Ziarah ke Negeri Pasirah*
: Mesuji
Sebelum ranum rindu, kugeser angin di pangkuan Ibu
Kulipat-lipat waktu yang berbaring di kursi bus
Yang keras dan berdebu,
dalam safarku ke Negeri Pasirah
Pukul sembilan malam, jalanan
Sesaat didera gerimis, ketika laut runtuh berguguran
Lalu reda, begitu pula pendar damar di pedalaman
Kami hampir tersesat dalam fajar Tebing
Rumbai jagung baru tumbuh di kanan
Daun singkong yang berembun di kiri
Arah-arah adalah asing
Bekas-bekas sonor melapang,
kulawat pohon-pohon karet
Kurekati dalam dekap subuh.
Kuhirup wangi matahari
di masa moyangku transmigrasi
Ibu berulang sujud di kaki pagi,
menaruh doa di kening ini
dalam badai gelap, kami sampai.
Tak ada cahaya di sini,
Dengan jelas dapat kuisap bau karet
bau diesel, bau jenset,
bau tubuhnya yang sunyi
Lampung, Oktober 2020
*) Semacam Tetua atau Pemangku Adat atau Pemimpin Masyarakat Adat di daerah Pedalaman Sumatera Selatan termasuk Mesuji.
Gado-Gado Buatan Ibu
Selamat pagi, Ibu.
Dalam puisi ini, gado-gado bikinanmu
Akan kusiasati dengan diksi
yang lebur bersama imajinasi
: ihwal resep, kutahu ibu
adalah rumah bagi jutaan bumbu
Untuk gado-gado ini,
: kau siapkan potongan kemiskinan
tanda cintamu pada harap dan janji semu
Sebagai bahan utama
Kau gerus butir-butir pancasila
kau tumpahkan segala nilainya
Dalam layah tanah bermerk Indonesia
Kau tuang samudera
Kau siram talang
kau letakkkan pegunungan
Tak lupa, hidup kita yang malang
kau remah
Dan kau taburkan
Dalam sepiring gado-gado ini, kau iris tubuhmu
Menjadi suku-suku, agama-agama, ras dan bahasa
Nikmat sekali, Ibu. Dalam darahku yang bhineka
Gado-gadomu meresap. Terima kasih, Ibu.
Lampung, 16 September 2020
Lima Bait Waktu
: Segala Buruh
Waktu menunggangi kita
Yang terlapar-lapar di pinggir jembatan
Melarutkan asap cerutu pada udara fajar
Kita masih rayu dalam lembayung harapan
Waktu menari-nari di muka pagi
: Awal bulan musim semi
Terimalah sepenuh gaji
Yang terdampar pada ceruk-ceruk ilusi
Waktu berlari-lari, menuju akhir usia
Kita kaum marjinal tengah kota
Yang meramaikan pabrik dengan cerita
Cita-cita serta bayangan sejahtera
Waktu melenggang pergi
Tanpa sempat bercelana atau berdasi
Ia menanggalkan misteri
Mengapa aku mau berjerih, lari dari pagi ke lain pagi
Waktu pulang dan berpesan
Kita adalah rimbun kemiskinan
Terimalah sepenuh hati
Walau upahmu direkah setengah mati
Way Halim, 29 Agustus 2020
Bianglala
Aku memuja awal.
Tapi aku selalu mengais akhir, sisa-sisanya,
walau di sana tak ada suka
Senja esok mungkin berawan,
muncul di tengah sawah, kuning di tangan, hijau padian
Di ujung malam senandungmu lenyap,
hilang dan gelap, menyisakan lintang gemerlap,
kejora
Sebelum pagiku subuh meneduh.
Tak sempat mengubur puncak,
sebagian mimpiku. penat
Tetapi kemudian.
Jawaban itu tak akan melulu benar.
Aku harus mau dan pasti salah
Perjudianku hanya khayal.
Berakhir dengan kerugian.
Di sekujur tubuhku
Tangislah usai air mata.
Menyeruak sebagai jalan.
Mengalir terus sampai kenyang
Tak melulu kebebasanku.
Tentang duduk dan membaca syair.
Daripadamu adalalah lomba
Sendu habis di penjara.
Di tengah keramaian lelah
Kisah rumpangku pergi, lalu datang kembali,
sempurna sebagai kisah kepergian
Meski hampir hanyut,
ketegaran menyetubuhiku,
di lintasan jarak perihku, harap
Segala rasaku, citaku, hampaku, ditutup dalam buku,
menjumpai peralihan kalender depan.
Cintamulya, 7 Januari 2019