Diskusi alot tentang pemilik merdeka yang sejati telah terang pemenangnya. Luka-luka yang berceceran di panggung revolusi juga dibasuh pelan-pelan. Kota Medan yang pernah menjadi tujuan lawatan turis-turis Eropa pada tahun 1930-an lamat-lamat menyegarkan wajahnya yang pucat.
Perang panjang memang berakibat parah di Medan. Dalam kunjungannya ke Medan, seorang pejabat Kementerian Penerangan mencatat dan mengingat kota itu dengan kesuraman dan porak-poranda. Penduduk kota itu mengungsi ke daerah-daerah terdekat. Sekolah-sekolah dan rumah-rumah ibadah ditutup.
Syukurnya, tidak butuh waktu terlalu lama untuk mengundang kembali langit cerah ke atas Kota Medan. Tahun 1950 menjadi awal baru yang sangat baik, setidaknya bagi lapis-lapis masyarakat yang telah lama merindukan aroma khas ruang-ruang gelap di kota itu. Ya, bioskop juga sudah kembali menerima penonton-penonton setia.
Tak terkecuali Amek dan Tengku Sjafri, dua sahabat beda “kelas” ini telah menjalani penantian panjang untuk pertemuan rutin akhir pekan di bioskop kesayangan. Jangankan ke bioskop, setidaknya sejak pecah Revolusi Sosial 1946 mereka dihalau-halau untuk bertemu; entah oleh waktu atau restu.
Amek dan Tengku Sjafri kehilangan tahun-tahun persahabatan mereka. Revolusi dalam revolusi yang memenggal peradaban puak Melayu juga memutus harap mereka untuk sekadar bertemu. Amek harus mengungsi ke Siantar, sementara Tengku Sjafri sempat hilang dari radar. Kabarnya, sebagian keluarganya mengungsi ke Kuala Kangsar, tapi ada juga yang bilang dia tidak ikut serta.
Masa-masa itu bagaimanapun telah berlalu. Mereka berdua menyambut pelunasan takdir atas hutang rasa mereka berdua. Amek tak sengaja melihat Tengku Sjafri mondar-mandir di depan toko jam di jalan yang di kemudian hari berubah nama menjadi Jl. Surabaya, entah mengapa.
“Sjafri! Hoi! Sjafriii…!” pekik Amek.
Tengku Sjafri menoleh ke samping–belakang mencari-cari sumber suara sobat karibnya itu. Hingga akhirnya matanya tertuju pada pria bertubuh mungil dengan kacamata yang lensanya retak sebelah.
“Hoi, Amek, kawan kental akuu…,” sambut Tengku Sjafri tak tahu harus bahagia atau haru.
Mereka berdua berjalan saling mendekat, medan magnet kasih di antara dua sahabat itu menguat.
“Lama nian kita tak jumpa ya, Fri! Kupikir kau dah tak di Medan lagi.”
“Aku di Medan terus-nya. Cuma mak-ayah tak kasih aku keluar. Kami semua mengungsi ke Maimun. Rumahku pun dah tak berbentuk lagi,” kata Sjafri mengamini temannya itu.
“Rindu juga aku ikut-ikut gaya orang kau,” goda Amek
“Ahahaha, gaya cemana? Nonton ke Bioskop?” seru Tengku Sjafri memastikan
“Haa, itulah, dah betul tu. Sudah hampir seribu bulan kita tak ke Astoria.” Amek membuat maksudnya makin kentara sambil setengah berhiperbola.
“Sekarang kami pun sebenarnya masih serba susah, Mek! Harta benda dah habis terjual. Tak sesenang yang lalu-lalu. Tapi, ayok-lah!”
Tengku Sjafri sebenarnya ragu untuk menyambut tawaran Amek. Di satu sisi kondisi perekonomian mereka masih lemah. Gerombolan ganas sudah membuat banyak hal berubah setelah penyerangan mereka ke Istana dan permukiman bangsawan Melayu Deli beberapa tahun silam.
Usia mereka juga masih belum sampai dua puluh tahun. Ke bioskop pun sebenarnya masih curi-curi peluang. Tetapi karena hutang pada masa-masa bersama itu sudah memuncak di sanubari masing-masing, akhirnya tawaran Amek pun disetujui Tengku Sjafri. Mereka kemudian menyepakati untuk pergi bersama dua hari kemudian, setelah sembahyang Jum’at di Masjid Raya Al-Mashun.
Jum’at, Januari 1950
Amek sudah menunggu Tengku Sjafri di halaman Masjid Raya Al-Mashun dengan gusar, sambil menaik-turunkan pecinya.
“Kemana saja kau, Fri? Padahal dah awal-awal aku datang, tapi tak kutengok kau dari tadi.”
“Maafkanlah, telat memang aku tadi, kata mak masih kurang rapi saja bajuku. Jadi, sibuklah merapikannya dulu tadi, dapat shaf belakang pula, dah tu singgah pula ke kamar kecil tadi, habis tu…,” dalih Sjafri
Amek buru-buru menyetop omongan Tengku Sjafri. Dia memang tak butuh banyak alasan, dia hanya ingin menyegerakan langkah mereka ke tujuan.
“Dah, dah… baiklah Tuanku!” ledek Amek.
“Ah, inilah kau kan, macam tak berkawan kita, tuh Tuanmu di Istana, di depanmu ini sahabat setiamu.”
Tengku Sjafri memang tak suka kalau Amek sudah bawa-bawa status dalam obrolan mereka. Menurut Sjafri hal itu hanya akan menjelma batas-batas aneh yang tak dikenal oleh mereka yang berada dalam suatu pertalian hati bak saudara.
“Iyalah, iyalah. Kali ini aku pula yang minta maaf. Tak lagi lagi lah, Tuu…,” jawab Amek masih berusaha menggoda Tengku Sjafri.
“Mau kau bilang lagi, Tuanku?!”, geram sudah Tengku Sjafri.
“Hahahah, tidak, tidak, ayolah, meh berangkat!” jawab Amek sigap.
Tengku Sjafri yang berperawakan tinggi dan gagah mencitrakan betul kebangsawanannya. Wajar Amek melihat apa yang orang-orang juga dapat lihat dari sosok Tengku Sjafri. Apalagi Tengku Sjafri kadang-kadang beda corak kelakarnya dengan orang kebanyakan. Tapi begitu pulalah makna sahabat, dekat karena ada yang sama, tak menjauh karena menyadari yang berbeda.
Mereka sampai di Astoria, bioskop yang letaknya tak jauh dari Kota Matsoem, permukiman elite Deli yang waktu itu sudah banyak pula dihuni oleh masyarakat biasa. Mereka kemudian melihat-lihat daftar film yang sedang tayang. Ada sebuah film yang ternyata beberapa hari sebelumnya telah dilihat Tengku Sjafri di sebuah harian, Niuewsblad Voor Sumatra namanya.
Film itu bertajuk The Way to the Gold. Amek dan Tengku Sjafri kemudian bersepakat untuk menonton film itu saja. Konon, menurut Tengku Sjafri film itu memiliki kesan yang hebat pada mereka yang sudah menonton. Atau sepertinya Tengku Sjafri juga menginginkan kembali kejayaan dengan emas-emas berlimpahan. Begitu juga Amek, siapa yang tak senang punya banyak harta.
***
Sultan Deli dan permaisuri tengah tidur nyenyak pada malam itu. Akan tetapi Sultan mengimpikan sesuatu yang tampak nyata baginya. Seseorang memasuki kamar dan mulai membuat kesibukan di sekitar mereka. Malang, ternyata bukan mimpi. Tengku Permaisuri yang terbangun sebab suara krasak-krusuk itu mencoba menyalakan lampu.
Betapa kagetnya permaisuri berteriak demi melihat bayangan orang yang berupaya keluar dari pintu kamar mereka dengan meninggalkan lemari yang menganga lebar.
“Kenapa, dinda?” tanya Sultan masih terkejut dengan teriakan istrinya.
“I…itu…itu tadi, ada yang menyelinap ke istana, tapi…tapi dinda hanya melihat pung…punggung dan ba…ba…yang…bayangannya saja.” jawab Tengku Permaisuri sambil mengatur nafasnya.
“Kanda coba periksa dahulu ya.”, tutur Sultan menenangkan Tengku Permaisuri.
“Alhamdulillah, semua selamat kecuali uang Rp5000,“ jawab Sultan pelan.
“Apa? Rp5000? Itu jumlah yang cukup besar kan, Kanda?!” tambah Tengku Permaisuri lemas.
Uang sejumlah itu memang tergolong besar. Terlebih selepas masa-masa kesulitan perekonomian di tahun-tahun 1947-1949. Mereka harus pandai berhemat, karena pemasukan dari perkebunan juga sudah berhenti total. Seluruh keuntungan telah masuk ke kas besar negara untuk “sebesar-besarnya kesejahteraan bangsa”.
Lamunan mereka kembali menjenguk ingatan tentang Revolusi Sosial 1946. Peristiwa empat tahun lalu itu juga berlangsung di malam hari, hanya beda tanggal dan bulan saja. Sultan masih ingat detik-detik dia memutuskan untuk meminta pertolongan pasukan Sekutu karena istana sudah dikepung saudara-saudara sebangsanya.
Dia mulai khawatir jika ternyata setelah beberapa tahun berlalu, kebencian adalah yang paling kekal di sana. Sultan takut keputusan untuk memboyong keluarganya kembali ke Medan, tanah lahirnya, adalah pilihan yang salah. Dia cemas betul, kalau-kalau harus kembali menuntun sanak-kerabatnya ke jurang penderitaan.
Sultan tidak lagi memiliki pengawal dan oleh karenanya, dia minta Permaisuri untuk tenang di dalam kamar, sementara dia akan memeriksa keluar tanpa membangunkan seorang pun. Sultan kemudian menyusuri selasar istana dan hanya melihat salah satu jendela menuju beranda dalam keadaan terbuka. Dilihatnya ke arah laman, dan dia tidak mendapati seorang pun untuk disalahkan.
Sultan kembali ke bilik dan mengabarkan sang istri perihal “investigasi” sederhananya. Akhirnya, mereka memutuskan untuk menyiarkan di surat kabar perihal aksi itu. Mereka mencoba berharap sekali lagi kepada media, yang pernah menjadi musuh paling halus bagi aristokrat Sumatera Timur sebenarnya.
Kabar itu segera memenuhi harian-harian dua hari setelah kejadian. Penduduk Kota Medan mulai membicarakan berita hangat itu. Beberapa menyumpahi Sultan Deli atas kemalangannya dengan penuh rasa syukur. Rupanya dendam masih bersarang pada sebagian orang.
Sebagian kelompok lagi mencurahkan keprihatinan bagi Sultan dan keluarga. Mereka yang empati berupaya untuk mencari tahu siapa pelaku kejahatan yang mengulangi peristiwa traumatis pada Maret 1946. Walaupun lebih banyak lagi yang sudah tidak peduli atas apa yang sultan dan keluarganya alami. Mereka sadar betapa banyak hal di luar mereka yang justru malah menambah masalah saja.
Harian yang memuat berita itu sampai pula kepada Amek. Dia berusaha memahami pelan-pelan berita itu. Amek kemudian pergi ke rumah Tengku Sjafri yang telah menempati salah satu bangunan kosong di dekat Swembad.
“Fri…Fri…coba baca ini!”, ujar Amek tergopoh-gopoh sambil menyerahkan koran yang dia bawa.
“Wah, kenapa bisa sampai masuk koran seperti ini ya?” tanya Tengku Sjafri keheranan.
“Tak tahu aku, padahal tak ada yang sempat menengok kita,” terang Amek.
“Ini bukan perihal tak ada yang menengok saja, tapi tertera kerugian di sini Rp5000“ sanggah Tengku Sjafri.
“Lalu, kau tuduh aku mencuri?”, pungkas Amek.
“Bukan begitu, kau sahabatku, aku percaya padamu. Tapi…”, lagi-lagi Tengku Sjafri menerangkan bahwa bukan maksudnya mencurigai sahabatnya itu.
“Tapi, apa? Bilang saja yang sebenarnya, kalau Tuanku ini memang tidak pernah yakin pada persahabatan antara Si Kaya dan Si Miskin dapat terjadi,” Amek menempatkan Tengku Sjafri dalam dilema.
“Siapa bilang aku tak percaya, aku benar memandang persahabatan kita dengan pertalian yang murni,” tegas Tengku Sjafri pada pendiriannya.
“Hanya saja, aku masih tidak habis pikir darimana uang sebesar itu bisa raib padahal aku tak mengambil apapun dan kita sudah sepakat hanya mencoba adegan yang kita tonton di film itu untuk merasakan sensasinya.” Tengku Sjafri berusaha memahami sekali lagi peristiwa apa yang sebenarnya terjadi.
Mereka mulai saling diam dan menyelimuti curiga; membaringkannya untuk beristirahat panjang saja. Beberapa persoalan memang mencukupi dengan melarungkannya ke lautan memori yang dalam, dan membiarkannya menjadi konsumsi mikroorganisme yang malang, yang mencoba menuntaskan dahaga yang tidak terhingga dengan mengonsumsi perasan air mata dari masalah orang.