Qurban terakhir

Tohir tak menyangka bahwa selain menggali lubang bakal darah sapi dan kambing, ia juga harus menambah satu lubang yang lebih dalam dan berbentuk persegi panjang untuk mayat sahabatnya.

***

Tohir masih terduduk diam tak percaya atas kejadian pagi ini. Terlebih karena apa yang telah ia omongkan dengan almarhum pada malam sebelum tragedi itu terjadi.

“Kau ini ada-ada saja, Mat. Mantan penjudi dan pemabuk sepertimu, tak mungkin mendapat hidayah macam Ibrahim. Kau lebih cocok tewas karena terlilit hutang atau karena oplosan yang kau racik” celetuk Tohir pada malam itu. Mat Jais hanya terkekeh dengan perasaan khawatir mengambang dalam dadanya. Sambil bertanya-tanya dan melakukan monolog dengan batinnya sendiri. Mat Jais menelaah apakah sahabatnya mengatakan hal yang benar atau kebenaran yang ia yakini adalah yang paling mutlak.

“Diminum dulu kopinya, Hir” sergah Mat Jais menyisakan tawa yang agak aneh diujung percakapan. Bagaimanapun menurut Mat Jais yang paling masuk akal untuk diajak mengobrol hanyalah Tohir. Maka satu-satunya tempat ternyaman untuk ia bercerita adalah sahabat sejak SMA-nya itu. Sekarang, entah penyesalan atau perasaan lega yang Mat dapatkan setelah menceritakan teror mimpi sucinya yang tiga hari belakangan telah mengusik ketenangan tidurnya.

Apa yang dikatakan oleh Tohir ialah benar belaka. Bahwa masa lalu Mat ialah pemabuk, yang pantang pulang sebelum matahari menyengat gosong wajahnya. Di samping itu, ia juga menyandang gelar penjudi yang selalu gagal masuk bui. Ketenangannya dalam menghadapi segala sesuatu, bahkan debt collector hingga polisi sekalipun, membuatnya selalu lepas dari mara bahaya yang mengintai-menghadangnya.

Kredibilitas Mat Jais melesat naik di antara telinga para penjudi dan pemabuk di dusunnya, Sukoremuk. Semua warga dusun segan terhadapnya. Tak terkecuali modin dan takmir masjid sekalipun.

Syahdan, tengah hari pada jumat yang begitu menyengat, di atas mimbar kebesarannya, modin berkhutbah,

“Jamaah sholat jumat yang berbahagia, sebagai muslim yang baik, seyogyanya kita tak patut meremehkan muslim lain dan memberikan label yang tak pantas. Apa yang kita pandang buruk, belum tentu di hadapan Allah juga buruk. Kita harus mengimani kalimat ‘apapun bisa terjadi atas kehendak Allah’, apa yang kita anggap tidak mungkin bisa Allah balikkan sangat mudah sebagaimana membalikkan telapak tangan. Jadi, marilah kita berprasangka baik kepada sesama muslim.”

Di Dusun Sukoremuk, percakapan-percakapan mengalir tidak terjadi di rombong tukang sayur pagi hari, melainkan di serambi masjid sesaat sebelum dan sesudah menunaikan sholat jumat dan sholat maghrib berjamaah. Maka dengan alasan yang tidak jelas, Mat memilih hanya menunaikan sholat jumat.

Sampai ketika pria dengan luka codet di wajahnya itu merasakan getaran yang hebat di hatinya. Dahsyat meluruhkan segala niat buruknya untuk tetap hidup dan mati sebagai pemabuk dan penjudi. Itu ketika ia sedang berasyik-masyuk menatap binar mata pak modin, diikuti dengan untaian kata yang telah dilontarkannya saat berkhutbah, Mat Jais benar-benar tergetar. Menggigil.

Seusai menunaikan sholat jumat, dengan tanpa berlama-lama lagi, Mat Jais berkunjung ke rumah pak modin yang berada dekat dengan masjid. Mengenakan kaus pendek yang dibalut dengan rompi levis beserta celana panjang yang juga berbahan levis, Mat Jais mengetuk pintu tanpa diikuti salam. Pak modin membuka dan menebar senyum sebagaimana muslim yang ramah.

“Apa Tuhan juga bisa membalikkan hidupku semudah aku membalikkan telapak tangan?” Mat Jais tanpa berbasa-basi langsung memuntahkan apa yang telah mengganggu benaknya selama tiga puluh menit belakangan. “Semua mudah jika Allah telah mengizinkan. Sebagai manusia, kita diwajibkan untuk berusaha dan terus berdoa.” Jawab pak modin diikuti senyum dan mata yang berbinar. Barangkali hidayah telah datang, dan taufiknya ialah berupa khutbah jumat yang aku berikan, begitu pikir pak modin yang diliputi rasa senang sebab telah memengaruhi pemabuk dan penjudi kawakan di dusunnya.

***

Rembuk dusun digelar pada suatu pagi di balai desa yang sejuk dipenuhi pohon. Diadakannya rembuk desa bertujuan untuk memilih siapa yang pantas menjadi takmir masjid selanjutnya, mengingat takmir masjid sebelumnya telah meninggal karena digerogoti kanker. 

Setengah jam berlalu tanpa ada yang mengajukan diri. Merasa bahwa takkan ada warga yang mencalonkan diri menjadi pengurus masjid, Mat Jais berbekal khutbah jumat yang ia dengar dan perkataan pak modin yang ia resapi pun mencalonkan diri menjadi takmir. Warga Sukoremuk yang ada di tempat itu terlihat memucat, keringat dingin pertanda tidak terima bercampur dengan ketakutan telah mengisi segenap ruang yang ada di dalam dada seluruh warga. Semua menjadi senyap. Angin berhenti. Dan kepala dusun langsung melirik pak modin sambil mengayunkan jempol, tanda agar pak modin segera menanggapi apa yang disampaikan oleh pria gahar itu. 

Tak ada yang menyangka bahwa hari itu ialah hari di mana Mat Jais menjadi pemeran utama. Jawaban pak modin mengiyakan niat baik dari Mat Jais sembari memberikan sepatah kata wejangan kepada semua warga yang ada di situ.

“Sebagai muslim, kita tak boleh berprasangka buruk. Niat Bapak Mat ini kan baik. Jadi mari bersama-sama saling bahu membahu untuk mensejahterakan masjid bersama dengan Bapak Mat selaku takmir masjid yang baru.”

Buruk. Apa yang diyakini oleh pak modin tidak terwujud. Masyarakat Sukoremuk dengan sikap pasif-agresifnya menolak Mat Jais sebagai takmir masjid. Apa mau dikata, sebab sudah amat jelas pokok permasalahannya. Bagaimana mungkin pemabuk dan penjudi bisa mensejahterakan masjid?

Selama hampir dua bulan, perang dingin dikerahkan oleh warga atas dasar ketidakberanian menentang takmir masjid bekas penjudi dan pemabuk itu. Gerakannya ialah berupa sholat berjamaah di dusun sebelah, dan itu menjadi beban pikiran bagi pak modin beserta Mat Jais. Belum lagi syarat sah sholat jumat harus ada 40 orang. Hal itu mengharuskan mereka berdua bersusah payah mencari jamaah dari dusun sebelah. Apalagi gerakan bersih-bersih masjid yang biasa dilakukan seminggu sekali dan bergilir pada tiap RT. Kini gerakan itu mati total.

Satu-satunya jamaah yang tak pernah absen selain pak modin dan Mat Jais adalah Tohir. Bukan atas dasar ketaatan kepada Tuhan, Tohir melakukan itu untuk ikhlas membantu sahabatnya yang tengah berperang secara senyap dengan seluruh warga.

Puncaknya adalah tiga hari menjelang hari raya qurban. Barangkali beban psikis perlahan menggerogoti badannya, bahkan hingga merasuk ke dalam mimpi-mimpinya. Dini hari di sepertiga malam, badannya menggigil. Keringatnya mengucur membasahi seluruh badannya seolah-olah ia memakai pakaian sehabis mandi tanpa melapnya dengan handuk. Deru napas yang memburu ternyata membangunkan bini Mat Jais yang lelap di sampingnya.

“Aku bermimpi leherku digorok tapi kemudian sapi datang dari langit dan menggantikanku!” ujar Mat Jais dengan mata melotot. Seketika bininya langsung mendekapnya. Berharap mimpi itu hanya sekadar mimpi dan menguap bersama keringat suaminya yang diterbangkan oleh kipas angin.

Esok pagi ia bercerita dengan pak modin. Namun, jawaban pak modin sama sekali tidak memuaskan. “Kau hanya kecapekan, Mat. Istirahatlah dan kau akan kembali membaik.”

Tohir bertandang ke rumah Mat dan seketika Mat tersadar bahwa dia masih punya sahabat yang amat baik budinya itu. Mat bercerita dengan antusias tentang mimpinya.

“Sahabatku! Itu pertanda! Tuhan telah merestui keimananmu. Aku pernah mendengar cerita seperti itu. Itu yang dialami oleh Ibrahim. Tetapi kusarankan agar kau jangan gegabah. Mungkin jawaban dari pak modin juga benar.” begitu tanggapan dari Tohir.

Jam bergulir dengan cepat. Rembulan kembali menampakkan kecantikannya. Mat dengan pikirannya yang berkecamuk harap-harap cemas agar malam ini ia bisa tidur dan tidak bermimpi aneh-aneh. Tetapi kebalikannya. Mimpi itu kembali menyatroninya. Dengan dekapan yang sama dan kipas angin yang dinyalakan lagi, Mat kembali tidur.

Esoknya ia bercerita kembali dengan Tohir. Tetapi apa yang dikatakan oleh Tohir adalah kegilaan belaka sebagaimana jawaban dari Mat.

“Kau, apa masih sering mabuk dan judi?”

“Kulakukan secara diam-diam, Hir. Itupun kukurangi intensitasnya hanya seminggu sekali.” Jawab Mat dengan mata memelas.

Tanpa menampakkan sisi keterkejutan, Tohir menyuruh Mat menunggu. Menunggu apakah malam nanti ia akan bermimpi sama dan menelan terror suci misterius untuk yang ketiga kalinya.

Itu satu hari sebelum hari raya qurban. Dan seperti dugaan Tohir serta Mat sendiri, ia lagi-lagi didatangi wahyu berupa mimpi itu untuk yang ketiga kalinya. Kali ini Mat yakin bahwa itu adalah wahyu dan bukan mimpi belaka. Ia meyakini bahwa tiga hari berturut-turut adalah sudah amat cukup untuk membuktikan apa yang tergambar dalam mimpinya.

Mat dengan keteguhan dan keberaniannya percaya bahwa besok adalah saat yang tepat. Tepat bagi seluruh warga Sukoremuk untuk yakin dan menaruh rasa percaya padanya karena mukjizat Tuhan akan diungkapkannya esok hari saat penyembelihan hewan qurban dilakukan pak modin.

Takbir berkumandang berulang-ulang. Pagi itu entah kesambet apa, warga dusun berbondong-bondong ke masjid untuk melaksanakan sholat iduladha. Bukan karena mereka semua telah menerima Mat sebagai takmir masjid, tetapi karena kebocoran berita di dusun itu bahwa Mat ingin membuktikan bahwa Tuhan telah membalik nasibnya dari seorang pemabuk-penjudi menjadi takmir masjid yang bisa dipercaya sekaligus kompeten. Bentuk pembuktian yang akan dilakukan oleh Mat adalah ia ingin agar lehernya digorok sebagaimana dalam mimpinya.

Tohir ditugaskan oleh pak modin untuk menggali lubang bakal darah hewan qurban, dan mungkin darah Mat sendiri, tetapi Mat dengan sangat yakin bahwa Tuhan bakal menurunkan sapi persis sama seperti wahyu yang ia dapatkan dalam mimpinya.

Pagi itu menjadi sejarah yang mendebarkan bagi dusun Sukoremuk. Tidak ingin langsung pulang ke rumah masing-masing setelah sholat iduladha usai, semua warga dusun bahkan ditambah dengan dusun sebelah turut hadir dalam pembuktian yang digembar-gemborkan oleh mayoritas warga Sukoremuk itu.

Pak modin tak pernah mau menuruti apa kata Mat, tapi Mat yang telanjur tidak dipercaya oleh warga dusun dan karena beban psikis yang diusungnya terlampau berat membuatnya nekat memaksa pak modin bahkan mengancam akan bunuh diri jika pak modin tidak menyetujui perintahnya. Namun alasan terbesar Mat melakukan itu ialah karena wahyu yang diyakininya telah didapatkannya selama tiga hari belakangan.

Pisau diasah, mengkilap diterpa matahari. Mat dipegang oleh empat warga beserta satu orangnya ialah sahabatnya sendiri yaitu Tohir. 

“Tuhan, aku percaya akan wahyu yang kau turunkan padaku. Terimalah imanku. Engkau yang maha membalikkan nasib hambamu.” ialah kalimat terakhir yang keluar dari mulut Mat.

Satu kali irisan kecil oleh pak modin, dan leher Mat mengucurkan darah yang tak bisa dihentikan.

Tohir meraung-raung tersedu menyaksikan tragedi yang menyesakkan dadanya itu. Penggalian kuburan pada malam sebelumnya atas perintah Mat untuk berjaga-jaga itu ternyata harus diisi betulan oleh mayat sahabatnya.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here