Buku yang terus dicetak, diproduksi, direplika atau dipahat dalam artefak barangkali membuat kita terdecak kagum dan seolah rasa percaya itu datang begitu saja. Ada epos lawas yang sampai hari ini terus menerus menjadi acuan sejarah, yang konon muasal cara aktivitas sapiens berasal dari sana. Tulisan itu ada dalam bentuk tablet, dengan judul “Epos Gilgamesh”. Epos yang hari ini membentuk narasi kehidupan Sapiens, seperti kisah-kisah transaksi ekonomi pertama dan banjir bah yang menghancurkan peradaban sebelumnya. Semacam titik tolak peradaban baru. Berdasarkan catatan, epos ini berasal dari 2000 SM. Benarkah Gilgamesh nyata? Agaknya pertanyaan ini cocok diterapkan pada kisah Kerajaan Singhasari.
Catatan kerajaan Singhasari, sejauh yang mampu kita temukan hari ini, adalah muatan naskah kurikulum Pendidikan yang berdasarkan kepentingan pembangunan nasional. Sejak Sekolah Dasar, maka kita temukan kisah-kisah ini dalam buku ajar. Dalam buku ajar, tentu saja kita tidak diperkenankan bertanya, dari mana sumber rujukan data tersebut, selain disuguhkan gambar artefak yang disimpan di Museum Nasional. Barulah ketika beranjak studi lanjut ke perguruan tinggi, setidaknya orang mampu bertanya tentang kebenaran Kerajaan Singhasari. Dengan pengecualian, barangkali sejak SD dan SMA kita telah bertemu guru yang mampu mendidik kita secara kritis.
Sejauh sumber rujukan yang dipakai oleh peneliti sejarah, seringkali rujukan utama dokumen tentang Kerajaan Singhasari pasti berputar di sekitar naskah Pararaton atau Negarakertagama. Memang ada buku-buku yang dicatat berdasarkan langsung atas uji karbon beberapa Artefak yang tersebar dalam sebaran peta kerajaan. Hanya saja, apakah dugaan itu bersifat final? Seperti kisah peta-peta pelarian Ken Arok yang diburu Tunggul Ametung. Barangkali secara sederhana, buku-buku ini ada dalam Sejarah Kerajaan Hindu-Budha di Indonesia, tapi apalah jika ternyata kisah itu hanya fiksi yang kita sepakati.
Baru sejak Historigrafi Modern Indonesia mulai berani menulis sejarah dengan cara berebeda kita menemukan kekayaan yang lebih banyak. Termasuk antara lain, kumpulan peneliti dan penulis yang keliling napak tilas mencari jejak Kerajaan Singhasari. Peneliti dan penulis ini, menulis salah satunya buku tentang Semesta Kerajaan Singhasari. Penulis-penulis ini, mereka-reka dengan cara napak tilas, kira-kira peta mana saja yang masuk ke dalam Kawasan kekuasaan Kerajaan Singhasari. Dengan bermodalkan Topografi kuno 1811 yang merujuk pada catatan Rafles, mereka memperkirakan Kawasan Singhasari berada di Kutoraja atau Kota Raja.
Letak Kota Raja diperkirakan berada dalam Kawasan Supit Urang, yakni kawasan pertemuan antara Sungai Brantas dan Sungai Bango. Di Kawasan ini, di antara dua sungai Kerajaan Singosari menjadi tempat strategis untuk hidup sekaligus bertahan hidup. Sementara dalam waktu yang sama, berdasarkan catatan Zainul Arifin dalam buku ini, kekuasaan Tumapel hampir selesai. Ini barangkali benar, barangkali keliru. Barangkali Singhasari hanya penegas bahwa pernah ada, suatu masa, yang disebut Nusantara pernah berjaya. Karena itu , dalam buku ini, penulis tidak menuturkan model kebenaran yang utuh.