Sebagai manusia yang sama halnya memiliki akal dan batin, perempuan seringkali dijajaki dengan label bahwa perempuan itu (lemah) lembut. Label tersebut hingga kini telah mandarah daging hingga menjiwai perempuan itu sendiri.
Labelisasi tersebut tidak akan problematis, jika tidak ada kata awalannya, yakni lemah. Memang, pandangan tersebut pernah berlaku pada masanya, namun tidak masa kini.
Pada rentetan sejarah panjang, kita ketahui bersama, perempuan selalu mengalami peminggiran. Pada sejarah kemerdekaan pun, sedikit sekali peran perempuan yang tertuang dalam buku sejarah yang kita konsumsi hingga kini. Hanya nama-nama masyhur saja yang disebutkan, itu pun tidak ada pembahasan secara detail perihal perjuangan yang dilakukan para pejuang perempuan.
HDI (Human Development Index) sejak tahun 1995 telah menambahkan dimensi perempuan dalam indeks dan evaluasi keberhasilan pembangunan nasional. Penilaian baru yang menambahkan perempuan dinamakan GDI (Gender Development Index), yakni kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam usia harapan hidup, pendidikan, dan jumlah pendapatan. Juga GEM (Gender Empowerment Measure) yang mengukur kesetaraan gender dalam partisipasi politik, peran ekonomi, dan pengambilan keputusan.
Sebuah angin segar bagi perempuan dengan dimulainya pembangunan di berbagai sektor yang sebelumnya tidak dapat diakses oleh perempuan. Sebut saja, pendidikan, kesehatan, partisipasi dalam bidang politik dan ekonomi tentunya.
Partisipasi perempuan dalam ranah pendidikan memang sangatlah penting. Namun, realitanya, tidak sedikit pula perempuan yang tidak ingin terlibat dalam dunia pendidikan. Sebagian perempuan ini merasa puas dengan pendidikan menengah yang telah dilaluinya. Walaupun tidak mengentaskan pendidikan secara maksimal, namun setidaknya telah mengenal baca dan tulis.
Pada era ini pun, dengan pesatnya perkembangan teknologi dan informasi gairah baca seakan menjadi tradisi baru. Tidak mengenal lapisan masyarakat, semuanya menjadi gemar membaca. Buktinya, berbagai bahan bacaan telah tersedia di mana pun dan dapat diakses kapan pun.
Kebanyakan perempuan masa kini pun tidak bisa enyah dari kehidupan maya. Sudah tidak ada sekat perempuan desa maupun perempuan kota, semuanya mengakses. Selain menjadi ajang gaya gaya-an, dunia maya juga menawarkan pengetahuan yang berhamburan, dari kabar berita internasional hingga tips mengganti popok bayi pun ada.
Dengan begitu, banyak bermunculan perempuan yang tadinya “buta informasi” kini berubah menjadi “konsumtif informasi”.
Perempuan yang tidak terlalu tinggi pendidikannya pun dapat mempelajari sesuatu setara dengan perempuan yang menempuh pendidikan tinggi. Bahkan tidak sedikit pula perempuan yang berpendidikan, ketinggalan jauh di belakang ketimbang perempuan yang pendidikannya tidak terlalu tinggi dalam hal pengetahuan.
Diyakini atau tidak pengetahuan akan membuat perempuan semakin cerdas dan multi-tasking. Nyatanya, perempuan kini tidak hanya menjalankan tugas domestik saja, tetapi juga merangkap menjadi ibu rumah tangga, bekerja, dan berwirausaha.
Energi kreatif dan inovatif akan terus menyala dalam jiwa perempuan. Naluri terhadap mengembangkan ekonomi keluarga pun tak luput menjadi perhatian perempuan.
Di sela-sela waktu atau kejenuhan bekerja, beberapa perempuan memanfaatkan waktunya untuk berbisnis online. Juga, mengeksplor segala lini informasi untuk kebutuhan pengetahuan dirinya sendiri maupun keluarga beserta anak-anaknya.
Poin penting yang ingin saya utarakan disini ialah, sudah tidak wajar lagi penempatan perempuan seperti zaman dulu, tidak diberi ruang dalam mengembangkan potensi. Sejatinya, perempuan sama halnya dengan laki-laki yang memiliki hak yang sama dalam mengakses semua aspek kehidupan.