Melambungkan narasi “Intelektual Kampung” melalui buku karya Redy Eko Prastyo bertajuk Intelektual Kampung: Manifestasi Sinergitas Kampung Lingkar Kampus dimaksud untuk menggugat sekaligus menawarkan sebuah konsep dalam membumikan ilmu pengetahuan.
Konsep ini di satu sisi meneruskan gagasan tentang intelektual, sedang di sisi lain mengkritik dan mempertajam selaras konteks dan ruangnya. Intelektual diakui sebagai seorang pemikir, namun tidak berhenti di situ, intelektual sesungguhnya ialah siapa saja yang mampu berpikir dan memperjuangkannya bagi kehidupan masyarakat dan lingkungannya. Sementara itu, intelektual kampung lebih gamblang lagi maknanya; berpikir dan bertindak di lingkungan kampung.
Pemilihan diksi kampung di sini bukanlah semata hiasan semata, melainkan lebih pada praktik nyata kerja intelektual sekaligus berusaha menjelaskan ragam potensi kampung yang selama ini terabaikan.
Terma intelektual yang dipadu dengan lokus kampung terbilang sama sekali baru. Kita sering mendengar kata cendekiawan, intelektual, intelektual organik atau publik yang dikemukakan Gramsci. Penekanannya lebih pada peran sosial yang dikerjakan seorang intelektual di luar urusan pekerjaannya. Gramsci menyebutnya sebagai intelektual organik. Namun demikian, konsep intelektual publik ini acap kali bias; dilekatkan pada orang yang berbicara mewakili orang banyak atau publik, namun belum tentu pada tindakannya yang melokal.
Istilah lainnya yang pernah mencuat yaitu kiai kampung, yang dikedepankan oleh Gus Dur dalam konteks gerakan NU di kampung. Pondasinya, tanggung jawab sosial individu atau personal social responsibility (PSR) pada wilayah religiusitas. Namun demikian, narasi intelektual kampung belum terdengar bunyinya sebagai gerakan sosio-kultural yang berpondasikan tanggung jawab sosial individu.
Dalam rangka itulah dinilai perlu menampilkan narasi intelektual kampung menjadi diskursus dan gerakan bersama. Konsep ini berangkat dari praksis di beberapa kampung dan antor penggerak. Artinya, sudah dipraktikkan, namun belum masif dan menjadi narasi pandangan familier.
Intelektual sebagaimana disampaikan para pemikirnya, seperti Edward Said dan Antonio Gramsci, ialah orang yang mempunyai kesadaran mempergunakan ilmu pengetahuannya bagi kemaslahatan umat–di kampung. Lebih tegas, Gramsci mengatakan bahwa intelektual sejati (bukan profesional biasa yang menjalankan profesinya) adalah individu yang peka terhadap realitas dan menjalankan fungsi sosialnya.
Adapun pilihan lokus kampung dalam hal ini untuk menekankan bahwa perubahan dapat dimulai dari lingkungan terdekat yakni kampung, baik di wilayah kota maupun di desa. Lebih lanjut, frasa kampung pula dapat dimaknai seorang penggerak bisa berasal dari mana saja. Tidak melulu dari lingkungan kampus yang selama ini dikenal sebagai kawah candradimuka, tetapi orang kampung pun selagi punya kesadaran berbuat dan semangat sosial ialah intelektual sejati.
Jadi, titik tekannya ada pada tindakan. Tidak terbatas pada ilmu pengetahuan saja. Namun bukan berarti mengesamping ilmu pengetahuan, melainkan memadukan keduanya: praksis ilmu pengetahuan.
Narasi intelektual kampung ini diharapkan dapat menjadi refleksi bersama bagi komunitas, kampus, maupun orang perorangan untuk menjadi bagian dari perubahan kampung ke arah cita-cita luhur bangsa.
Benar saja, pasca-launching buku “Intelektual Kampung” di kantor Penerbit Intrans pada 10 Desember 2023, banyak pihak antusias. Apresiasi berdatangan dari berbagai kalangan. Namun, tidak kalah penting juga kritik yang menjadi diskursus, yang membuktikan hidupnya narasi intelektual kampung.
Terlebih di kalangan sarjana, narasi intelektual kampung menjadi kritik sekaligus tantangan ke depannya dalam menjawab persoalan sosial bangsa. Universitas Brawijaya dan Ikatan Alumni Universitas Brawijaya (IKA UB), yang merupakan almamater penulis, juga turut mengapresiasi gagasan Intelektual Kampung. Alih-alih mengabaikan karena mengkritik perguruan tinggi, justru para sarjana menjadikan literatur tersebut sebagai vitamin perbaikan.
Gagasan intelektual kampung ini juga disambut hangat dan didukung oleh kementerian pendidikan, riset, teknologi, dan pendidikan tinggi (Kemendikbudristek) melalui Dirjen Kebudayaan. Sebab, dengan meletakkan kampung sebagai bagian strategis dalam perubahan berarti pemajuan kebudayaan dapat lebih masif dan menyeluruh disentuh. Sebagaimana kita ketahui bahwa kampung ialah lumbung kearifan lokal yang perlu diaktivasi.
Masih berlanjut, misi pemajuan kebudayaan kampung sejalan dengan program daya desa di kementerian desa, transmigrasi, dan daerah tertinggal (Kemendesa-PDTT). Karena itu, program pemajuan desa-kampung ke depan mestilah dipandang menyeluruh dan terintegrasi antara satu pihak dengan yang lain, seperti kampus, Kemendikbud, Kemendesa-PDTT, dan komunitas terkait. Dengan demikian, gaung dan gerakannya dapat berjalan seoptimal mungkin.
Dengan hadirnya literatur tentang Intelektual Kampung ini memperkaya perspektif ihwal kampung dan metode aksi untuk mengelola dan memanfaatkannya. Ini barulah langkah awal untuk menghidupkan literasi tentang kampung. Ke depan perlu lebih banyak lagi kajian menyoal kampung. Sebab, literasi kampung menjadi bagian dasar yang harus dipenuhi dalam rangka pemajuan kebudayaan kampung. Dengan demikian, posisi kampung secara perlahan semakin berdaya.