Menulis puisi adalah bentuk lain dari kebebasan. Penyair diberikan kewenangan seluas-luasnya dalam menggunakan alat bahasa untuk menyampaikan gagasan dan idenya. Puisi sebagai media menyampaikan ekspresi sekaligus berkomunikasi seharusnya bebas dari kekangan dan kebakuan. Namun dalam pengertian yang seharusnya sebagai karya sastra, puisi harus dibatasi oleh seperangkat unsur dan aturan. Tujuannya untuk membedakan puisi dengan karya tulis lain seperti cerita ataupun berita.
Kenyataan yang saling berseberangan inilah yang kemudian ditengahi oleh kehadiran puisi eksperimental. Dalam hemat saya, puisi jenis ini adalah bentuk perlawanan dari kebakuan dan keteraturan sebuah puisi. Meskipun pada prosesnya puisi eksperimental tidak mengeluarkan diri sepenuhnya dari segala aturan puisi.
Dalam puisi eksperimental, keindahan bukan hal yang utama, tetapi bagaimana cara menyampaikan gagasan dan ide itu yang sangat ditekankan. Bentuknya yang nyeleneh, unik, dan bahkan menyimpang dari puisi pada umumnya membuat puisi eksperimental punya daya tarik berbeda. Gerakan puisi Mbeling yang dipelopori oleh Remy Sylado di Majalah Aktuil pada tahun 1972 menjadi salah satu contoh puisi eksperimental. Puisi Mbeling adalah bentuk kritik kepada para penyair yang terlalu serius dan terlalu taat aturan. Bersastra itu santai yang penting ngena.
Secara teoritis, puisi eksperimental adalah bentuk eksperimen atau percobaan dari seorang penyair. Tujuannya adalah untuk mencoba keluar dari keteraturan yang dia punya dan mencoba membuat perbedaan. Terlepas dari bagaimana penyair itu bereksperimen dalam menulis puisi, puisi eksperimental akan tetap menjadikan kebebasan sebagai landasan utama. Kebebasan itu akan tercermin dari pemilihan diksi, tipografi dan juga rima.
Berdasarkan hal di atas bisa kita sepakati bahwa puisi eksperimental akan berubah menjadi puisi pada umumnya jika banyak penyair yang terpengaruh dan menjadikan puisi eksperimental tersebut sebagai kiblat. Misalnya Puisi Dua Jembatan Mirabeau dan Asemka karya Remy Sylado merupakan bentuk puisi eksperimental jika ditinjau dari bentuknya. Namun istilah eksperimental akan menjadi tidak relevan bagi puisi sejenis setelahnya karena puisi tersebut sudah beralih menjadi gerakan penulisan yang lumrah.
Penulisan puisi eksperimental memang butuh keberanian, karena tidak semua orang suka. Bentuk puisi semacam itu cenderung tidak diterima di kalangan pembaca karena membawa kesan nyeleneh. Tetapi bagi pembaca sastra yang menjadikan sastra sebagai pijakan pemikiran justru akan berbahagia melihat semakin beragamnya bentuk karya sastra khususnya puisi.
Sayangnya, keberanian penyair membebaskan diri berbanding terbalik dengan keberanian media untuk menerbitkannya. Sulit kita temui di media saat ini puisi-puisi eksperimental dengan karakteristiknya yang unik. Ketakutan media terhadap bagaimana karya sastra itu diterima masyarakat luas menjadi faktor utama. Padahal pada faktanya, penikmat karya sastra sendiri sebagian besar berasal dari kalangan penyair itu sendiri. Hal ini yang kemudian menyebabkan khazanah dunia sastra di Indonesia seakan kehilangan keunikannya, kurang gebrakan dan terkesan mandeg. Setelah Remy Sylado, Jeihan, hingga Jokpin, praktis sedikit sekali puisi yang ditulis sebagai penggebrak aliran yang ada.
Pengalaman yang saya alami dan beberapa teman penyair pun membuktikan bahwa puisi eksperimental memang kurang diterima. Atau ketertarikan media yang subjektif dan tidak menuju ke arah itu. Akibatnya puisi-puisi eksperimental mengendap di buku-buku catatan penyair. Apresiasi tertinggi patut kita berikan kepada penyair yang dengan gagah muncul membawa puisi eksperimentalnya ke dalam buku puisinya.
Selain faktor tersebut, eksplorasi terhadap kebaruan puisi memang perlu ditingkatkan oleh penyair. Terlepas diterima atau tidaknya di media, eksplorasi menjadi landasan awal bagi penyair menemukan karakternya. Puisi-puisi yang berbeda akan menghasilkan karakter penyair yang kuat. Bukan tidak mungkin akan lahir kembali Chairil baru, Rendra baru, Remy Sylado baru dan lainnya.