“Iki sing dadi tandane zaman kalabendu: Lindu ping pitusedina; Lemah Lemah bengkah; Manungsa pating galuruh, akeh kang nandang lara; Pagebluk rupa-rupa; Mung setitik sing mari akeh-akehe pada mati”
-Jongko Joyoboyo oleh Ronggowarsito-
Pagebluk. Orang Jawa sering mendengar istilah ini, atau setidaknya bagi orang-orang tua Jawa yang mewarisi cerita dari si mbah nya dulu. Si mbah yang juga mewarisi cerita dari si mbah–si mbah nya dulu. Dibayangkan sebagai peristiwa ketika banyak orang yang tiba-tiba jatuh (gebluk), tersungkur, dan mati.
Ihwalnya punya berbagai macam versi. Ada yang bilang akibat Lampor, sosok makhluk astral yang berbentuk seperti barisan prajurit berkuda, atau bisa juga berbentuk bola arwah. Ada juga yang melihatnya melalui tanda.
Ketika muncul lintang kemukus, maka ini pertanda buruk. Orang-orang akan mulai jatuh sakit, dan kemudian segera mati. Isuk loro, sore mati. Begitu menyeramkannya pagebluk ini.
Istilah pagebluk dalam dunia modern merujuk pada wabah penyakit. Di Jawa, terakhir kali terjadi wabah penyakit yang membunuh banyak orang, terjadi pada tahun 1821. Pada tahun itu, wabah kolera berhasil membunuh belasan ribu orang.
Sama seperti saat ini, pagebluk waktu itu juga menghasilkan kehancuran ekonomi. Tetapi saya tidak akan membahas lebih jauh. Dalam tulisan ini, saya tidak bermaksud untuk mengulas dampak pagebluk di masa lalu, beserta cara-cara orang dulu dalam mengintepretasikannya.
Jika pembaca ingin mengetahuinya, banyak tulisan yang sudah beredar di internet yang membahasnya. Entah dalam sudut pandang ilmiah yang membahasnya melalui ilmu sejarah, ekonomi, dan politik, atau dengan gaya-gaya mistik sprituil.
Kali ini, saya ingin membahas gonjang-ganjing pagebluk di dunia modern, pandemi Covid-19! Pun, jika sebelumnya secuil saya telah mengulik dampak pagebluk di masa lalu, khususnya di pulau Jawa, kali ini saya akan mengulasnya secara lebih luas. Luas dalam perbandingannya dengan pulau Jawa, yaitu dalam skala negara.
Saya ingat betul, pada saat awal-awal dunia gempar dengan penyakit ini, waktunya bertepatan dengan pengumuman satu film baru yang akan tayang. Judulnya “Train to Busan 2” sebuah film sekuel yang melanjutkan kisah kiamat zombi.
Di film itu, banyak orang-orang yang menjadi ganas akibat tertular sebuah virus. Seperti laiknya zombie, orang-orang bersikap sangat aneh. Selain keganasannya, cara mereka berjalan pun tidak teratur. Kadang terlihat seperti orang gila, kadang seperti orang mabuk. Saya tidak menemukan padanan kata yang tepat untuk menggambarkannya.
Akan tetapi, jelas sekali saya mengingat, pada awal-awal penyebaran penyakit ini di Wuhan, China, orang-orang berjalan seperti zombie. Tak lama ada yang jatuh tersungkur.
Orang-orang yang berjalan di sekitar terlihat kebingungan, sementara yang lain tetap meneruskan langkahnya. Saya melihatnya melalui sebuah video yang diunggah oleh salah seorang kawan di status Whatsapp–nya. Video itu membandingkan situasi di dalam film Train to Busan dengan peristiwa di Wuhan. Beberapa bulan setelahnya, situasi yang sama menyebar hingga Indonesia.
Pagebluk! Situasi yang mengingatkan kembali orang-orang tua Jawa dengan kisah dari si mbah nya si mbah si mbah. Para pelaku spirituil seketika mengeluarkan ajimat dan kleniknya.
Pun juga Keraton Yogyakarta. Berharap ajimat dan klenik itu bisa menghalau barisan prajurit astral yang menaiki kuda. Di lain sisi, Pemerintah Indonesia kebingungan akibat ulahnya sendiri.
Pada waktu sebelumnya, sebelum penyakit ini memilih Indonesia sebagai salah satu sasarannya, hampir semua pejabat tinggi menganggap remeh. Di depan media, mereka mengeluarkan pernyataan yang tidak sepatutnya. Dalam bentuk kebijakan, mereka justru membuka lebar penyebaran penyakit dengan cara memberikan karpet merah bagi turis-turis asing untuk berlibur di Indonesia. Akibatnya tidak perlu ditanya, sudah terjadi.
Banyak orang-orang yang mati. Tidak hanya dari kalangan biasa, tetapi juga tenaga kesehatan yang harus berhadapan secara langsung dengan pasukan astral berkuda ini. Pemerintah segera mengeluarkan kebijakan pembatasan sosial.
Orang-orang dilarang beraktivitas. Sayangnya, berbeda dengan negara lain, Pemerintah Indonesia tidak mau bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakatnya. Pelarangan beraktivitas, yang mana membuat ekonomi lumpuh, tidak dibarengi dengan pemenuhan kebutuhan.
Tak lama, karena paksaan tentunya, banyak yang memaksa tetap beraktivitas. Terutama untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya dengan bekerja. Alhasil, semakin banyak orang yang tertular, dan semakin banyak pula orang yang mati.
Pemerintah semakin kebingungan. Karena selain meningkatnya jumlah orang-orang yang mati, juga terjadi korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh 2 orang menteri kabinet negara. Situasi semakin kacau. Undang-undang yang dirasa bisa memperlancar kepentingan bisnis negara dan swasta, diprotes habis-habisan. Hingga barisan rakyat mengepung gedung pemerintahan.
Aparat seolah salalu vis a vis dengan rakyat, polisi segera dikerahkan untuk meredam aksi. Pukul sana, pukul sini. Bla, bla, bla. Bonyok sana bonyok sini. Ada pula korban jiwa. Waduh! Sangat panjang runtutan masalah yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia di tengah serbuan pasukan astral berkuda.
Tetapi, sekali lagi, tulisan ini sebenarnya tidak bertujuan untuk mengurai borok pemerintah dalam menangani pagebluk. Meskipun di awal-awal penyebaran pagebluk di Indonesia sikap pemerintah cenderung busuk, tetapi pasca itu, upaya penundukan pasukan astral berkuda penghancur semesta (saya sangat menyukai istilah ini, mohon maaf jika terlalu banyak diulang), atau pagebluk ini, cukup baik.
Dampak yang dihasilkan juga terlihat nyata. Dibandingkan dengan beberapa negara lain, dampak buruk yang dialami Indonesia tidak terlalu buruk. Meskipun, dalam catatan saya, kinerja pemerintah tetaplah buruk. Banyaknya korban yang jatuh menjadi salah satu ukuran.
Buku “Indonesia dan Covid-19: Pergulatan Kebijakan Ekonomi Menjinakkan Dampak Pandemi” bisa menjadi salah satu referensi dalam memahami upaya yang telah dilakukan pemerintah.
Ditulis oleh orang-orang yang berada di dalam lingkaran kekuasaan, serta peneliti-peneliti, yang mana, dalam keseharian mereka telah memiliki pengalaman yang cukup banyak dalam pergulatan pembuatan kebijakan publik.
Buku ini menunjukkan berbagai macam kebijakan ekonomi negara dalam merespon pagebluk. Mulai dari kebijakan Percepatan Ekonomi Nasional (PEN), kebijakan industri, UMKM, pariwisata, politik anggaran, ketenagakerjaan, kebijakan fiskal, hingga investasi. Memuat 11 bagian yang secara spesifik menjelaskan tentang kebijakan-kebijakan negara.
Bagi saya, terlepas dari sentimen buruk yang saya miliki terhadap pemangku kebijakan negara, buku ini sangat menarik. Banyak sekali data yang tersedia. Buku ini seperti kitab yang merangkum kebijakan ekonomi negara selama pagebluk. Kitab yang sangat berguna bagi peneliti-peneliti kebijakan publik.
Saya benar-benar menyarankan pembaca yang merupakan peneliti kebijakan, atau mungkin orang-orang yang ingin mengetahui lebih jauh terkait kebijakan ekonomi negara selama pagebluk. Ulasan ringkas di akhir tulisan ini, benar-benar saya tulis tanpa kebohongan. Saya cukup takjub dengan begitu banyaknya data yang ada.
Salam!
Judul: INDONESIA dan COVID-19: Pergulatan Kebijakan Ekonomi Menjinakkan Dampak Pandemi
Penulis: Ahmad Erani Yustika, dkk
Penerbit/Tahun: Empatdua Media/2022
ISBN: 978-623-92074-5-8
Halaman: xiv + 188 hlm
Ukuran: 15,5 x 23 cm
Harga: Rp 70.000