Membaca berita di media massa tentang acara pelantikan anggota parlemen Republik Indonesia dan kemudian pelantikan presiden Republik Indonesia pada pertengahan oktober lalu, telah memberikan pesan sekaligus kesan yang sangat mendalam tentang masa depan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), minimal lima tahun kedepan dimasa kepemimpinan Presiden Prabowo Subiyanto, yang sejak awal masa transisi politik pemerintahan era orde baru ke era yang saat itu disebut era reformasi namanya selalu kontroversial. Bahkan beberapa biografi seperti biografi Presiden Baharudin Jusuf Habibie ketiga RI maupun biografi Wiranto, yang kala itu menjabat Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang saling menuduh dan saling mengklarifikasi maupun saling meniadakan tentang pernyataan masing-masing.
Demikian juga keriuhan rumah tangganya telah menjadi cerita umum dikalangan masyarakat terutama di dunia lini masa. Apakah ceritanya benar atau tidak, itu urusan lain. Namun, bagi para pendukung dan pembecinya Presiden Prabowo Subiyanto telah menjadi magnet untuk disanjung maupun dihujat. Itulah risiko bagi pemimpin publik. Jika sudah berkhidmat menjadi pemimpin publik maka urusan-urusan privat-domistik menjadi tidak ada.
Keluarga Prabowo Subiyanto, mulai dari kakeknya RM. Margono Djojohadikusumo, pendiri Bank Negara Indonesia dan direktur utama pertama BNI, memang tidak bisa dilepaskan dari perjuangan, kepemimpinan, dan popularitas semenjak zaman Hindia Belanda. Bahkan buyutnya adalah pengikut setia Pangeran Diponegoro, yaitu Panglima Banyakwide.
Soemitro Djojohadikusumo, yang dikenal sebagai profesor ekonomi juga tak kalah kontroversialnya dangan Presiden Prabowo Subiyanto. Sebagai tokoh penting dalam Partai Sosialis Indonesia, Soemitro Djojohadikusumo pada tahun 1958 bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang dikenal sebagai pemberontakan kepada pemerintah pusat dengan nama perjuangan rakyat semesta, yang berpusat di sungai Dareh, Sumatera.
Kembali kepada topik yang akan ditulis yaitu pelantikan para punggawa NKRI, bahwa makna pelantikan adalah suatu proses formal untuk menetapkan seseorang dalam jabatan tertentu, yang kemudian diikuti dengan pengucapan sumpah atau janji yang disiarkan kepada publik. Hal ini sebagai penanda untuk menjadikan kepastian dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai orang yg dipilih atau ditunjuk.
Perhelatan pelantikan presiden kedelapan dan anggota parlemen Indonesia periode 2024-2029, yang dilaksanakan dengan sangat mewah dan megah ditengah tantangan dunia yang semakin rentan dengan kemiskinan, pemanasan global, bencana alam, rebutan sumberdaya alam oleh-antar negara-negara besar maupun negara besar dengan negara-bangsa miskin. Selain rebutan pengaruh dan sumber ekonomi dunia saat ini sedang mengalami kekerasan dan perang satu dengan yang lainnya seperti di ukraina dan yang paling brutal adalah di Palestina, tidak ada lagi penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, yang ada adalah pembunuhan.
Dengan keadaan seperti apa yang telah kita lihat saat ini, maka, pelantikan anggota parlemen 1 Oktober 2024 dan pelantikan presiden kedelapan pada 20 Oktober 2024, apakah mempunyai makna untuk memikirkan tentang hiruk pikuk rakyat yang kesulitan mencari makan, mencari air bersih, mencari uang untuk membayar biaya sekolah, biaya sakit di sentra-sentra layanan publik yang hingga saat ini tetap konsisten mahalnya. Apakah para punggawa yang telah dilantik ini akan tetap pada hobi yang melekat seperti periode-periode sebelumnya yaitu hanya dengar, diam, dan tidak melakukan apa-apa atas realitas kemiskinan yang ada atau hanya sekadar pamer materi kekayaan yang menurut informasi parkiran di gedung DPR/MPR RI telah berubah menjadi lahan parkir mobil mewah atau menjalan hobi lainnya yaitu melakukan “entertaint” pertengkaran agar namanya dikenal dimuka publik.
Demikianpun juga dengan pelantikan presiden. Apakah sudah selesai dengan parade mobil merk Maung yang gagah sebagai mobil resmi kepresidenan. Dan melupakan tentang kemiskinan karena telah tersibukkan dengan keprotokoleran yang selalu dianggap bagian dari prosedur menjadi presiden. Semoga tidak hanya berhenti pada program populis yang menebarkan barang dan makan siang gratis. Semoga makan siangnya tetap bergizi dan mampu menggerakkan ekonomi masyarakat lokal, dan tidak dikuasai oleh para penumpang gelap pelaksana proyek makan siang. Marilah kita tetap berdoa untuk Indonesia Raya yang sehat, mandiri, dan beradab.