Pada suatu waktu di pedalaman Jawa Tengah, lahir seorang anak laki-laki yang dipenuhi dengan keajaiban dan bakat yang luar biasa. Anak itu diberi nama W.S. Willibrordus Surendra Broto Rendra yang akrab disapa WS Rendra, di kalangan sastrawan lebih dikenal sebagai “Si Burung Merak.” Kisah hidup Rendra terbentang seperti langit yang luas dan penuh warna, memancarkan keindahan dan kebebasan yang menyala-nyala.
Rendra lahir dalam keluarga sederhana di Solo, Jawa Tengah. Ayahnya adalah seorang guru dan ibunya adalah seorang pedagang kain. Sejak usia muda, Rendra telah menunjukkan minat dan bakat dalam dunia sastra. Ia aktif dalam kegiatan sastra di sekolahnya dan sering mengikuti festival dan pertunjukan seni. Dalam usia muda, Rendra mengalami perjalanan yang penuh tantangan dan penderitaan. Kehidupan keluarganya yang sederhana, dikombinasikan dengan keinginannya yang kuat untuk mengejar impiannya, memberinya semangat untuk mengungkapkan dunia dalam kata-kata. Rendra tumbuh sebagai sosok yang peka terhadap ketidakadilan sosial dan politik yang melanda negerinya.
Melalui puisi-puisinya, Rendra berbicara tentang penderitaan rakyat jelata, korupsi pemerintah, dan ketidakadilan yang merajalela di masyarakat. Ia menjadi suara bagi mereka yang tak terdengar, memperjuangkan keadilan dan kebenaran dengan kata-kata yang tajam dan puitis. Puisi-puisinya mengalir seperti sungai yang deras, menciptakan gerakan dan perubahan dalam hati pembaca. Namun, karya Rendra tidak terbatas pada puisi saja. Ia juga menulis drama-drama yang revolusioner dan kontroversial. Melalui panggung, Rendra menggambarkan kisah-kisah yang memprovokasi, mencabik-cabik tirai kemunafikan masyarakat. Salah satu karyanya yang terkenal adalah “Perempuan-Perempuan Chairil” yang mengangkat isu gender dan mengkritik pandangan patriarki yang masih mengakar kuat.
WS Rendra adalah seorang sastrawan dan penyair Indonesia yang diakui sebagai salah satu maestro puisi Indonesia. Ia tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masa transisi Indonesia, dari masa penjajahan Belanda hingga era paska-kemerdekaan. Tak pelak Rendra menjadi sosok progresif dan berani dalam menyuarakan pandangannya melalui karya-karyanya. Puisi-puisinya menggambarkan kepedihan sosial dan politik yang melanda masyarakat, serta menyoroti ketidakadilan dan penindasan. Ia juga mengkritik sistem politik yang korup dan menekankan pentingnya kebebasan berekspresi.
Tidak hanya sebagai penulis, Rendra juga seorang aktivis sosial dan budaya yang gigih. Ia mendirikan Teater Koma, sebuah kelompok teater yang berfokus pada pementasan dengan pesan sosial. Melalui teater, Rendra mencoba menyentuh hati masyarakat dengan cerita-cerita yang menggugah kesadaran mereka. Namun, perjalanan Rendra tidak selalu mulus. Ia sering mengalami penindasan dan intimidasi dari rezim otoriter yang berkuasa. Karya-karyanya yang kritis dan provokatif membuatnya menjadi musuh penguasa yang ingin mematikan suaranya. Tetapi Rendra tidak mundur, ia terus melawan dan berjuang untuk kebebasan berekspresi.
Hingga akhir hayatnya, Rendra terus mengepakkan sayapnya seperti burung merak yang memesona. Karya-karyanya terus menginspirasi dan menggerakkan generasi-generasi berikutnya. Saat ia berpulang, bangsa ini kehilangan salah satu penjaga kebebasan dan keadilan. Kisah hidup dan karya-karya WS Rendra “si Burung Merak” adalah simbol perjuangan dan keberanian. Ia mengajarkan kepada kita bahwa kata-kata memiliki kekuatan untuk mengubah dunia. Karya-karyanya menjadi saksi bisu dari kehidupan yang riuh dan penuh makna, mengajak kita untuk terus memperjuangkan keadilan dan memperjuangkan kebenaran.
Si Burung Merak
Julukan “Si Burung Merak” yang melekat pada WS Rendra memiliki makna yang mendalam. Burung merak sendiri adalah burung yang indah dan memesona, dengan bulu-bulu berwarna cerah yang membentuk corak yang menakjubkan. Julukan ini mencerminkan karakteristik Rendra sebagai sosok yang penuh keindahan, keunikan, dan ketajaman dalam karya-karyanya.
Pertama, burung merak sering kali diasosiasikan dengan keindahan dan keanggunan. Begitu pula dengan Rendra, karya-karyanya memiliki keindahan yang memukau. Puisi-puisinya mengalir seperti aliran yang elegan dan puitis, menciptakan gambaran yang memikat dalam pikiran pembaca. Drama-dramanya juga memancarkan keindahan dalam pesan-pesan yang disampaikan, menggugah emosi dan membawa perubahan.
Kedua, corak bulu burung merak yang penuh warna dan bervariasi mencerminkan keunikan Rendra sebagai sastrawan. Ia tidak takut untuk mengeksplorasi berbagai tema dan gaya sastra. Dalam karyanya, Rendra menyentuh beragam isu sosial, politik, dan budaya dengan sudut pandang yang berbeda. Ia menggabungkan keahlian dan keberanian dalam menciptakan karya-karya yang unik dan memukau.
Terakhir, burung merak juga dikenal karena kemampuannya untuk membuka dan mengepakkan sayapnya yang luas. Hal ini melambangkan kebebasan dan keberanian Rendra dalam mengemukakan pendapat dan menyuarakan kebenaran. Meskipun menghadapi berbagai rintangan dan penindasan, Rendra tidak pernah mundur. Ia terus melawan dan berjuang untuk kebebasan berekspresi serta keadilan sosial.
Julukan “Si Burung Merak” menggambarkan esensi dan kepribadian Rendra sebagai sastrawan yang penuh keindahan, keunikan, dan keberanian. Ia adalah sosok yang memancarkan kebebasan dan ketajaman dalam karya-karyanya, memberikan warna dan semangat bagi dunia sastra Indonesia.
Anggur dan Rembulan
WS Rendra pernah mengungkapkan kritiknya terhadap sastrawan Anggur dan Rembulan, yang merupakan kelompok sastrawan pada era 1960-an di Indonesia. Kelompok ini dikenal karena karya-karya yang lebih mengedepankan estetika daripada pesan sosial dan perjuangan.
Rendra mengkritik Anggur dan Rembulan karena dianggapnya terlalu fokus pada keindahan bahasa dan struktur puisi, sementara kurang memperhatikan peran sastra sebagai media perjuangan dan kritik sosial. Menurut Rendra, sastrawan seharusnya memiliki tanggung jawab untuk mengangkat isu-isu sosial dan politik yang penting bagi masyarakat.
Rendra menyatakan bahwa Anggur dan Rembulan terlalu terpaku pada estetika dan formalitas sastra, sehingga mengabaikan urgensi untuk menyuarakan ketidakadilan dan memperjuangkan perubahan sosial. Bagi Rendra, sastra harus memiliki substansi yang lebih dalam, membangunkan kesadaran dan menginspirasi perubahan.
Namun demikian, kritik Rendra terhadap Anggur dan Rembulan bukan berarti meniadakan nilai-nilai estetika dalam sastra. Ia hanya menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan antara keindahan bahasa dan pesan sosial dalam karya sastra. Rendra sendiri dalam karya-karyanya berhasil menyatukan keindahan bahasa dengan makna yang kuat, menjadikan puisi-puisinya memiliki dampak yang lebih luas dan menggugah.
Kritik WS Rendra terhadap sastrawan Anggur dan Rembulan sebenarnya merupakan upaya untuk mendorong sastrawan Indonesia untuk melihat sastra sebagai sarana untuk menggugah kesadaran dan berperan aktif dalam perjuangan sosial.
Sastra untuk Kemanusiaan
WS Rendra, sang Maestro Puisi, telah memberikan sumbangsih yang luar biasa dalam perpuisian tanah air Indonesia. Karya-karyanya mencakup berbagai tema dan gaya sastra, yang melampaui batasan dan menciptakan impak yang kuat dalam dunia sastra Indonesia. Rendra menjadi suara bagi rakyat jelata dan mereka yang terpinggirkan melalui puisi-puisinya yang kritis terhadap ketidakadilan sosial dan politik. Ia menyoroti isu-isu seperti kemiskinan, penindasan, dan ketidaksetaraan, memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Beberapa puisi perjuangannya yang terkenal antara lain “Sajak Sebatang Lisong” dan “Aku Ingin”. Rendra juga terkenal dengan puisi-puisi satirnya yang mengkritik dan mengolok-olok sistem politik dan sosial. Dalam puisi-puisi seperti “Sajak Pembebasan” dan “Sajak Pertanian,” ia dengan tajam mengomentari korupsi, ketidakadilan, dan ketidaksetaraan yang merajalela di masyarakat.
Selain puisi-puisi perjuangan, Rendra juga mengungkapkan keindahan dan kehangatan dalam puisi-puisi cinta. Ia mampu menyampaikan emosi dan perasaan yang mendalam melalui kata-kata yang indah dan puitis. Puisi-puisi romantisnya seperti “Sajak Cinta” dan “Surat untuk Tuhan” menghadirkan gambaran tentang cinta yang kuat dan keabadian.
Selain puisi, Rendra juga menulis berbagai karya drama yang kontroversial dan revolusioner. Drama-dramanya mencerminkan semangat perlawanan dan keberanian dalam menghadapi ketidakadilan dan penindasan. Salah satu karya dramanya yang terkenal adalah “Woyzeck” yang diadaptasi dari karya Georg Büchner.
Rendra tidak hanya seorang penulis, tetapi juga seorang aktivis sosial dan budaya yang gigih. Ia mendirikan Teater Koma, kelompok teater yang berfokus pada pementasan dengan pesan sosial. Melalui teater, Rendra menggunakan panggung sebagai alat untuk menyuarakan ketidakadilan dan memperjuangkan kebebasan.
Sumbangsih WS Rendra dalam perpuisian tanah air tidak hanya terbatas pada karya-karyanya yang menakjubkan, tetapi juga dalam semangat perjuangannya untuk keadilan dan kebebasan berekspresi. Pada 6 Agustus 2009, Rendra meninggal dunia di Depok, Jawa Barat, ia meninggalkan warisan yang besar dalam dunia sastra Indonesia. Karya-karyanya dan semangat perjuangannya untuk keadilan sosial terus menginspirasi generasi penerus dalam menyuarakan suara mereka dan menghadapi ketidakadilan.