Betapa absurd apabila seseorang memirsa pertandingan sepak bola hanya untuk melihat kesebelasan yang didukungnya menang, bukan untuk menikmati sepak bola itu sendiri.
Apalagi dia memulainya dengan ketidakpedulian kesebelasan mana yang akan lebih terampil, bermain lebih baik, dan mana yang lebih solid. Akan jadi ngehek ketika dia—pemirsa sepak bola itu—merespon ugal-ugalan pada kesebelasan yang secara geografis berada jauh ribuan mil dari dirinya.
Seolah kesebelasan yang ia dukung lebih besar dari sepak bola itu sendiri. Situasi demikian pernah saya temui di beberapa kesempatan saat diajak kawan saya memirsa sepak bola.
Malah kawan saya itu sempat merasa sedih, marah, dan kecewa ketika kesebelasan yang didukungnya kalah. Dia melibatkan tubuh dan kesadarannya untuk kesebelasan yang berada jauh dari tempat dan waktu dia memirsa.
Kesebelasan itu tidak pernah benar-benar hadir dalam hidupnya, kecuali tayangan atas pertandingan sepak bola. Pertandingan sepak bola dialih-ubah, dimunculkan, diadakan, diremediasi, untuk hadir di layar kaca sampai limitnya yang paling memungkinkan.
Tayangan sepak bola hari ini memungkinkan pemirsa melihat rumput yang tercerabut saat Pepe melakukan tekel. Pemirsa mampu mendengar teramat jelas chant penonton yang hadir di stadion.
Tayangan sepak bola lebih dekat dengan pemirsa alih-alih dengan penonton. Kedekatan tayangan sepak bola diserbamungkinkan oleh kecanggihan teknologi yang berhasil melipat-mampatkan ruang dan waktu.
Bisakah menganggap kawan saya mengalami keterlepasan dengan diri sendiri ketika dia merespon secara berlebihan pada kesebelasan hasil tayangan sepak bola itu?
Dan, juga, tingkat kebersediaan seperti apa yang ada di diri kawan saya, yang mampu membuat dia membiarkan apapun saja di luar dirinya untuk memengaruhi perasaannya?
Apalagi jika respon secara berlebihan itu terjadi dalam rentang waktu berhari-hari, sampai-sampai dia lupa jika selama berhari-hari itu sesungguhnya dia tidak kehilangan apapun atas apa-apa yang terjadi pada kesebelasan yang didukungnya.
Lebih-lebih dia sebenarnya tidak terikat pada apa-apa saja yang berkaitan dengan kesebelasan itu. Malah yang terjadi, setidaknya menurut saya, dia berusaha melekatkan segala simbol kesebelasan pada tubuhnya.
Pelekatan simbol-simbol kesebelasan adalah proses pengidentifikasian identitas dia sebagai pemirsa sepak bola. Saya sebut pemirsa untuk membedakannya dengan penonton yang hadir langsung di stadion.
Situasi melekatkan simbol-simbol kesebelasan pada diri kawan saya itu bisa dibaca bahwa dia sedang mengkonsumsi nilai tanda dan nilai simbol untuk memenuhi hasratnya. Sebab, dengan cara mengonsumsi nilai tanda dan nilai simbol seseorang sedang menandai status identitasnya.
Dengan memakai jersey kesebelasan dia sedang memberi tanda kalau dia seorang pendukung dari kesebelasan yang jersey-nya sedang dia pakai itu, Liverpool misalnya?
Dia sedang mengidentitaskan dirinya sendiri dengan cara memiliki dan/atau memakai atribut kesebelasan. Proses mengidentitaskan persis terjadi saat dia mengonsumsi makna yang melekat di jersey Liverpool itu.
Apa yang dilakukan kawan saya jelas bisa dimengerti. Toh, hal yang demikian sudah jamak terjadi hari-hari ini.
Tayangan sepak bola dalam kerangka industri memang bekerja untuk menciptakan ilusi tentang kemelekatan kesebelasan. Kemelekatan itu ditempel pada suporter kesebelasan agar mereka jadi konsumen industri sepak bola.
Malah kalau bisa menjadi suporter yang fanatik hanya pada satu kesebelasan. Semakin fanatik semakin baik. Sebab, hanya itu yang mampu menjamin produk sepak bola (simbol-tanda) bisa laku.
Jika kau menjadi suporter kutu loncat, tidak seperti kawan saya, bersiaplah menanggung lekatan identitas lainnya: tidak setia, tidak berpendirian.
Situasi berbeda terjadi apabila yang menjadi kutu loncat adalah pemain sepak bola.
Pemain kutu loncat terlindung oleh kata profesional dan profesionalisme, meski si pemain sering berpindah kesebelasan. Kata profesional dan profesionalisme memang jadi penemuan terbaik di dunia industri, sekaligus menjadi kata ampuh untuk memberi garis demarkasi antara identitas di industri sepak bola.
Melekatkan identitas sepak bola semakin urakan saat teknologi mampu memeras, melipat, memperpendek, memangkas, mendekatkan sepak bola pada pemirsanya. Pemirsa sepak bola bisa menikmati detail-detail pertandingan sepak bola yang tidak mungkin ia dapatkan saat menjadi penonton.
Itulah yang menciptakan keadaan seolah dekat-melekat antara pertandingan sepak bola ke pemirsa layar kaca, meski pertandingan sepak bola itu menayangkan kesebelasan yang berada jauh dari pemirsa.
Saat tayangan sepak bola kian dekat di hadapan pemirsa, tayangan yang dekat itu serupa yang-liyan-besar, dalam konsep Lacanian, yang mampu membentuk-paksa identitas diri pemirsa.
Cara kerja demikian bisa lah disebut citra diri, atau identitas diri yang dikonstitusikan pada apa pun saja yang berada di luar diri, eskternal, dan asing, terhadap diri sendiri. Bagi Lacan, inilah satu bentuk awal keterasingan manusia.