Di hari libur yang tidak diikuti dengan cerahnya cuaca menjadi agak kurang nyaman dalam perasaan, karena muncul dugaan tentang turunnya hujan jika melakukan aktivitas di luar rumah. Di pagi itu, memang agak mendung sehingga jejeran gunung Banyak, gunung Panderman yang tersambung dengan kaki gunung Kawi yang biasanya jika dalam cuaca terang saat dilihat dari kejauhan akan terlihat seperti seorang perempuan yang tidur terlentang.
Gunung Panderman seolah terbentuk menjadi jemari kakinya, terus ke selatan yang bersambung dengan gunung Banyak yang seolah terlihat sebagai badan dan menyambung dengan kepalanya dan kaki gunung Kawi seolah menjadi rambutnya yang terurai memanjang ke selatan. Sering kali tampilan dari jauh jejeran gunung tersebut yang ada di daerah kota Batu dan kabupaten Malang jika dilihat dari daerah kota Malang seolah terlihat seperti seorang perempuan yang sedang tidur. Oleh karena itu, warga Malang sering menyebutnya sebagai gunung Putri Tidur.
Dalam suasana libur, baik pada liburan akhir pekan maupun pada hari di kalender yang berwarna merah, yang biasanya menjadi hari libur, Malang sebagai kota yang menjadi tujuan libur tentu tak terelakkan lagi jalanan di seantero Malang raya menjadi agak riuh, padat, dan tentu tak jarang telah berubah menjadi macet terutama arah yang menuju kota Malang dan menuju kota Batu. Kemacetan yang terjadi bisa dikarenakan volume jumlah kendaraan yang hilir mudik tidak seimbang dengan volume dan panjang jalan yang tersedia.
Dan tak jarang juga disebabkan oleh kendaraan yang berhenti atau parkir di pinggir jalan yang tentunya kondisi kendaraannya menyentuh bahu jalan, sehingga hal ini kemudian memberikan “rasa ragu dan khawatir” bagi pengendara yang akan melewatinya karena takut menyentuh atau menyerempet kendaraan yang sedang terparkir dengan “gagahnya dan seolah-olah nyaman”.
Perihal kendaraan parkir di pinggir jalan ini mungkin sudah banyak dibahas atau menjadi gerundelan (Jawa: obrolan yang dianggap menjengkelkan) bagi setiap orang yang melihat ataupun yang akan melalui atau menyalipnya. Dan tak jarang pula banyak orang yang memarkir kendaraannya sering berdekatan ataupun di sampingnya rambu lalulintas yang mana dalam rambu lalulintas tersebut menunjukkan huruf P yang disilang ataupun huruf S yang juga disilang. Entah, ini murni kealpaan si pengemudi atau memang ada unsur kesengajaan, yang penting ada area untuk memberhentikan kendaraannya. Entahlah…
Hal inipun juga terjadi di jalan tol. Rambu di jalan tol cukup banyak mulai dari yang berbentuk tulisan, yang berbentuk suara maupun yang berbentuk kamera CCTV (Closed Circuit Television). Di jalan tol banyak rambu yang tertera dengan angka 60-100. Artinya, kecepatan terendah adalah enam puluh kilometer perjam dan kecepatan tertinggi adalah seratus kilometer perjam.
Nah, pertanyaannya adalah berapa jumlah kendaraan yang patuh dengan rambu-rambu ini? Entahlah pula, apakah benar ataukah tidak jika kemudian kecepatannya melampui angka seratus dalam speedometer? Atau kendaraannya hanya berjalan sekitar lima puluh kilometer perjam? Entahlah… untuk mengetahui hal itu hanyalah si pengendara dan operator CCTV. Atau mungkin, Tuhan yang turut mengetahui atas kelambatan dan kecepatan laju kendaraan di jalan tol yang tidak mematuhi rambu lalulintas yang telah dibuat sedemikian rupa oleh pemerintah agar diikuti dan ditaati sehingga dapat mengurangi atau bahkan dapat mencegah kecelakaan. Dengan demikian, berkendara di jalan tol menjadi tenang, nyaman, dan sampai di tujuan dengan selamat.
Memang urusan rambu-rambu lalulintas ini bisa dianggap sepele (sederhana) oleh sebagian orang. Namun, bagi sebagian yang lain urusan perambulalulintasan ini bukanlah semata tanda larangan yang hanya sebatas artifisial saja. Namun sebenarnya, rambu ini menjadi bagian penting dalam membuat tolok ukur bagi kita semua untuk senantiasa taat dan patuh demi kemaslahatan bersama.
Di jalan yang terasa semakin sempit, seperti kota Malang Raya atau di kota-kota lainnya yang sejenis dengan kota Malang yang dijadikan tempat rehat bagi masyarakat sekitarnya, tentu akan banyak menimbulkan masalah-masalah baru. Jadi, bukan hanya sebatas persoalan perparkiran, melainkan ini soal perilaku (habbit) yang telah mendera kita semua baik disengaja maupun tidak disengaja untuk tidak “taat dan tidak takut” pada rambu-rambu lalulintas yang ada. Padahal, tujuan dipasangnya rambu lalulintas tersebut tentu hakekatnya adalah untuk kenyamanan dan keselamatan bersama.