Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 terhitung masih cukup lama. Sekitar dua tahun lagi. Namun para politisi dengan kendaraan Partai Politiknya masing-masing sudah mulai memanaskan mesin. Beberapa Parpol bahkan sudah mengusung nama-nama yang akan bertarung dalam Pemilu. Banyak pula tokoh yang mengusung dirinya sendiri. Spanduk mereka terpampang gamblang di ruang-ruang publik. Tak pelak di sana-sini publik dipertontonkan kegaduhan menjelang Pemilu 2024. Inikah yang dinamakan pesta demokrasi?
Jika asumsi banyak orang terkait praktik-praktik politik kekinian di Indonesia disederhanakan, maka kemungkinan akan muncul tiga kata yang mewakilinya yakni traksaksional, pertarungan dan kekuasaan. Ketiga penggambaran tersebut, seolah memiliki tautan dengan realitas dan dinamika politik yang kini berkembang dari hari ke hari. Pemilu 2024 masih lama, tapi kontestasi yang melibatkan manajemen konflik, strategi menaikan legitimasi diri dan mendelegitimasi kekuatan yang lain sudah membuat jagat politik kita sangat gaduh sebelum waktunya. Seluruh energi elit tercurah pada pemetaan kekuataan dan matematika politik untuk pergantian kekuasaan pasca Jokowi Widodo. memang sudah diprediksi akan menjadi tahun kontestasi. Bahkan muncul gejala komplikasi yang menyebabkan politik kita tak sehat.
Istilah yang digunakan James P Carse, dalam Finite and Infinite Games (1987), Pemilu bisa dikategorikan sebagai finite game atau permainan yang memiliki awal dan akhir khususnya tentang kekuasaan, yang kecenderungannya menjadi mekanisme memenangi kekuasaan belaka untuk kepentingan pribadi dan golongan semata. Istilah-istilah demi rakyat, untuk kepentingan rakyat, wakil rakyat, mengabdi pada rakyat menjadi “SIMBOL” yang berlimpah memenuhi beragam saluran komunikasi dan menjadi simulasi realitas dalam memersuasi bahkan memanipulasi kesadaran masyarakat. Situasi ini sudah sangat terbiasa menghadirkan finite player, yakni para politisi yang secara optimal menyalurkan hasratnya semata-mata untuk mendapatkan piala kekuasaan.
Tahun 2019 seharusnya menjadi pelajaran besar bangsa ini dalam konteks politik. Lengkap dengan selaksa cerita dan dinamika kesejarahannya. Tahun yang di dominasi informasi pencitraan, dan beragam tingkah pola pencarian perhatian serta dukungan masyarakat guna memenangi pertarungan di bilik suara. Hal wajar yang selalu dialami negara demokrasi saat menggelar pemilu reguler dengan gegap gempita pertarungannya. Suhu politik mencapai titik didihnya dan di beberapa kesempatan menghadirkan turbulensi yang membuat masyarakat khawatir akankah demokrasi kita cukup memiliki daya tahan di tengah gesekan kekuatan politik yang sangat terfragmentasi.
Dalam hal ini, kita wajib belajar dari pengalaman Pemilu 2019 lalu. seperti kata banyak orang; ambil yang baik, tinggalkan yang buruk. Ternyata, kita bisa melewati tahun politik tersebut meski dengan sejumlah pekerjaan rumah yang tak mudah. Tahun 2024 mendatang, menjadi tahun harapan sekaligus fase ujian model demokrasi konsensus yang masih menjadi ciri dominan praktik politik pasca pemilu di Indonesia. Arend Lijhart dalam bukunya Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (1999) menyebutkan dalam kondisi majemuk yang tidak ada partai dominan,kedepannya kebanyakan kekuatan politik cenderung akan menggunakan demokrasi model konsensus. Koalisi untuk membangun pemerintahan, merupakan bagian dari konsensus tersebut. Sejak Pemilu pertama pascareformasi hingga sekarang model konsensus inilah yang menjadi pilihan para pihak yang dimandati kekuasaan.
Harapan publik sesungguhnya sederhana meski untuk merealisasikannya butuh kerja luar biasa! Harapan pada pemimpin terpilih adalah bonum commune yakni prinsip mengedepankan kepentingan umum. Jokowi-ma’ruf amin harus optimal dan mentransformasikan dirinya menjadi kekuatan system di akhir pergantian rezim yang bisa dirasakan kemanfaatannya untuk memperbaiki persoalan-persoalan nyata di masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, toleransi, dan lain-lain. Istilah kerja bukan lagi di posisikan sebagai “mantra” jitu penarik suara, melainkan wajib mewujud dalam sejumlah indikator capaian nyata untuk memperbaiki bopeng-bopeng wajah kekuasaan yang kerap dirias dan menampilkan dramaturgi politik citra!
Paling tidak ada tiga tantangan utama tahun ini dan ke depan. Pertama, jalan keluar dari kekakuan kubu kekuasaan. Zona elite yang terus memfokuskan pada pembentukan koalisi, akankah tetap menjadi simbol egoisme para elite dan menjadi labirin kekuasaan? Tantangan ini jika tak teratasi akan menjadi jebakan retrogresi politik yakni pemburukan dan penurunan kualitas politik akibat ulah para politisi dan partai politik yang bekerja semata-mata mendapatkan jatah kekuasaan.
Kedua, tantangan untuk menghadirkan komunikasi deliberatif. Kata deliberatif berasal dari kata Latin deliberatio yang artinya konsultasi, musyawarah, atau menimbang-nimbang. Komunikasi bersifat deliberatif jika prosesnya mampu menghadirkan konsultasi publik, atau diskursus publik. Ada upaya meningkatkan intensitas partisipasi warga dalam proses pebentukan aspirasi dan opini. Proses ini, merupakan jalan untuk merealisasikan konsep demokrasi deliberatif yang berprinsip (pemerintahan oleh yang diperintah). Jangan sampai elite berkuasa berpikir, dirinya adalah kekuasaaan dan apapun yang menjadi keinginan serta kepentingannya menjadi hukum yang harus ditaati dan dijalankan tanpa memberi ruang aspirasi dan partisipasi. Ketiga, menghadirkan produktivitas kinerja.
Ketiga, kontestasi juga akan terjadi di domain media massa. Mulai sekarang hingga menjelang 2024, akan selalu muncul serangkaian strategi dan pola menggarap opini publik media. Sebagaimana kita ketahui, salah satu karakteristik opini publik itu adalah dikonstruksi. Media menjadi ranah pertarungan para pemilik modal, petualang dan pemilik kekuasaan politik. Realitas simbolik media diperebutkan untuk mengkonstruksi legitimasi diri sekaligus mendelegitimasi kekuatan lawan yang akan berdampak pada pembentukan opini dan perilaku masyarakat. Pada akhirnya, publik akan mengkonfirmasi janji dengan realisasi kerjanya. Jika ingkar, maka kuasa pasti tak lagi mengakar! Kekuasaan yang tercerabut dari akar harapan publiknya, ibarat membangun istana di atas pasir.
Perspektif Koalisi
Dalam kongsi masing-masing merupakan pilihan paling realistis yang dapat mereka capai di antara banyak opsi sebelumnya. Realitas politik memang mengharuskan koalisi berlangsung dalam dua skema, yakni koalisi pra-Pilpres dan pasca Pilpres. Pra-Pilpres semua kekuatan potensial berlomba mencari kawan seperjalanan. “Ijab qobul” sebagai mitra dilakukan prapilpres agar menjadi pasangan sah melampaui ambang batas “pencapresan” (presidential threshold) 25 persen suara sah nasional atau 20 persen kursi DPR.
Seperti yang kita ketahui Partai, Golkar Pan dan PPP telah menentukan kawan seperjuangan dalam menghadapi kontestasi kedepan nya dengan nama koalisi Indonesia Bersatu (KIB), yang menjadi pertanyaan publik apakah koalisi ini akan komitmen sampai akhir? Tentunya, politik selalu dinamis dan kapan saja bisa berubah. Semua akan terjawab hingga “Injury time”. Pada kondisi yang berbeda,partai politik diluar Koalisi Indonesia Bersatu masih malu-malu kucing dalam menentukan pilihan dan masih dalam tahap konsolidasi, jika memakai Bahasa yang lebih lembut disebut sebagai “Silaturahmi Kebangsaan”. Masih banyak waktu dan tahap agar semua rampung dalam penentuan koalisi, tidak bisa kita pungkiri. Agenda politik nasional (Pemilu) selalu menghadirkan konflik struktural maupun non struktural.
Skema koalisi pasca-Pilpres biasanya terkait dengan pembentukan pemerintahan. Konfigurasi kekuatan kelompok yang memerintah, bisa sama dengan prapilpres, tapi bisa juga berubah dinamis. Anatomi kekuasaan tetap mengacu pada akomodasi politik sebagai wujud pengaturan keseimbangan yang sangat rumit. Hampir tiadanya parpol oposisi yang efektif di parlemen, dan hubungan promiscuous (pergantian pasangan) di dalam koalisi politik yang ada.