“Saya memang telah lama berkeinginan untuk menulis sejarah Indonesia. Bukan fisiknya, tetapi pergulatan jiwa Indonesia itu menjadi Indonesia sampai sekarang ini. Saya ingin menuliskannya dalam bentuk roman, karena buku sejarah biasanya kurang dibaca orang. Dengan meromankan histori, saya ingin mengajak setiap lulusan SD hingga Profesor untuk hidup di dalam histori.”
(Wawancara Pramoedya Ananta Toer, Majalah Optimis, 24 Juli 1981)
Penggalan wawancara Pramoedya di atas adalah salah satu penegasan atas dedikasi selama hidupnya terhadap penulisan sejarah Indonesia. Pramoedya dikenal luas sebagai sastrawan legendaris Indonesia dengan lebih dari 50 karya yang diterjemahkan ke 42 bahasa. Ensiklopedia Sastra Indonesia meriwayatkan Pramoedya sebagai pengarang novel sejak tahun 1940-an dengan segudang penghargaan nasional dan internasional. Pramoedya menjadi sosok penting dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia kontemporer. Lantas apakah Pramoedya layak digolongkan sebagai sejarawan?
Kuntowijoyo dalam pengantar bukunya yang berjudul Metodologi Sejarah (2003) menguraikan bahwa sejarawan adalah penulis sejarah. Titik. Tanggalkan pandangan bahwa hanya mereka yang bekerja sebagai dosen universitas dan institusi-institusi ilmiah berhak disebut sejarawan! Lebih lanjut, Kuntowijoyo memberi istilah “Sejarawan Akademis” yang seolah berdiri di luar masyarakat. Tulisan ini bukan bermaksud menobatkan Pramoedya sebagai seorang sejarawan. Namun, ketekunan atas kerja intelektual Pramoedya sebagai seorang pengarsip dan penulis adalah sebuah upaya untuk menghadirkan historiografi berwajah Indonesia-bebas dari cengkraman kolonialisme. Meminjam istilah Rumekso Setyadi, bagi saya Pramoedya melalui karyanya mencoba untuk mengembalikan sejarah kepada pemiliknya, yaitu masyarakat.