Jika kamu merasa mengenal diriku, bukanlah aku sebenarnya yang kamu kenal, akan tetapi hanya keping memori. Kamu melihat bagian diriku yang takkan pernah utuh, karena diriku bagimu hanyalah kenangan. Itu berlaku untuk setiap waktu, ruang, tempat dimana kita pernah bertemu ataupun tidak. Setidaknya keyakinan itu membawa perasaan kita masuk ke dalam film Past Lives, baik sebelum menonton atau setelah film berakhir. Kisah ini ditulis oleh Celine Song, sutradara dengan film perdananya yang langsung masuk ke dalam jajaran nominasi Golden Globes Awards 2024.
Menulis adalah membuat pengalaman subjektif anda menjadi objek yang hidup, kata Celine Song dalam wawancaranya bersama WhyNow. Objek yang hidup, yang bergerak, yang merekam, yang berjalan dalam dunia teks. Barangkali ini yang diinginkan oleh Celine Song. Celine lahir di Korea Selatan dan pindah saat usia 12 tahun. Tepat! Usia keduabelas, seperti kisahnya dalam film Past Lives. Nora seorang yang harus pergi ke New York mengikuti jejak pekerjaan orang tuanya, meskipun dalam adegan pembuka, Nora seolah seperti memutuskan diri ingin pergi ke New York untuk mengejar cita sebagai penulis yang ingin memperoleh Nobel.
Nora kah wujud daripada kisah Celine Song? Penonton boleh bilang ya dan atau tidak. Jikalau memang iya, bukanlah kisah cinta antara Nora dan Hae Sung yang membuatnya istimewa. Tetapi cara Nora membahasakan budaya, bahasa, dan ekspresi kebahasaan dua negara yang sama sekali berbeda. Nora sama seperti Celine yang tumbuh besar di Korea Selatan sampai usia ke 12. Sebelum pindah ke New York, Nora ikut studi sekolah dasar di Korea Selatan. Masa sekolah dasar ini, Nora mulai berkenalan setelah si guru sekolah iseng melakukan permainan saling jodoh. Nora mendapatkan Hae Sung. Guru ini mempengaruhi Hae Sung, sehingga cara pandang Hae Sung mengenal Nora bukan sebatas teman. Seolah di antara mereka ada chemistry.
Nora pergi ke New York. Nora pamit ke teman sekolah dasarnya, termasuk Hae Sung. 12 tahun kemudian, scene beralih dalam frame aktivitas Nora di apartemennya. Waktu itu malam larut, Nora membuka laptop, Facebook, lalu melihat notifikasi satu akun dari Korea melihat profilenya. Hae Sung yang melihat itu. Penasaran dengan kehidupannya saat itu, Nora memberanikan diri bertanya kabar melalui chat. Kemudian keduanya intens bercakap melalui telepon video. Suatu malam, setelah pulang dari bar, Hae Sung menutup telepon video bersama Nora dengan ungkapan, tidak tahu, saya merindukanmu. Entah, ekspresi Nora bukan terkejut jungkir balik, melainkan hanya kejut biasa saja.
Kedekatan yang dibangun lewat gawai, membuat keduanya semakin merasa memiliki ikatan lebih. Meskipun mereka sadar, yang mereka bangun hanya realitas virtual. Saat keduanya semakin merasa dekat, tiba-tiba dengan sengaja Nora memutus komunikasinya dengan Hae Sung dengan alasan hanya karena sedang tidak ingin berbincang lagi saja. Dengan kata lain, Nora meginginkan jarak, tapi tak pernah jelas jarak yang diinginkan itu karena apa. Tampaknya Song mengambil transisi hidup dalam 12 tahunan. Komunikasi itu diputus dalam 12 tahun, setelah 12 tahun kemudian komunikasi itu kembali. 12 tahun kemudian, Heu Sung menyambung komunikasi, sekali lagi bersama Nora, tapi dalam kondisi Nora yang sudah menikah.
Heu Sung patah hati tapi tak mengerti perasaan apa persisnya rasa patah hati ini. Tapi Heu Sung enggan menyerah, Heu Sung justru pergi ke New York, sebagaimana 12 tahun lalu ia pernah mengatakan, “Aku ingin bertemu kamu sekali lagi”. Meski sempat mabuk satu malam hingga tumbang, Heu Sung meyakinkan dirinya akan tetap berangkat. Sampai di New York, barulah naskah cerita ini penuh dengan konflik yang cukup tegang. Tegang dengan kata lain, keputusan pertemuan antara Heu Sung dan Nora, apa saja yang akan hadir akan sangat mempengaruhi jalan kehidupan mereka berikutnya.
Pertama kali datang, Nora bertemu Heu Sung lantas mengenal pertemuan kecil mereka. Nora mengingat Heu Sung sebagai orang yang sering memberikan sematan inferior terhadap Nora, dalam konteks bercanda. Seperti perempuan yang cengeng. Begitupun Heu Sung sebaliknya, menganggap Nora seperti demikian. Pulang dari pertemuan pertama, Nora bercerita pada suaminya. Seorang seniman berdarah Yahudi, yang sangat jarang membangun hubungan dengan kultur Asia Timur itu sedang duduk di ruang tamu sambil bermaini Playstation. Suaminya bernama Arthur. Saat cerita selesai, Arthur merasa cemburu, karena itu di sinilah kekuatan Celine Song. Sorot kekuatan tema yang berada dalam frame motion kamera.
Di dapur yang berada dekat dengan Kamar Mandi, Arthur mengeluh, apakah dengan pertemuan itu Nora merasa dirinya lebih cocok dengan Heu Sung. Secara bagi Arthur, dirinya seorang Yahudi sementara sahabat kecilnya sama-sama Korea. Bahkan Nora mengatakan, apakah dengan pertemuan tadi kamu merasa lebih Korea. Ini proses akulturasi nilai, yang barangkali tidak ditemui melalui konflik sosial yang luas. Akulturasi yang hanya berada dalam lingkup keluarga. Ada bahasa Ibu yang tertinggal, kendati sudah sepuluh tahun lebih, Nora mengatakan barangkali perasaan ini bukan hal yang istimewa terhadap Heu Sung, melainkan perasaan yang disebabkan rasa rindunya terhadap Seoul.
Bahasa betapapun orang banyak menyatakan hanya sebatas media komunikasi. Kau paham aku paham itulah bahasa, tapi tidak bagi Song. Karena itu, Song mendudukkan bahasa menjadi medium penting agar rumah tangga Nora dengan Arthur tidak kacau hanya karena ada seorang Heu Sung. Bahkan Arthur di pertemuan ketiga, dengan rela belajar Bahasa Korea untuk menyambut Heu Sung. Karena itu mereka merasa lebih baik dan suasana lebih cair.
Baru ketika pertemuan kedua, mereka kencan bertiga. Nora bersama istri, sementara Heu Sung sebagai seorang sahabat kecil jadi pihak ketiga. Percakapan ketiga orang itu lancar, akan tetapi itu terjadi sementara. Arthur yang melihat keakraban keduanya, akhirnya menepi ke penjaga bar. Meskipun Heu Sung menjelaskan sebelum mereka keluar dari sana, meminta maaf dan sekaligus berterimakasih atas pertemuan itu.
Bagaimana jadinya, jika anda menemui memori masa lalu anda yang putus begitu saja. Di tempat yang entah, memori itu kembali dengan membawa rasa keheranan penuh. Peristiwa itu sudah lampau, sangat lampau, bahkan sepanjang aktivitas harian anda mungkin tidak menemukan kenangan itu barang secuilpun di sekitar anda. Ini yang disedikan oleh Past Lives, meski tentu narasi kisah ini tidak begitu bagus. Dialognya cukup sederhana. Hanya saja, yang penting dalam film ini adalah konsep In-Yun. Konsep dalam Buddhisme yang dijelaskan oleh Nora, suatu waktu saat sedang melakukan refleksi, bicara bahwa setiap orang pada akhirnya merasakan In-Yun. Buah dari takdir yang terus memaksa kita bertemu dengan masa lalu, yang tak pernah benar-benar lalu.
Ada banyak yang menganggap film ini, secara konsep cinta seperti kisah dalam In The Mood For Love, Wong Kar-Wai. Sebuah hubungan yang memungkinkan terjadinya perselingkuhan pasangan dalam rumah tangga, tapi tidak jadi karena satu sama lain antara pasangan saling menghormati demi janji pernikahan rumah tangga. Nora menjadi peran sentral dalam film ini. Meskipun kisah ini dibalut nilai In-Yun. Sebenarnya secara naratif, jika hanya mengacu pada masa lalu yang datang di hari ini, Indonesia lebih dulu membuat film seperti ini dalam My Heart.
Hanya saja yang berbeda adalah, teknik sinematografi, pengambilan adegan, dan tentu saja pasar. Barangkali film ini masuk dalam nominasi Golden Globe Award karena festival di sana, karena film ini memadu dua bahasa Inggris dan Korea. Karena itu, film ini memperoleh nominasi Best Motion Picture dan Non-Englis Language . Bagaimanapun, ini film tentang Identitas, Cinta dan Nasib.