Sumber foto: Detik.com

Belakangan, sekitar satu hingga dua minggu yang lalu, riuh terdengar perdebatan di jagat maya. Bak olahraga tinju, jemari warganet (netizen) saling beradu. Hanya saja lebih brutal. Tidak ada peraturan, juri, apalagi batas waktu. Semuanya bebas, dan mengambil lokasi tempur di mana saja. Mulai dari media pemberitaan online hingga platform media sosial.

Twitter, seperti biasanya, menjadi lokasi tempur yang paling ramai. Dengan ganasnya, orang-orang saling melempar pukulan. Sebagian memiliki argumen yang baik, sedang yang lain hanya sekadar melontarkan cacian.

Melalui pertarungan ini, atau mungkin saja lebih pantas disebut peperangan, tampak sekali perbedaan watak netizen Indonesia. Dalam pembacaan yang lebih jauh, kita juga bisa melihat banyak hal lain. Oh ya, perihal ihwal yang saya maksud, adalah perdebatan tentang pembangunan masjid megah oleh Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil.

Masjid Al-Jabbar, nama dari masjid yang dimaksud, dianggap terlalu banyak menghabiskan anggaran daerah. Kira-kira anggaran sebesar Rp1 Miliar habis terpakai untuk membangun masjid itu. Menurut netizen, pilihan kebijakan itu teramat boros. Sebagai pembandingnya, transportasi publik di Bandung, atau lebih luas, Jawa Barat, dirasa masih sangat buruk. Padahal itu merupakan kebutuhan umum. Ada pula yang membandingkan dengan masalah premanisme hingga jalanan Bandung yang poek, alias gelap.

Ridwan Kamil sendiri sempat mengeluarkan statement melalui akun Twitternya, dan berujung pada perang antara pendukung Ridwan Kamil dengan mereka yang memosisikan diri protransportasi publik.

Seperti yang saya tulis sebelumnya, perdebatan ini memperlihatkan watak netizen Indonesia. Pihak dengan argumen yang cukup bagus, bagi saya, ada pada kubu yang pro terhadap transportasi publik. Sebaliknya, pendukung Ridwan Kamil lebih tampak seperti tidak memiliki argumen apa-apa, “Yang penting bela“. Urusan argumennya masuk akal atau tidak, itu belakangan. Inilah yang saya maksud. Jika dilihat lebih jauh, tampak jelas problem masyarakat Indonesia.

Netizen
Sumber foto: Suara.com

Dari peperangan netizen ini, bagi saya, juga memperlihatkan sisi lain. Seperti perdebatan serupa yang sudah berkali-kali terjadi di waktu yang lalu, pihak yang paling dirugikan adalah masyarakat. Sedangkan pejabat yang menjadi polemik, cenderung membiarkan. Cukup sesekali muncul untuk memantik api, setelah itu biarkan kayu kering yang menyambarnya.

Saya cukup jenuh dengan perangai pejabat yang semacam ini. Tidak terjadi sesekali, tetapi hampir setiap hari. Di tempat yang berbeda dengan topik yang berbeda. Saya menganggap ini sebagai wujud aroganisme pejabat. Busuk sekali baunya.

Berangkat dari titik itu, saya ingin sekali menceritakan apa yang saya alami belakangan. Semacam uneg-uneg, yang saya yakin banyak pembaca juga merasakan hal yang sama.

Saya adalah pengguna transportasi publik. Kebetulan, saat ini saya berdomisili di daerah yang memiliki layanan transportasi publik cukup baik. Sebagai kuda pengantar, saya lebih memilih menggunakan moda transportasi bis kota karena mudah dan murah.

Kalau boleh jujur, selain karena mudah dan murah, saya memiliki tujuan lain. Kota domisili saya saat ini sangat terkenal dengan kemacetannya. Oleh karena itu, setidaknya sebagai pendatang, saya tidak ingin menambah masalah. Hitung-hitung mengurangi emisi gas karbon yang dikeluarkan oleh kendaraan pribadi.

Dalam pengalaman saya menggunakan transportasi publik, meskipun belum lama, ada satu hal yang membuat hati terasa kesal sekali—kalau dalam bahasa jawa, mangkel. Dalam situasi yang serba macet, seringkali rombongan kendaraan pejabat memaksa menembus padatnya jalanan. Bunyi strobonya saya ibaratkan seperti bunyi pesawat tempur. Yang memandang kendaraan lain sebagai musuh, dan siap untuk dibombardir jika menghalangi.

Siapa yang tidak kesal menyaksikan ini?

Saya menduga-duga, mungkin di pikiran mereka, perjalanan mereka lebih penting ketimbang rakyat banyak yang bermacet-macet ini. Jika begitu, artinya ada yang salah dari cara pikir mereka. Tepat mungkin jika saya mengatakan perangai seperti ini arogan.

Bagaimana bisa, pejabat negara yang dari pakaian hingga kendaraan yang mereka gunakan dibayar menggunakan uang rakyat, lalu menganggap dirinya lebih penting?

Apalagi, kejadian semacam ini, kendaraan pejabat yang menggunakan strobo untuk menerobos kemacetan, sering kali dilakukan menggunakan kendaraan pribadi. Ampun..

Saya pernah membaca beberapa berita berkaitan dengan ini. Beberapa tahun yang lalu. Seperti anak pejabat yang menggunakan kendaraan dinas orang tuanya, dan bagaimana ugal-ugalannya mobil dinas ini di jalan raya. Hanya saja, dulu waktu kali pertama saya membaca beritanya, saya tidak merasa sejengkel saat ini.

Hingga beberapa waktu lalu pun, saya masih sempat membaca contoh lain aroganisme pejabat ini. Kasusnya tentang mobil milik jenderal TNI yang tertimpa truk pasir. Ihwalnya, karena mobil milik jenderal ini memotong jalur untuk berbalik arah. Sialnya, pengemudi truk itu yang menjadi pihak bersalah, harus membayar ganti rugi.

Berulang kali kejadian yang sama membawa hasil akhir yang sama pula. Lihat saja di berita-berita yang bertebaran, jika hal serupa terjadi, pasti rakyat yang menjadi korban. Jika tidak mati, dipenjarakan, atau disuruh ganti rugi. Jarang sekali pejabat-pejabat ini mendapatkan hukuman.

Saya sepakat dengan salah satu solusi yang ditawarkan oleh netizen. Bagaimana jika seluruh kendaraan milik pejabat yang dibeli menggunakan uang rakyat, dipasangi stiker yang berisi informasi tentang anggaran APBD yang digunakan, tahun, nama pengguna, hingga nomor telepon pengaduan. Dengan begitu, mungkin mereka tidak bisa ugal-ugalan sekarang. Ditambah kendaraan-kendaraan yang menggunakan strobo juga harus diatur dengan ketentuan yang sama.

Meski, saya tidak merasa itu bisa menyelesaikan akar permasalahannya. Di balik perangai arogannya, terdapat ketimpangan kondisi yang nyata. Antara pejabat, orang-orang yang memiliki kuasa finansial, dan juga rakyat kecil. Mengingat kenyataan di jalan raya, tidak hanya pejabat yang sering ugal-ugalan, tetapi juga orang-orang kaya.

Sedangkan rakyat kecil, paling mentok hanya mampu membeli mobil murah, itu pun disayang setengah mati karena biaya perawatannya mahal. Jangankan ugal-ugalan, saya yakin untuk menyalip kendaraan lain saya sudah memperhitungkan sedemikian rupa agar tidak menyerempet.

Fenomena semacam ini, bagi saya menunjukkan pertarungan yang lebih luas, peperangan antara yang miskin dan yang kaya. Perebutan ruang publik.

Saya meyakini, hanya dengan pembenahan struktur sosial, dan disambung dengan aktualisasinya melalui jalan politik, ketimpangan ini bisa diselesaikan.

Terakhir, saya teringat dengan kisah salah satu politisi di era awal kemerdekaan, yang meskipun dalam kondisi hidup miskin, tetapi mati-matian menolak fasilitas negara. Padahal dirinya adalah wakil DPR kala itu.

Ada satu kisah pendek di mana ia terpaksa menerima fasilitas mobil negara dan supirnya. Di satu waktu, ia mengetahui jika anaknya belajar mengendarai mobil menggunakan mobil negara. Begitu berangnya dia. Meskipun menurut pernyataan supir yang mengajari si anak, itu dilakukan agar si anak ini bisa membantu bilamana terjadi hal yang tidak diinginkan. Tetapi kenyataannya, si Wakil DPR tetap marah. Ia menganggap bahwa hal ini merupakan hal yang memalukan, sebuah contoh dari praktik korupsi.

Saya membayangkan, apa jadinya jika si Wakil DPR ini melihat perangai dan kelakuan dari penerusnya sekarang?

Siapa yang sebenarnya mengalami demoralisasi? Rakyat, atau justru pejabatnya?

Ah, bagi saya, jawaban terbaik sudah terangkum dalam lirik lagu yang ditulis oleh Iwan Fals beberapa puluh tahun lalu. Judulnya Manusia Setengah Dewa. Mari dengarkan!

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here