Langgar Masa Lalu

Dindingmu tampak kusam
lantaimu menyimpan kerak musim
empat tiangmu menggemakan suara kanak-kanak
Dahulu, sewaktu kami yang kini tua
mengeja aksara asing
dengan terbata-bata.

Dindingmu tampak kusam
tak seperti langgar-langgar lain yang merias dirinya dengan megah
dan berganti nama menjadi masjid.

Dindingmu tampak kusam
gentingmu tampak seperti mahkota raja
yang terbengkalai di gudang istana masa lalu
tak seperti langgar-langgar lain
yang telah mendapat mahkota baru.

Dindingmu tampak kusam
Lalu angin datang
menerbangkan debu-debu
serta mungkin
juga doa-doaku
yang melangit
dan entah
singgah di surga moyangku
atau surgaku yang baru.

2024.

 

Paceklik

Di pangkuanmu aku jatuh
seperti hujan yang berdebam di halaman sajak
di punggungmu aku menyemai sisa gabah tahun lalu
esok aku berharap
Tuhan kita yang jauh menyianginya
dengan air mata
yang jatuh dari langit-langit matamu
di musim paceklik
yang gersang.

2024.

Fragmen Kepulangan

: drama Sandyakala Wilwatikta

Banowati, nimasku
Seorang adipati sepertiku mestilah kalis dari perkara duka
Hembus napasku adalah harum cinta
Kematian terlalu sederhana, nimas
Tapi tidak dengan cinta kita.
Biarkan aku pergi, banowati
Negara memanggilku
Dewa-dewa telah memanggilku
Bila esok kau temukan sisa tubuhku beku
dalam larung abu
Percayalah
Diriku telah menjadi Diri-Mu.
Lampu meredup kemudian gelap sepenuhnya
Gamelan ditabuh dengan irama paling layu.
Seorang teman berkata,
“Ranggalawe telah mati.”

2023.

Sintaksis di Senin yang Lamban

Kita bergegas menyusuri lorong-lorong kelas
jam yang menggeliat di tanganmu
menunjukkan waktu yang memburu.
Setibanya di depan kelas kau tak berani membuka pintu,
aku pun begitu.
Lalu kita membisu
dan membeku.
Sejenak aku melamun
menatap wajahmu.
Kutemukan sebuah kalimat seru.
“Aku menyuruhmu untuk membukakan pintu!”

Dengan segera pintu kubuka,
seorang dosen tua telah menanti kita
lengkap dengan predikat yang disematkan padanya.
kita duduk di bangku paling depan
waktu melamban.
Sebelum pulang
dosen itu memberi kita kalimat tanya.
“Di antara kalian berdua,
apa sudah ada yang terluka?”

2023.

 

Di Selasa yang Basah Morfologi Memabukkanya

Mula-mula kata adalah hujan
yang jatuh dari langit
kepangkuan tanah.
Jalan-jalan basah
burung-burung menggigil
pohon-pohon tertidur pulas
segera angin membangunkannya.

Mula-mula kata adalah hujan
Pertama dimulai dengan vokal-vokal sederhana
kemudian konsonan ringan
rintihan
aduhan
pujaan
sapaan
nama Tuhan
morfem
dan namamu.

Mula-mula kata adalah hujan
ia mabuk oleh rinai kata-kata
kemudian lunglai
matanya berair
Tuhan menyamarkan kesedihan
ia telah terbang dengan kata-kata
terbang ke asal mula kata.
Jauh di atas sana.

“Ketua kelas mengumumkan perkuliahan ditunda
sebab dosen telah mabuk oleh kata-kata.”

2023.

 

Pelajaran Menulis Prosa

: untuk Bapak Karkono

 

Aku tak ingin menulis puisi sebab ini pelajaran menulis prosa.
Aku ingin menulis sebuah prosa melankolis tentang kita di masa depan.
Sepasang kekasih tua yang duduk di ujung jalan kota.
Kita tak punya apa-apa selain cinta yang bergairah.
Angan merebak ke seluruh badan,
menjadi kolestrol, kesemutan berkepanjangan,
asam urat, dan tulang-tulang yang hilang.
Pertanyaan-pertanyaan kutulis di setiap bagian tubuh istriku
yang mati rasa.
Tentang anak kita yang telah lama mati.
Cucu yang kehilangan ibunya.
Rumah yang terjual dan
bagaimana kita mengalami kematian nanti.
Antara aku atau engkau yang lebih dulu,
sama saja
sebab kita satu; segumpal tanah yang jenuh meninggi
dan hanya ingin mati menjadi sari bunga melati
di pekarangan makam sepi.

2023.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here