“Gawean utama wong wedok iku masak, macak, lan manak. Mergaiku, wilayahe dapur, sumur, lan kasur kanthi gawean: isah-isah, umbah-umbah, lan lumah-lumah”, ungkap perempuan rentan menasehati cucu perempuan.
Tamatlah kisah Si Yayuk yang memiliki segudang cita-cita seperti Kartini. Tak ada sepatah kata pun untuk membantah ucapan Eyangnya. Salah satu orang yang berjasa bagi dirinya pasca kecelakaan maut yang menimpa orang tuanya.
“Ojok ngono, Buk”, tangkas seorang lelaki sambil menghirup rokok kretek yang tak sengaja mendengar nasehat Eyang pada Yayuk. Lelaki itu tak lain adalah Paman Yayuk. Ia paham betul keinginan besar si ponakan untuk menjadi seorang dosen.
“Awake dewe iki wong mlarat, awake dewe ora nduwe dhuwit kanggo ngetokke kekarepane”, balas Eyang. Yayuk hanya bisa menahan air mata dan Paman pun tak bisa berkutik dengan balasan Eyang.
Paman hanya tukang becak dengan penghasilan sekitar 50–100 ribu per hari. Sementara itu, Eyang hanya penjual gorengan yang penghasilannya terkadang tak jauh beda dengan Paman.
Percakapan semua dimulai dari keinginan Yayuk untuk melanjutkan strata satu di kota impiannya, Ibu Kota Jakarta. Alhasil, pundi harapan telah gugur dan terkubur dalam lahat duka. Keinginan menjadi Kartini lantas mengering bersamaan dengan ketidakmampuan ekonomi.
Menjadi Buruh adalah Pilihan
Bagi perempuan berusia sekitar 17 tahun ke atas di desa itu, tak ada pilihan lain selain menikah. Itulah kebiasaan dan ajaran di desa tempat Yayuk tinggal. Pada awalnya, praktik itu hanyalah kebiasaan, tetapi menjelma menjadi ajaran—terkhusus bagi perempuan.
Bahkan, nilai tersebut harus dijalankan menurut norma yang berlaku. Jika tidak menuruti ajaran tersebut, perempuan di desa tersebut harus pergi merantau.
Walupun akhirnya keluarga perempuan mesti tebal telinga karena menerima cemoohan dari para tetangga. Yayuk memilih merantau. Pilihan itu tak sepenuhnya didukung, terutama oleh Eyangnya.
Ia menilai bahwa dengan merantau, ia dapat membantu memenuhi kebutuhan Eyang dibanding pilihan yang pertama. Ternyata, nilai budaya tidak selamanya mendatangkan kebaikan bagi perempuan. Terkadang, kesetaraan bukanlah keniscayaan bagi kaum hawa.
Tentu, kemurungan dan kebingungan yang kemudian nampak di wajah Yayuk. Merantau untuk menjadi “buruh” adalah pilihan dari batas semu antara benar dan salah.
Itulah tawaran dari satu teman Paman, yakni Pak Abdu. Pak Abdu adalah pegawai senior perusahan rokok ternama di Jakarta.
“Nak, perkenalkan saya Abdu Musthofa”, Pak Abdu memperkenalan dirinya.
“Enggeh, saya Yayuk Mulyani. Ponakan Paman Adi”, saut Yayuk.
“Bagimana tawaran saya? Begini, di pabrik saya kerja membutuhkan pegawai perempuan untuk bekerja”, jelasnya.
“Enggeh, Insya Allah saya bersedia menjadi pegawai”
Mendengar hal itu, Eyang tak kuasa menahan air mata. Bagaimana tidak? Cucu satu-satunya yang ia didik seperti anak sendiri harus mengadu nasib di ibu kota.
Eyang paham dalam lubuk hatinya bahwa merantu belum tentu merubah nasib si Yayuk. Akan tetapi, Eyang sudah kehabisan cara untuk menyakini Yayuk untuk tetap di desa dan menikah dengan pilihannya.
Tepat tanggal 13 Desember 2010, Yayuk benar-benar meninggalkan desa kelahirnanya bersama Pak Abdu. Sinar purnama itu semakin terang dengan pilar-pilar lampu yang berjejeran sangat rapi.
Seperti energi yang memberikan keyakinan atas keputusannya. Sesampainya di kota metropolitan, tak ada kata “istirahat”, bersamaan dengan keluarnya kontrak itu. “Yayuk Mulyani mulai bekerja pada tanggal 14 Desember 2010”.
Dengan mata yang sembab tak membuat ia pudar. Langkah demi langkah Yayuk lewati bersama kebingungan terhadap situasi pabrik.
“Hai, kau anak baru ya?”
“Ya”
“Kau Yayuk, kan? Kau dititipkan oleh Pak Abdu untuk bekerjasama denganku. Kita akan bekerja di bagian penggilingan tembakau dan bagian pelintingan rokok”.
“Baiklah”
Tanpa basa–basi, ia menggunakan seluruh kapasitasnya—pengetahuan dan tenaga—untuk memaksimalkan pekerjaan tersebut. Tak pernah ada keluhan yang terlontar dalam benaknya, yang ada hanya “Bagaimana aku bisa kuliah dan membantu Eyang”.
Alhasil, baru bekerja sehari Yayuk berhasil membuat partner-nya terkesima dengan kerja yang dilakukan. “Yuk, kenapa begitu cepat dan bagus hasil yang kaulakukan?”
Yayuk hanya sekadar tersenyum hingga ginsul giginya terlihat dan membuat aura kecantikan terpancar dari wajahnya.
Si Perempuan Malang Diupah Rendah
Sejak bekerja di pabrik itu, sama sekali tak pernah terdengar para buruh membicarakan upahnya. Bahkan, Pak Abdu juga tak pernah memberikan informasi tentang gaji kepada Yayuk.
“Tin, (partner kerja Yayuk) sebenaranya kita digaji berapa sih?”
“Hahaha kau sudah hampir satu bulan kok baru tanya sih, Yayuk?” ledeknya.
“Iya, karena aku tak tau sama sekali tentang itu”, bela Yayuk.
“Pekerja pabrik rokok di sini yang menerima gaji dibawah UMK umumnya bekerja di bagian penggilingan tembakau dan bagian pelintingan rokok. Kita digaji dengan sistem jumlah besar. Jika dihitung-hitung, pekerja dibayar tiap harinya sebesar Rp. 54.000 untuk 8 jam kerja. Pembayaran itu pun masih harus dibagi sebesar Rp 32.400/hari untuk pekerja di bagian penggilingan dan Rp 21.600/hari untuk pekerja di bagian pelintingan. Kondisi yang menyedihkan bukan?”
Mendengar hal itu, gemetar seluruh tubuh Yayuk. Ia hanya bergumam dalam hati, “Bagaimana mungkin aku bisa kuliah? Membantu Eyang atau Paman? Mengapa lebih sejahtera hidup di desa?”.
Semua yang ia dapati tak sesuai dengan keingananya. Kembali ia menggerutu “Tahan Yayuk, tahan Yayuk. Jangan menangis ataupun marah di sini”
“Yuk, mengapa kamu diam? Kamu kaget kah? Aku tau perasaanmu begitu mendalam ditambah dengan cita-citamu yang begitu besar. Sama halnya denganku. Dulu, aku bercita–cita seperti Rosa Luxemburg. Bahkan, ketika kuliah, aku sering membela kaum buruh yang digaji rendah. Lambat laun setelah orang tuaku bercerai saat aku semester tujuh dan mereka tak memedulikanku, aku harus putus kuliah dan memilih menjadi buruh.”
Yayuk hanya bisa menatap Titin tanpa berkata sedikit pun.
Titin melanjutkan kembali kalimatnya “Kita memang telah ditakdirkan menjadi perempuan yang memilih jalan keras ini, Yuk. Kau tau Yuk? Aku sudah sejak dulu mengubur cita-cita soal perubahan. Dulu, ketika kuliah, aku adalah bagian dari perempun yang melawan. Namun, karena takdir ini, aku harus mangadu nasib menjadi buruh. Kita ini adalah perempuan di ujung tanduk, Yuk. Kita perempuan yang dipenjara oleh sistem. Kita tak usah punya cita-cita, karena cita-cita hanya milik perempuan yang kaya dan berkuasa. Dan kita? siapa kita, Yuk?”