Kita tentu sering mendengar kutipan “practice makes perfect”. Kutipan tersebut mengacu pada pemahaman bahwa dengan praktik, suatu pekerjaan menjadi sempurna. Dan sebagai mahasiswa keguruan, praktik menjadi guru dibutuhkan untuk menyempurnakan perkuliahan serta untuk mempersiapkan para mahasiswa dalam menghadapi dunia kerja sebagai seorang guru.
Di lingkungan fakultas pendidikan dan keguruan, dikenal istilah Praktik Lapangan atau Praktik Pengalaman Lapangan. Dan saya adalah mahasiswa keguruan di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.
Bulan September lepas, saya baru saja menyelesaikan praktik tersebut sebagai salah satu mata kuliah wajib. Saya tidak sendirian, dalam satu kelompok saya dan 16 orang mahasiswa dari jurusan yang berbeda ditempatkan di satu sekolah. Dalam tulisan ini saya akan mencoba menguraikan catatan-catatan saya tentang kegiatan praktik tersebut. Catatan-catatan ini ditulis berdasarkan pengalaman langsung, pengamatan, dan berbagai perspektif dari dialog-dialog kecil dengan guru yang ada di sekolah.
Hal pertama dalam catatan saya adalah rumitnya menyiapkan rancangan bahan ajar. Meskipun secara teoritis sudah saya pelajari di kampus, ternyata teori itu tidak mudah diaplikasikan sama sekali. Secara implementatif teori-teori tersebut dituangkan dalam serangkaian rencana pembelajaran. Dimulai dari menganalisis kompetensi dasar, merumuskan indikator hingga menentukan tujuan pembelajaran dan membuat soal sebagai bahan evaluasi.
Saya merasakan betapa sulitnya menganalisis kompetensi dasar yang ada di silabus. Saya harus merumuskan hal yang sangat umum menjadi serinci mungkin untuk mendapatkan dasar-dasar rencana pembelajaran.
Kompetensi dasar (KD) yang saya dapat dari silabus dalam keadaan tidak spesifik harus diurai sedemikian rupa. Proses transformasi dari KD menuju indikator pencapaian kompetensi inilah yang paling membuat saya muntah darah. Bahkan menurut guru pembimbing saya, banyak pula guru yang masih kesulitan dalam proses ini. Hal ini karena kompetensi dasar dalam kurikulum ditentukan oleh orang yang mungkin bukan guru, mereka mungkin saja ahli pendidikan namun tidak pernah merasakan menjadi guru. Beban inilah yang kemudian saya imajinasikan sebagai kelemahan dari sistem pendidikan kita. Kompetensi dasar bersifat umum dan rancu serta tidak multi-interpretatif.
Sebenarnya penyusunan itu sudah dipandu dengan sebuah teori dasar bernama taksonomi Bloom. Teori tersebut mengakomodasi kata kerja operasional di setiap tahap yang telah ditentukan dan disesuaikan dengan LOT atau HOT. Semuanya harus bertahap, smooth dan scaffolding. Dan yang paling menyesakkan adalah rencana pembelajaran tidak akan berjalan apabila indikator yang ditentukan tidak tepat atau dalam artian kunci dari sebuah pembelajaran adalah penentuan indikator tersebut. Satu saja tidak tepat akan mempengaruhi kinerja seluruh rencana pembelajaran. Gimana, sudah kebayang belum ribetnya? Kalau belum, mari saya tunjukkan lagi.
Guru bukan hanya tentang mengajar. Dalam pendidikan guru juga dituntut menjadi administrator yang baik. Seperti yang telah saya uraikan di atas, menjadi guru berarti siap dengan keribetan menyusun segala hal yang sifatnya administratif. “50% pekerjaan guru adalah pekerjaan meja,” begitu kira-kira kutipan dari guru pembimbing saya. Artinya, guru tidak hanya masuk kelas dan mengajar. Dia perlu menyiapkan apa-apa yang akan ia bawa dalam proses pembelajaran.
Pernahkah ketika sekolah dulu kalian menemukan guru yang dalam pembelajaran begitu nyaman dan begitu mudah untuk diikuti dan untuk memahami materi yang disampaikan? Ya, kuncinya ada di belakang meja, di depan laptop, di balik rencana pembelajaran. Jadi jika kamu masih siswa, buka matamu! Mungkin saja ulahmu di kelas sudah mengacaukan rencana-rencana yang telah disiapkan oleh gurumu sehingga pembelajaran tidak berjalan sesuai rencana.
Selain sebagai pengajar, dalam berbagai perspektif guru bisa dan harus bisa menjadi apa pun. Guru harus tampil sebagai pembimbing, pelatih, motivator, pendamping, teman, mitra, dan tentu saja orang tua. Dengan seabrek pekerjaan guru itu, masihkah kita tidak mau menaruh rasa terimakasih dan hormat kita kepada seorang guru? Meskipun sudah pasti dan tidak akan bisa dibantah seorang guru dalam hati terdalamnya tidak menginginkan itu.
Kebahagiaan tertinggi seorang guru akan dapat dicapai ketika apa yang dia ajarkan mampu diterima, apa yang dia katakan bisa diimplementasikan, dan apa yang dia arahkan dapat diikuti oleh para siswanya. It is satisfying.
Tantangan menjadi guru bukan hanya soal menyiapkan pengajaran dan mengajar dalam kelas. Namun kebijakan pemerintah dalam membentuk kurikulum pendidikan sangat berpengaruh kepada psikologi pendidik.
Mungkin ada guru yang baru saja mulai mengajar dengan kurikulum A tiba-tiba pada tahun selanjutnya harus sudah berganti menjadi kurikulum B. Parahnya adalah perbedaan antara keduanya tidak sedekat jarak A dan B alias perbedaannya sangat jauh.
Satu set kurikulum yang berbeda akan berpengaruh kepada sistem, tata kelola, dan tentu saja kegiatan pembelajaran. Pengaruh yang bersifat menyeluruh itulah yang harus sangat diantisipasi oleh seluruh perangkat sekolah terutama guru. Kenapa? Karena ujung tombak suksesnya pembelajaran ada pada guru tersebut.
Secara psikologis perubahan kurikulum akan membuat guru lebih stress karena harus menyiapkan perangkat pembelajaran yang berbeda dari awal. Selain itu praktik pembelajaran pun pasti harus diubah dan disesuaikan dengan kurikulum yang ada. Dan sialnya adalah jika sekolah itu adalah sekolah penggerak, itu beban yang cukup berat.
Terakhir, ini adalah catatan pribadi saya ketika menjadi guru praktikan. Ditempatkan di sekolah “favorit” adalah beban tersendiri. Bayang-bayang murid yang aktif mungkin menjadi kebahagiaan tersendiri, tapi bayangkan jika anda bukan profesional menghadapi murid-murid yang biasa berhadapan dengan guru mereka biasanya. Tekanan mental dan intelektual akan anda rasakan begitu berat. Apalagi ketika saya dipercaya menggantikan guru piket di kelas Unggulan dengan kemampuan akademik di atas rata-rata siswa lainnya. Tidak akan sulit mengajar, namun akan sulit sekali mengontrol kelas yang dipenuhi dengan riuh pertanyaan kritis mereka..
Catatan lainnya adalah mengenai teman-teman satu kelompok yang cukup membantu proses praktik lapangan. Sharing pengalaman yang kami lakukan sedikit banyaknya menambah insight bagi saya yang kurang bergaul dan bersosialisasi. Ilmu baru banyak saya dapat di sana dari obrolan-obrolan kecil dan diskusi-diskusi dengan mereka. Cara menangani keributan di dalam kelas maupun cara memberikan apresiasi terhadap siswa yang mampu dengan baik menyelesaikan tugas kita bahas. Meskipun tidak terlalu akrab karena latar belakang saya yang memang jarang bicara dan kurang bisa berkomunikasi dengan lancar, tapi pengaruh dari mereka cukup membekas.
Satu lagi, diskusi dengan guru pembimbing adalah hal yang paling saya ingat. Pembahasan mengenai bagaimana guru seharusnya bekerja, dan bagaimana cara menyusun perangkat pembelajaran dengan baik dan tepat adalah topik diskusi kami sehari-hari. Pengalaman yang dibagikan beliau benar-benar membuka pikiran saya tentang dunia kepengajaran.
Sulitnya menjadi guru yang baik dan beratnya menyandang status guru di depan para peserta didik sudah saya dengar dan alami secara langsung. Dan sekali lagi, menjadi guru itu sama sekali tidak mudah. Ibaratnya, semua orang sukses itu punya guru dan tak ada orang sukses yang berdiri tanpa ditopang oleh support seorang guru yang baik.
Selama 40 hari melaksanakan program praktik lapangan banyak hal yang saya dapatkan. Ilmu-ilmu yang tidak saya dapat ketika kuliah. Pelajaran berharga di lapangan yang akan sangat bermanfaat di kemudian hari. Jadi guru atau tidak jadi guru itu adalah pilihan, tetapi selama 40 hari pembelajaran bagi saya bukan hanya soal menjadi guru, tetapi menjadi manusia yang lebih dewasa dan intelektual yang lebih bermanfaat bagi orang lain.
Pesan untuk orang-orang di luar sana terutama yang masih meremehkan pekerjaan seorang guru, ingat anda bukan siapa-siapa tanpa guru anda. Guru anda punya andil yang lebih besar dari uang yang anda punya. Dan untuk para murid yang masih suka bandel dan ngajak ribut di kelas, guru juga manusia, kesabarannya bisa sewaktu-waktu mencapai batas. Dan saya pikir, pekerjaan menjadi guru jauh lebih mulia dan melelahkan dibanding pekerjaan lain yang mungkin gajinya lebih tinggi.