Banyak orang di luar sana kemudian mencari-cari ketenangan tanpa paham definisi dari ketenenangan itu sendiri. Adalah tidak cukup jika hanya mengartikan tenang dengan suatu keadaan yang mampu mengalihkan kita dari segala macam riuh yang ada di dalam dan luar kepala. Sebab, kata “mengalihkan” itu agaknya kurang tepat. Apa benar demikian?
Dalam KBBI, Tenang diartikan sebagai tidak gelisah: tidak rusuh; tidak kacau; tidak ribut; aman dan tenteram (tentang perasaan hati, keadaan). Selanjutnya, antonim atau musuh dari tenang ialah gelisah, rusuh, kacau, dan ribut. Tenang kerap kali diibaratkan sebagai air laut tanpa gelombang: kelihatan diam dan tak beriak. Namun, perlu digarisbawahi bahwa sebenarnya tak hanya dhohir saja yang harus diam lagi tak beriak, tapi juga soal batin yang adem ayem dan tak berpetir lagi berbadai.
Sekumpulan manusia kemudian berduyun-duyun mencari kunci jawaban atas soal yang bertajuk ketenangan. “Bagaimana cara menenangkan hati dan pikiran,” sudah bukan kalimat asing yang dikonsumsi oleh google akhir-akhir ini. Artikel yang membahas tentang cara menenangkan hati pun melimpah ruah, beberapa cara di antaranya adalah dengan berpikir positif, berdoa, cari tempat sunyi, luapkan unek-unek, menerapkan teknik pernapasan, dan melakukan olahraga ringan.
Jadi, mana cara yang paling benar?
Tak ada yang dapat memastikan cara nomor berapa yang paling benar. Jiwa dan kondisi manusia teramat beragam dan tak bisa semena-mena dikotak-kotakkan. Bisa saja cara A lebih efektif menurut si A, tapi di sisi lain cara B ternyata sangat efektif menurut si B. Maka, debat kusir tak diperlukan dalam tema ketenangan ini.
Misalnya menurutku, melakukan aktivitas olahraga ringan macam bersepeda sangatlah membantu menenangkan hati serta pikiran. Entah, barangkali transaksi sepeda bekas yang baru saja kulakukan adalah penyebab utamanya. Kenapa dengan sepeda?
Enam tahun silam yang sebenarnya tidak silam-silam amat adalah kali terakhir aku mengayuh sepeda. Sama sekali berbeda dengan SMP kelas satu, kini alasanku kembali ‘mengayuh’ tidak kulakukan atas dasar menyongsong ibu guru (semua siswa barangkali pernah menyukai ibu guru, entah karena kepandaian, keterampilan, atau yang paling sering ya karena kecantikannya). Namun, kulakukan atas dasar kenangan yang menurutku menenangkan. Bagaimana rasanya angin membelai lalu roda berputar dengan kakiku sebagai sumber dayanya.
Aku mendadak menjadi pesepeda. Akan tetapi, di jalanan, pesepeda dicap sebagai manusia yang tidak taat aturan. Misalnya dalam hal mengantre bahan bakar, disaat semua kendaraan haus lantas dipaksa melipir dan mengantre di SPBU, maka pesepeda tentu menjadi kendaraan yang tak mau mengantre untuk hal semacam itu. Paling-paling ya cuma mampir ke pedagang kaki lima atau toko kelontong kepunyaan ibu dari gadis yang sedang dicinta.
Kegiatan bersepeda juga terkadang adalah tentang pemandangan sekitar. Pemandangan yang tak gampang dan semudah itu selesai. Jika motor membuat lintasan bergerak macam sutet yang naik turun dalam kereta api, maka sepeda yang dikayuh tidak begitu. Ia bergerak lebih lambat lamat-lamat. Persis sama seperti saat menonton film kesukaan. Ah, sungguh nyaman dipandang.
Seperti halnya sihir Abracadabra atau menerima kun fayakun secara mendadak, suasana hati tetiba menjadi tidak gelisah: tidak rusuh; tidak kacau; dan tidak ribut: alias tenang. Aku kurang tahu pasti bagaimana hal itu bisa terjadi. Barangkali karena terpicunya hormon endorphin dari dalam diri. Ya, hormon yang diduga meningkat ketika kita melakukan aktivitas yang menimbulkan perasaan memuaskan. Dan bagiku, aku bisa merasakan perasaan itu di kala mengayuh sepeda.
Dalam kondisi mengayuh, aku menemukan ketenangan. Ketenangan yang dipicu oleh hirup embus napas udara segar, mata yang puas memandang alam, pikiran yang menjelajah ingatan manis masa silam, dan semua detail yang dapat dirasa oleh kelima indra kita—pada setiap pedal yang dikayuh.
Jadi, Kembali pada definisi awal tulisan ini, apa tenang diartikan dengan suatu keadaan yang mampu mengalihkan kita dari segala macam riuh yang ada di dalam dan di luar kepala? Lantas, apa kata “mengalihkan” itu sebenarnya kurang tepat?
Kegiatan bersepeda jika rutin dilakukan memang benar bisa menenangkan, tapi jika hanya dilakukan sekali dalam sebulan; tiga bulan; atau setengah tahun… kurasa kata “mengalihkan” dalam definisi awal sudah tepat.
Barangkali ketenangan dapat kita rasakan ketika kita membiasakan aktivitas yang positif. Kemudian melakukannya secara berkesinambungan, hingga kita terbiasa, untuk kemudian larut dalam segala aktivitas baik yang kita lakukan.