Melepas Kepergian Guru Kami
Diam sejenak wahai desir angin
Sebentar saja
Tunduk sebentar wahai pohon-pohon
Rumput yang basah
Tahan Isak, sebelum matahari terbenam
Kami tak boleh menangis tersedu
Biar dada bertabuh
Langit saja mendengar Isak
Kami tak ingin ia sakit
Pulang ke rumahnya sendirian
Lagu-lagu, desir angin
Riuh fatamorgana
Sejenak bagai suara-suara gersang
Angin kemarau yang kosong
Membawa kepergiannya
Hingga petang itu
Dalam sunyi
Kami melepas dengan dada
Seluas Samudera
Riska Widiana
Riau, 2024
Stetoskop yang Membaca Ibu
Ia telah membaca diamnya ibu
Suatu hari saat wajahnya pucat pasi
Ia mendadak diam
Sebisu malam di tengah hutan
Kunang-kunang memenuhi kepalaku
Yang menerka, bagian mana
Telah membuat ibu membisu
Tapi air matanya seperti sungai
Tiada henti mengalir
Entah ke laut mana
Stetoskop telah menemukan detak yang sumbang
Di dada ibu, katanya kehidupan akan jadi angin
Lalu menjelma kenangan
Sebagai hal untuk dibawa pulang
Ibu tak bicara
Stetoskop pun tak bisa berkata
Tapi ia mampu mendengar
Sakit dan harapan tipis ibu
Hidupnya seakan di ambang kabut
Aku mendekap ibu yang tak lagi bicara
Ia tak tersenyum, juga menangis
Sisa air matanya lembab
Lebih basah hatiku yang tenggelam
Dalam kenyataan lebur, tapi berduri
Malam itu, aku benar-benar tak ingin beranjak
Berharap, ibu kembali tersenyum
Atau sekedar memberi isyarat mata
Bahkan stetoskop saja tak bisa berbohong
Katanya, detak ibu sudah pergi
Jauh ke dalam dada lain
Riska Widiana
Riau, 2024
Pengembaraan
Kita akan terus mengembara
Sampai batas yang tak dapat diterka
Entah di bagian mana
Hidup tak lagi menatap cakrawala
Kita akan terus mengembara
Bertemu gurun
Laut luas, bukit-bukit
Hingga jalan setapak
Hingga pada masanya
Kita akan mengembara
Pada dimensi lain
Tubuh terbenam jauh
Ke dalam tanah basah
Riska Widiana
Riau, 2024
Memanggil Ibu
Bila hendak kupanggil lagi ibu
Tentu ia tak akan datang atau menyahut lantang
Seperti waktu silam
Dari dapur yang dihujani abu
Ibu meniup tungku
Antara hendak tersedak
Dengan suara serak, ia menyahut
Panggilan yang kadang membuatnya kesal
Sesekali menjadi obat paling mujarab
Bila kesepian tubuh dalam dadanya
Oh ibu, setiap hari aku memanggilmu
Di malam hening, siang panjang
Hanya kesiur angin
Kau tak pernah menyahut
Seperti masa kanak-kanak
Saat aku hanya memanggill
Sekedar ingin mendengar makian
Mengganggumu di dapur
Saat di tengah asap mengepul
Kadang sampai tersedak
Sebuah bilah akan cepat melayang
Jika aku tak kepalang berlari
Sungguh, hari-hari kian sunyi
Aku bagai berjalan di sebuah lorong
Dan cahaya lilin padam satu-satu
Saat rindu itu bertabuh
Memukul-mukul
Sakit, tapi tak tahu di bagian mana
Pedih, tapi tak tahu apa yang terluka
Riska Widiana
Riau, 2024
Menatap Bulan
Aku suka menatap bulan kuning itu
Seperti telur mata sapi
Yang digoreng ibu pagi-pagi
Di atas piring bunga-bunga
Aku suka menatap bulan
Ia seperti mata ibu
Yang menatap dengan sendu
Seluruh rindu bundarku
Adalah purnama malam itu
Riska Widiana
Riau, 2024