Ini kali pertama dalam hidupnya mengalami pergulatan pikiran yang tiada henti. Di tengah malam itu, ia termenung dalam diam, sambil menatap langit-langit kamarnya.
Wajahnya sendu, seolah mewakili perasaan kalut, takut, dan terbalut oleh sesuatu yang mengerikan. Dengan tatapan nanar, ia terus menatap langit-langit sambil bergumam tak keruan.
“Dia, aku, tidak mau. Tapi sebenarnya aku mau dan tidak mau. Oh, bodohnya dia, oh, bodohnya aku. Dan kamu,” ucapnya seperti kehilangan kewarasan.
Masih dalam posisi berbaring, kini ia mengubah arah tidurnya ke kanan, sambil menatap lemari usang berwarna cokelat terbuat dari kayu jati. Matanya masih terbuka lebar, dengan tatapan yang
kian nanar dan penuh tanda tanya.
“Aku sebenarnya harus. Harus sekali. Kalau tidak, dia aku tidak tahu harus apa. Kamu bodoh,” ucapnya lagi, masih dengan perkataan tidak jelas.
Sikapnya yang kian aneh tentunya menimbulkan pertanyaan di sisi lain lubuk hatinya yang masih memiliki kewarasan. Setelah sekian lama menatap lemari cokelat usang itu, kini ia beralih posisi ke kiri. Di sebelah kirinya, ia melihat banyak sekali karung berwarna putih. Entah untuk apa karung itu diletakkannya di kamar. Namun yang jelas, karung itu membuatnya khawatir.
“Ada apa dengan karung itu? Kamu bodoh, dia bodoh, aku jadi ikut bodoh. Aku bodoh, aku gila, aku harus melakukannya,” perkataannya kian melantur.
Keringat dingin menjalari pelipisnya. Napasnya memburu. Ia benar-benar takut. Entah takut terhadap apa, tapi yang jelas ia saat ini ketakutan. Dengan bulu roma yang meremang, ia
membalikkan posisinya kembali ke semula. Menatap langit-langit, dengan tatapan paranoid.
“A… aku ha… harus tidur, se… sebel… um se… mua… nya,” ucapannya sudah tak bisa terdengar jelas.
Entah apa yang dipikirkannya, seolah ia tersentak akan sesuatu yang ‘belum ia selesaikan’. Tiba-tiba, dalam keadaan tubuh bergetar dan keringat dingin yang terus-menerus membanjiri tubuh, ia bangkit dari tidurnya. Ia tampak meregangkan kaki, sebelum ia turun dari tempat tidur.
Kini, kakinya sudah menapaki lantai yang dingin. Dengan keadaan yang sangat memprihatinkan, dia berdiri. Berdiri tegak. Setidaknya berusaha, karena ia sendiri tampak kesulitan untuk melakukannya.
“Aku harus ke sana,” ucapnya pelan.
Dengan tergopoh-gopoh, ia perlahan-lahan berjalan ke luar kamarnya sembari memegangi dinding. Ia terus berjalan, menyusuri ruangan demi ruangan yang sangat gelap, untuk menuju ruang depan, meskipun ia sendiri masih kesulitan untuk berjalan.
Bak perlahan tapi pasti, sesampainya di sana, ia membuka pintu. Tanpa alasan yang jelas, ia seolah ingin ke luar rumah
untuk melakukan sesuatu yang bahkan ‘tidak boleh diketahui banyak orang’. Pintu terbuka, diiringi suara decitan pintu khas kayu yang sudah lapuk. Suasana mencekam semakin terasa, ditambah dengan rintikan hujan yang cukup deras.
Hawa dingin yang menusuk kulit telah dirasakan olehnya. Namun, seolah tak merasakan apapun, ia mulai beranjak keluar, meninggalkan rumahnya. Tatapannya kini berubah kosong dan tak berperasaan lagi. Padahal, beberapa waktu sebelumnya ia merasakan ketakutan yang luar biasa.
Dengan yakin, ia mulai berjalan menyusuri kegelapan malam dengan hujan yang mengenai tubuhnya—tanpa memikirkan apapun untuk melindungi tubuhnya dari hujan. Di perjalanannya, kilat dan halilintar tiba-tiba bersahutan dan bergemuruh. Hujan juga semakin deras. Suara-suara katak dan beberapa hewan-hewan malam pun juga semakin terdengar nyaring.
Entah apa yang dipikirkannya, ia seolah hanya terus berjalan tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Ia tak takut dengan sambaran kilat, ia juga tak takut dengan volume air
hujan yang mengeras. Sepertinya, ia hanya terpikirkan oleh satu hal yang harus ia selesaikan. Cukup jauh ia berjalan menerjang derasnya hujan tanpa pelindung apapun.
Saat ini, ia berdiri di persimpangan jalan sambil melihat kanan-kiri, seolah mencari sesuatu atau seseorang yang sebetulnya ia sendiri juga tidak tahu. Namun, satu hal yang pasti, di dekat lampu jalan yang remang, ia melihat sesosok gadis. Ya, perempuan lusuh yang sedang terduduk membelakanginya, bersandar pada tiang lampu.
Tubuhnya basah kuyup, seolah sudah berjam-jam ia berada di tengah hujan. Dengan ragu, Edgar, lelaki yang tampak tidak waras ini berjalan mendekati gadis itu. Semakin dekat, sayup-sayup tangisan kekecewaan terdengar dari perempuan itu. Edgar masih berusaha mendekatinya, dengan perasaan yang penuh simpati.
“Kenapa kamu lakukan ini?” tanya gadis itu di sela-sela tangisnya.
Edgar bergeming sembari menghentikan langkahnya.
Kini, Edgar mendengar tangisan gadis itu berubah menjadi luapan amarah dan kekecewaan yang luar biasa. Edgar berusaha mencernasituasi ini, sambil terus mengingat sesuatu, seolah sesuatu itu merupakan kepingan puzzle yang hilang dari benak Edgar.
***
Sewindu yang lalu, Edgar dan kekasihnya yang bernama Jill terlibat pertengkaran hebat. Keduanya bersitenggang atas suatu hal privasi. Keduanya juga tampak tak saling berbicara satu
sama lain. Tak ada pihak yang berusaha mengembalikan suasana hangat seperti semula. Dingin, suatu kata yang mendeskripsikan kondisi saat itu.
“Masih banyak cara lain, tapi kenapa kamu malah berpikir seperti itu?” tanya Jill memecah keheningan.
Edgar menghela napasnya. “Tentu saja untuk masa depan hubungan kita. Aku menyayangimu, itulah kenapa aku melakukan semuanya ini,” jawab Edgar, memastikan pada Jill bahwa
semuanya baik-baik saja.
Jill meludah. “Bodoh. Tidak usah bersembunyi pada kata aku menyayangimu. Ini karena memang kau gila harta dan kau tak punya hubungan yang baik dengan Tuhan. Sampai kau rela
menumbalkan bocah laki-laki tak bersalah pada kepercayaanmu yang konyol itu demi uang?!” teriak Jill.
Teriakannya sangat keras dan memekikkan telinga. “Uang bukan semuanya, uang bukan semuanya! Kasihan bocah itu!”
Edgar, yang saat itu semakin kesal, pun langsung memukul meja kayu di depannya. Seolah kehilangan kesabaran dan setan menguasai seluruh tubuhnya, ia berteriak kencang, “Tak tahu
diuntung!”
Seketika semuanya gelap. Edgar kalut dan ia sudah melakukannya. Ya, dia membunuh kekasihnya sendiri. Ia menggantung tubuh kekasihnya di langit-langit kamar hingga
dibiarkannya tersiksa kembali dengan dimasukkannya ke dalam lemari usang dalam balutan karung putih.
Setelah memastikan semuanya sudah terkendali, ia mengeluarkan karung putih berisi kekasihnya dari dalam lemari, kemudian berlari sekencang mungkin menuju persimpangan
jalan dan tiang lampu yang bersinar remang.
Di sana, Edgar menguburkan jasad kekasihnya sendiri dengan tangisan kekecewaan yang menggelegar. Tangisan kekecewaan terdengar dari Edgar setelah seolah setan yang menguasai tubuhnya menghilang, setelah kemarahannya mulai
padam.
“Dia, aku, tidak mau. Tapi sebenarnya aku mau dan tidak mau. Oh, bodohnya dia, oh, bodohnya
aku. Dan kamu” ucapnya lirih, tak sadar, dan menyesal apa yang sudah dilakukannya.
***
Sedikit yang Edgar tahu, ia akan mengalami kejadian seperti ini secara berulang di masa depan. Kejiwaan Edgar mulai terganggu setelah membunuh kekasihnya sendiri.
Bak paradoks waktu, ia akan selalu mengalami kejadian ini karena dihantui rasa bersalah, hingga kewarasan yang kian pudar seiring berjalannya waktu.