“kringgg … kringgg … kringgg …”
“Sore, Mbak. Sudah landing, ya? Nanti kalau sudah keluar di pintu kedatangan, belok kiri, ya. Kalau ada yang nawar-nawarin jangan mau. Bilang aja sudah dijemput. Sama nanti sebelum berangkat, saya minta Rp 20 ribu per orang, ya.”
“Kenapa, Pak? Waktu pesan kemarin, katanya cuma bayar Rp 170 ribu? Itu kan juga sudah naik, ya?”
“Iya, Mbak. Maaf. Ini kita ketahuan jemput sebagai travel. Ada preman yang minta uang tutup mulut. Kalau nggak, katanya bakal dilaporin.”
***
Sebentar lagi waktunya berbuka puasa. Saya dan Nona merasa tak enak dengan Pak Supir kalau harus menunggu lama. Baru saja kami ingin mengabari Pak Supir bahwa kami baru saja landing. Bagai gayung bersahut, telepon genggam milik Nona bergetar. “Travel Banjarmasin-Batulicin” tertera sebagai nama penelepon. Nona menyuruh saya untuk segera mengambil barang-barang dari bagasi, sementara ia menjawab telepon dari Pak Supir.
Tak lama kemudian, Nona menyusul ke sela-sela trolly milik penumpang lain, tepat dimana saya menunggu barang kami diantarkan oleh conveyor belt. Wajahnya lebih masam. Saya sedar betul ia kecapaian selama perjalanan, pun dengan saya. Tapi beberapa menit yang lalu wajahnya biasa-biasa saja.
“Kita disuruh bayar Rp 40 ribu lagi. Aku Rp 20 ribu, kamu Rp 20 ribu,” ucapnya agak kesal. “Katanya dia dipalak preman sini. Ketahuan jemput kita.”
Saya agak terkejut mendengarnya. Selama bertahun-tahun, baru kali ini saya tahu kalau ada preman di Bandara.
Memang sih, sudah sejak lama kalau travel dilarang menjemput penumpang di Bandara Syamsudin Noor Banjarmasin. Konflik antara taksi bandara dengan travel yang berebut penumpang menghasilkan peraturan ini. Tapi, kalau ternyata ada preman yang memalak supir travel? Baru pertama ini saya temui.
Ya, sudahlah. Waktu berbuka puasa sudah semakin mepet. Kami turuti saja permintaan Pak Supir.
Selepas mengambil seluruh barang, kami bergegas menuju mobil. Ternyata benar saja, tampak tiga orang berdiri di sekitar mobil. Satu orang berdiri agak jauh. Sepertinya sedang mengawasi. Dua orang lain berbincang tepat di samping mobil. Salah satunya berbadan besar, rambut gondrong, mirip preman-preman yang sering nampak di layar kaca. Satunya lagi melambaikan tangan ketika kami mendekat. Ah, pasti ini Pak Supir.
Seperti yang diminta melalui telepon, kami membayar Rp 40 ribu kepada Pak Supir. Terlihat Pak Supir juga mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya. Semua uang ini kemudian di serahkan kepada orang berbadan besar tadi.
Di dalam mobil, ternyata sudah ada 3 orang lain yang menunggu. Sama-sama penumpang travel. Saat melakukan pemesanan, kami sebenarnya meminta tempat duduk di tengah. Tapi nampaknya tempat yang kami minta telah terisi. Saya harus duduk di kursi belakang, bersebelahan dengan barang-barang milik penumpang. Sedangkan Nona duduk di kursi tengah sesuai dengan permintaan.
“Penumpang yang lain turun di depan, kok, Mas, Mbak.”
Untunglah. Sulit membayangkan jika saya harus duduk di kursi belakang selama perjalanan.
Masalahnya, perjalanan kami akan memakan waktu selama kurang lebih 7 jam, dengan kondisi jalan yang berlubang-lubang. Artinya, saya harus duduk selama 7 jam terguncang-guncang bersama tumpukan koper dan tas. Ampun, Gusti. Tak kuat lah Hamba.
Pak Supir nampak aktif sekali berbicara. Semua penumpang ditanyainya. Satu per satu. Mulai dari tempat asal, bekerja apa, hingga jalur-jalur jalan yang biasa di lalui ketika naik travel lain.
“Saya baru kali ini antar-jemput sampai Banjarmasin. Biasanya nggak sampai sini. Paling jauh cuma antar-jemput barang sampai Pelaihari. Ini disuruh majikan” Ucap Pak Supir ketika ditanyai salah satu penumpang terkait pertanyaan terakhirnya.
Mendengar jawaban itu membuat saya penasaran. Belakangan saya sedang meneliti tentang pekerja informal. Jadi tertarik menggali pola kerja supir travel.
Tapi mengingat penumpang yang masih penuh, saya mengurungkan diri untuk bertanya. Takut Pak Supir malu jika harus menjawab pertanyaan saya di depan orang banyak.
***
Seperti yang dibilang sebelumnya, bergantian penumpang lain diantarkan ke tujuannya. Berselang 1 jam setelah penjemputan kami, isi mobil hanya tersisa Pak Supir, kami, dan 3 tumpuk tas. Kali ini saya bisa pindah tempat duduk.
Meskipun kursi-kursi banyak yang kosong, tetapi suasana di dalam mobil tidak lantas menjadi sepi. Perbincangan Nona dan Pak Supir mengisi kekosongan ruang. Panjang sekali mereka bicara. Bahkan hingga hal-hal yang menurut saya tak penting. Beberapa kali juga mereka tertawa. Saya merasa seperti diasingkan di ruang sempit ini.
“Ah, daripada saya diam sendiri, mending tak tanyain aja. Mumpung suasananya pas.” Ucap saya dalam hati.
“Pak. Pian sudah lama kah jadi supir travel?”
“Lumayan, Mas. Dari tahun 2011. Tapi sering on-off.”
“Pakai mobil sendiri, atau ikut majikan?”
“Ikut majikan, lah, Mas. Nggak mampu saya kalau beli sendiri.”
Benar dugaan saya. Rata-rata supir travel memang bekerja di suatu instansi usaha yang menyediakan jasa antar-jemput. Biasanya, tempat usaha mereka menyediakan mobil dan mengurus pembagian penumpang. Para supir hanya bertugas mengendarainya saja.
Tetapi mereka semua tidak pernah di kontrak secara resmi. Mekanisme pemutusan kerjanya pun sangat mudah. Menurut Pak Supir ini, di tempatnya bekerja seringkali para supir menjadi korban pemecatan sepihak. Pemecatan biasa dilakukan ketika si supir mendapatkan komplein dari penumpang. Biasanya kalau cara si supir berkendara membuat penumpang tidak nyaman. Entah sering ngebut, tidak bisa mengatasi jalanan yang berlubang, atau terlalu lamban.
Penyebab lain dari pemecatan biasanya adalah ketika sering terjadi insiden. Entah ban bocor, penumpang yang menuju bandara ketinggalan pesawat, hingga kecelakaan. Di kasus seperti ini, Pak Supir mengatakan bahwa, jika supir terlibat insiden hingga tiga kali, maka akan langsung dipecat.
“Kalau kerugian, biasanya ditanggung berdua, Mas. Supir sama majikan. Kalau supir nggak bisa langsung membayar, biasanya diambil dari potongan gaji.”
Menurut saya, kondisi seperti ini sangat merugikan supir. Bayangkan saja, selama satu hari, si supir harus berkendara bolak-balik Banjarmasin-Batulicin. Sedangkan, satu kali perjalanan saja sudah menghabiskan waktu kurang lebih 7 jam. Jika satu hari si supir harus melakukan 2 kali perjalanan, maka waktu yang dihabiskan adalah 14 jam.
“Itu juga baru perjalanannya, Mas. Belum lagi waktu buat jemput penumpang. Bisa 2 sampai 3 jam sendiri. Saya bisa tidur itu cuma 3 jam sehari.”
Total waktu kerja yang dihabiskan para supir untuk bekerja adalah 20 jam. Dengan kondisi kerja yang semacam itu, wajar saja jika banyak terjadi insiden. Di sisi lain, tidak ada satu supir pun yang dibekali dengan fasilitas asuransi. Jika sewaktu-waktu terjadi sesuatu dengan tubuh si supir, maka tamatlah sudah.
“Kalau untuk bayarannya gimana, Pak?” Saya kembali bertanya.
“Biasanya bagi hasil, Mas. Bisa 70-30. Majikan dapat 30%, sedangkan saya 70%”
Mendengar itu, saya kembali berpikir. Jika satu penumpang diberikan tarif Rp 170 ribu untuk satu kali perjalanan, sedangkan untuk satu kali perjalanan itu mobil bisa menampung hingga 5 penumpang, maka hasil yang didapat oleh supir sebesar Rp. 595 ribu. Jika perjalanan dilakukan sebanyak 2 kali, maka pendapatannya hingga Rp 1.190.000.
Terlihat besar memang. Tapi, sejumlah uang itu diberikan untuk mengganti 20 jam waktu hidup si supir dalam satu hari. Belum lagi jika terjadi hal-hal yang tidak terduga seperti pemalakan oleh preman bandara tadi. Supir harus kembali merogoh kantong pribadinya untuk mengatasi ini.
Di lain pihak, hanya dengan menyediakan mobil dan mengurusi pembagian penumpang saja, majikan bisa mendapatkan Rp 510 ribu dari 20 jam waktu kerja supir. Itu pun hanya dari satu supir. Pak Supir yang mengantarkan kami mengatakan bahwa majikannya memiliki 4 mobil yang beroperasi setiap hari. Dalam sehari saja, maka majikan bisa menghasilkan Rp 2.040.000. Angka yang terlampau banyak jika dibandingkan dengan kerja keras para supirnya.
Terlihat jelas ketidakadilan di dalam dunia kerja jasa travel. Sayangnya, belum ada pula kebijakan khusus yang dibuat oleh negara untuk mengatasi permasalahan ini. Undang-Undang Ketenagakerjaan hanya mengatur hak-hak pekerja di sektor formal saja. Sedangkan jasa travel kebanyakan adalah usaha informal. Padahal, justru kondisi kerja di sektor informal seperti ini lah yang juga harus segera diatur.
Masalahnya adalah, Negara Indonesia hingga saat ini masih memandang ekonomi informal secara keliru. Ekonomi informal, yang di dalamnya meliputi relasi antara majikan dan pekerja informal, hanya dilihat sebagai sektor yang bisa menyerap banyak tenaga kerja. Karena wujud usahanya yang cenderung kecil, maka kondisi kerja yang tidak adil dipandang sebagai sesuatu yang wajar.
“Yang penting bisa berkembang” adalah logika pikir dari Negara dalam menyiasati kondisi ekonomi informal. Kita bisa lihat hal ini dari kebijakan-kebijakannya terkhusus dalam bidang UMKM. Rata-rata, kebijakan yang ditelurkan hanya menyasar para majikan pemilik usaha. Sedangkan para pekerjanya dibiarkan dalam kondisi kerja yang buruk.
Jika melihat kondisi kerja jasa travel tadi, jangankan masuk dalam kategori adil, layak pun tidak. Kondisi kerja yang begitu buruk akan mengantarkan pekerja pada persoalan lain. Kesehatan adalah salah satunya.
Benarkah penghasilan para supir bisa menutupi masalah kesehatan yang timbul kemudian? Tidak mungkin, pikir saya. Untuk menutupi keseluruhan biaya hidup dirinya dan keluarga saja tidak mungkin.
Biaya hidup di Kalimantan Selatan cukup besar. Rata-rata harga makanan berkisar Rp 25-30 ribu untuk satu porsi. Untuk biaya makan dirinya, 1 istri dan 2 anak saja sudah habis Rp 120 ribu. Untuk jatah makan tiga kali sehari, uang yang dikeluarkan bisa Rp 360 ribu sendiri. Belum biaya lain-lain. Seperti biaya listrik, air, pajak, pendidikan, kesehatan, atau pengeluaran kultural.
Asumsi orang-orang kepada masyarkat Kalimantan yang kaya-kaya hanyalah isapan jempol. Bagi sebagian orang seperti majikannya Pak Supir ini, mungkin saja. Dalam sebulan ia bisa mendapat Rp 18 juta bersih. Untuk para pekerja seperti Pak Supir? Ya, tentu tidak.
Pada akhirnya, banyak pekerja yang senasib seperti Pak Supir ini harus merelakan diri untuk terus bekerja. Bahkan dalam kondisi yang paling buruk sekalipun. Segala sesuatu, bahkan hingga kebutuhan dasar, yang hanya bisa didapat dengan cara dibeli mengharuskan mereka melakukan itu. Hidup kemudian hanya sebatas bekerja. Para majikan terus saja menikmati sebagian besar potongan kue. Negara? Memangnya masih ada Negara?
***
“Sebentar lagi kayaknya saya berhenti, Mas, Mbak.”
“Kok bisa, Pak? Mau kerja apa?”
“Tadi itu, penumpang yang duduk disebelah saya nawarin kerja. Sama-sama jadi supir, sih. Tapi lebih enak. Dia kerja di perusahaan besar. Biasanya suka ngantar-ngantar kendaraan baru punya perusahaan. Jadi saya nanti yang ngantar kendaraan itu dari Pelabuhan ke Lokasi perusahaannya.”
“Alhamdulillah. Mending gitu aja, Pak. Lebih ringan.”
“Iya, Mas. Rezekinya supir. Banyak kenalan, banyak kesempatan.”