Pram terus menyala. Namanya terpatri dalam sejarah sastra Indonesia sebagai penulis yang menolak tunduk. Hari ini, 6 Februari 2025, tepat seabad sejak kelahirannya. Raganya telah tiada, tetapi suaranya terus menggema. Ia abadi, meski pernah berujar, “Saya sudah habis, saya sudah tak mampu lagi menulis.” Sejarah membuktikan: Pram tak pernah benar-benar habis.
Perkenalan saya dengan Pram baru terjadi pada 2009, ketika sudah mahasiswa. Sebuah kebetulan yang terlambat, tetapi tetap layak disyukuri. Saat itu, novel-novel seperti Laskar Pelangi dan Ayat-Ayat Cinta tengah merajai pasar. Pram belum masuk radar bacaan saya. Barulah kemudian saya sadar, namanya sempat sengaja disingkirkan dari peta sastra nasional.
Dulu, pelajaran Bahasa Indonesia hanya mengenalkan Pram dari satu sisi. Ia disebut terlibat komunisme dan membakar buku sezamannya. Namun, semakin dalam saya menyelami sejarah, semakin jelas bahwa itu propaganda. Pemerintah Orde Baru berusaha menghapusnya dari ingatan kolektif. Nama Pram dicap sebagai penjahat, padahal ia adalah korban ketidakadilan. Semoga negara telah belajar dari kesalahan masa lalu.
Saat mencari Sang Pemimpi karya Andrea Hirata di pasar buku Wilis, Kota Malang, justru Bumi Manusia yang menarik perhatian saya. Judul yang asing, tetapi menggugah rasa penasaran. Saya membelinya, tanpa tahu bahwa buku itu akan menjadi gerbang menuju dunia yang lebih luas.
Eureka! Seperti ilmuwan yang baru saja menemukan teori revolusioner, saya terpana. Setiap lembar meninggalkan bekas mendalam. Karya-karya Pram bukan sekadar tulisan, tetapi jendela menuju sejarah yang tertutup debu propaganda.
Sejak itu, saya mulai mengoleksi bukan hanya bukunya, tetapi juga literatur yang membahas dirinya: salah satunya, buku Savitri Scherer berjudul Pramoedya Ananta Toer Luruh dalam Ideologi. Disertasi Savitri tersebut berhasil mengulik ideologi Pram yang tentu saja, juga berpengaruh pada karya-karyanya.