Kehidupan mahasiswa sekaligus sastri atau biasa disebut mahasantri seperti menjalani peran ganda. Artinya, seorang mahasantri selain mengenyam pendidikan formal di bangku perkuliahan juga mengabdikan dirinya menuntut ilmu agama di pesantren. Sebagaimana dawuh KH. Mohammad Hasan Mutawakkil Alallah yang selalu diutarakan dalam berbagai kajiannya, “Jadilah kalian santri yang intelektual dan intelektual yang santri, berfikir Modernis dan berhati sufistik”.
Tak jarang, sebagai seorang mahasantri saya mendengar opini kontra yang mengatakan bahwa “menjadi santri hanya mengganggu waktu kuliah”, tentu saja opini tidak mendasar itu hanyalah subjektif belaka. Faktanya, kami sebagai mahasantri memiliki manajemen waktu tersendiri untuk menyeimbangkan kegiatan di pesantren dengan di kampus. Di sinilah tantangan mahasantri dalam menyiasati padatnya kegiatan supaya tidak “keteteran”.
Pondok pesantren untuk mahasiswa berbeda dengan pondok pesantren pada umumnya. Pondok pesantren mahasiswa memberikan toleransi kepada para santrinya untuk berkegiatan di luar, tetapi aturan jam malam masih diberlakukan. Selain itu, pesantren membebaskan para santrinya untuk menggunakan alat komunikasi seperti gawai dan laptop untuk mengerjakan berbagai tugas kuliah dan kepentingan lainnya. Meskipun ada beberapa pesantren memberikan batasan waktu penggunaan gawai, misalnya mulai menjelang magrib hingga ba’da subuh.
Pesantren tak hanya menyediakan fasilitas tempat tinggal, tetapi juga mendedikasikan para santri agar memiliki akhlakul karimah dan pemahaman ilmu agama melalui kegiatan-kegiatan akademik. Seperti Pesantren Al Ishlahiyah tempat saya nyantri mewajibkan mahasantri menjalani kegiatan berikut:
- Pembentukan karakter mahmudah
- Sholat berjamaah
- Pengajian kitab
- Madrasah diniyah
- Penguasaan Bahasa Arab
- Tahfidzul quran
- Tahfidzul hadits
Selain kegiatan yang bersifat akademik, di dalam lingkup pesantren terdapat pula kegiatan lainnya yang membentuk rasa tanggung jawab santri melalui kegiatan roan dan piket harian. Serangkaian piket yang dilakukan santri di antaranya, piket kebersihan lingkungan pesantren, piket ndalem, serta piket memasak dan mewadahi makanan.
Di dalam pesantren, santri digembleng agar menjadi insan yang tangguh, mandiri, qanaah dan istiqamah. Sehingga tak hanya mempelajari ilmu akademik, di pesantren mahasantri juga harus belajar manajemen diri, manajemen waktu, berkomunikasi, dan unggah-ungguh terhadap pengasuh pesantren maupun asatidz.
Saya masih mengingat salah dawuh Kiai, bahwasanya seorang santri harus siap tirakat dan wirai’, karena dua hal itu merupakan makanan sehari-hari bagi santri. Menjadi mahasantri artinya harus menerapkan dua hal ini baik di dalam maupun di luar lingkungan pesantren.
Memangnya apa sih urgensi dari tirakat dan wara’ bagi mahasantri? Seseorang yang tirakat pasti akan wira’i. Dalam masyarakat pesantren, tirakat menggabungkan pengekangan dan pengendalian hawa nafsu (riyadhah) dan penempuhan jalan tertentu (thoriqat) untuk mencapai yang diinginkan. Sedangkan pada tingkatan wara’ manakala seorang santri mampu menjaga seluruh anggota tubuhnya dari hal- hal yang diharamkan, menjaga anggota tubuhnya dari hal yang tidak diperbolehkan.
Masih dengan dawuh sang Kiai, mahasantri yang mampu menerapkan dua hal tersebut adalah calon santri yang berhasil. Berhasil di sini memiliki konteks yang tidak terbatas pada keberhasilan duniawi belaka. Lebih dari itu, menjalani tirakat dan wira’i diyakini menjadikan kualitas spiritual semakin dekat dengan Allah dan dipermudah terkabulkannya hajat.
Ketika pulang di masyarakat, mahasantri diharapkan bisa mewarnai kehidupan masyarakat dengan baik. Tidak hanya memberikan mau`idzah hasanah, tetapi mampu menjadi uswatun hasanah bagi sesamanya. Santri yang baik adalah santri yang bisa memberikan manfaat kepada masyarakat dan agamanya.