapat makan. Belakangan ini, orang-orang menjadi egois. Mereka lebih sering menahan uangnya dan melahap hidangan mereka hingga tidak tersisa untuk diri mereka sendiri, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Lalu, bagaimana dengan kami? Kami sangat anti terhadap budaya mengemis. Tapi di sisi lain, kami tidak mungkin pergi berbelanja di pasar atau minimarket, bukan?”
Sesudah itu, Hakim Ketua berdeham lantas menoleh ke panitera yang sibuk membolak-balik halaman kertas.
“Tapi Anda tahu, penggugat wajib menyampaikan gugatannya secara pribadi dan secara lisan.”
“Oleh sebab itulah, Yang Mulia, saya belajar berbicara agar bisa mengemukakan gugatan saya yang paling jujur dan sebenar-benarnya di sini.”
Hakim Ketua kembali membaca perlahan gugatan di tumpukan berkas yang terletak di sisinya. Diperiksanya kertas-kertas itu dengan teliti. Dia tak salah lihat. Memang kucing itulah yang mengajukan gugatan. Sementara itu, sang kucing menyinambungkan perkataannya.
“Tengok loreng di badan saya ini, Yang Mulia. Yang Mulia pasti sadar, loreng tiga warna ini adalah simbol bahwa saya bisa ditemukan di mana-mana. Kucing liar seperti saya tersebar hingga ke pelosok negeri. Saya pun tidak bertuan karena saya adalah tuan untuk diri saya sendiri.”
Hakim Ketua mengerling matanya barang sesaat.
“Ya, tapi hukum positif harus berada pada tatanan yang dapat dijangkau dengan akal pikiran dan pertimbangan-pertimbangan rasio, karena ini menyangkut kepentingan manusia yang sangat rasional.”
Kuku kucing liar itu bergemeletuk dengan irama tak teratur. Namun dia berusaha tetap tenang, lantas merendahkan nada bicaranya.
“Yang Mulia, manusia kini sudah patah arang. Mengapa mereka tidak boleh menaruh harapan pada seekor kucing liar?”
Cerita yang mantap sekali