Beberapa hari kurunut jejakku di bumi Jakarta, masih saja baru wacana-wacana yang kudapat. Meski begitu, aku harus terus berucap syukur pada Dia yang terus memberiku ruang dan waktu buat berbuat sesuatu, memperkaya karya-karyaku.

Aku langkahkan penat tubuhku, setelah keluar dari lift lantai 6 Mall Taman Anggrek, menuju tower 4 Apartemen Taman Anggrek. Sapaan Pak Rusli, satpam apartemen, tak kuhiraukan. Aku begitu saja masuk lift, lalu kutekan tombol lantai 16. Kulirik dinding lift sebelah kiri, tampak wajahku begitu jutek, manyun, rambut lurus sepinggangku terurai, sangat-sangat kusut, jelek.

Tanpa terasa, kakiku sudah menginjak lantai depan pintu kamar. Kuambil kunci dari saku luar tas casual hijau lumut, yang menyilang tali panjangnya di dadaku. Kata Ardi, sahabatku sekaligus desainer cover buku-bukuku, tas itu sudah bulukan, saatnya dibuang. Aku cuek saja, bagaimana pun, tas itu saksi perjalanan romanku yang selalu carut marut hingga usiaku 28 tahun ini.

”Loh! Tumben jam sebelas sudah pulang Key?” Sapa Ince, sepupuku, sambil mengecat kuku jemari tangan kanannya. Dia memang seorang model, yang selalu jaim dengan penampilan. Nggak seperti aku, seniman jalanan, cuek parah dengan penampilan, tomboy gak jelas, kata orang-orang.

- Poster Iklan -

Aku masih bungkam, melepas sepatu lars-ku. Lalu aku selonjorkan kaki ke sofa, kemudian kuambil remote TV dari atas meja, aku hidupkan TV.

”Hei, kenapa cemberut? Jutek amat! Jadi kan tadi ke Wapres Bulungan? Gimana script film kamu? Deal?”

Aku hanya meliriknya. Cerewet banget sih, batinku, lalu kuanggukkan kepala. Kumatikan TV, dan aku masuk ke dalam kamar. Kudengar Ince menggerutu,”Huuuh…dasar dodol! Patung! Pasti gara-gara pilot itu lagi! Hari gini … makan tuh cinta!”

Hon, ini nomor baruku. Aku akan pergi sebentar, ada flight schedule di luar, jangan kirim WA atau telepon dulu. Setelah kembali ke Jakarta, aku akan hubungi kamu. Love you honey.”

Rasanya saat itu, aku tak punya detak jantung, kembali kubaca WA terakhir Bara, enam bulan yang lalu. Jantungku pun, terasa hilang. Ringan tubuh, kosong dada ini. Dia pergi begitu saja.

Satu bulan, dua bulan, enam bulan, tanpa kabar. HP-nya selalu mail box, email tak pernah terjawab. Sampai aku launching bukuku, sedikit pun tak kuhela napasnya. Di mana kamu hon? Ke rumahnya? Tak mungkin. Karena mamanya tak pernah merestui hubungan kami. Tiba-tiba, pipiku teraliri air dari mataku. Aku menangis. Ya, terasa bego banget, menangisi cinta yang tak pernah terjadi

Tiba-tiba terdengar Lagu Dia milik Anji. pertanda WA masuk ke HP-ku. Aku ambil HP dari dalam tas. Kubaca WA seseorang yang lama tak menyapa, Bintang. Tumben, sudah lama sekali dia tak menyapaku, meski maya.

Bangun dan tahajudlah, semoga Allah akan selalu menjagamu dan membimbingmu. Miss you daunku

Sambil kuusap pipiku yang basah, kujawab WA Bintang, yang sebenarnya, telah tiga kali hadir dengan kalimat yang sama, minggu ini. Dia teman lama di dunia maya, yang sebenarnya pernah ingin kusinggahi hatinya. Seorang interior designer cerdas, memutuskan tinggal di Lombok yang selama ini juga misterius dengan lelaku dan pemikiran-pemikirannya.

Namun, seiring dengan lajunya waktu, dia menghilang begitu saja. Padahal, ketika itu, kalau aku mau jujur, aku mulai tertarik dengan kerendahan hati dan kesabarannya jika kami berkomunikasi, saling share dengan masalah-masalah kami. Dan saat itu, aku ingin pergi dari Bara, dengan sakit yang kubikin sendiri. Karena cinta kami, tampaknya tak bermuara.

Aku mulai mencoba, memindahkan hati kepada Bintang, meski berat. Namun, lelaki misterius itu tiba-tiba pergi. Sulit kuhubungi lagi. Lalu, kembali hatiku jatuh pada Bara, yang masih setia dengan semua lelakuku. Meski kutahu, mamanya tak pernah menyetujui hubungan kami, entah kenapa. Jawaban Bara, selalu mengambang jika kutanyakan hal ini. Dan aku selalu tak berusaha mencari tahu jawaban itu. Karena bagiku itu tak penting. Yang penting, biarin ngalir saja dulu cinta ini, toh kami baru jalan sembilan bulan. Terlalu dini buat serius membicarakan ujung kisah romanku dengannya.

Terima kasih … kenapa kamu masih punya rindu buatku lagi

Kukirim, jawaban datar ke Bintang. Tak berapa lama, jawaban dia telah tampak di layar monitor HP-ku.

Key, aku ol sekarang di FB

Tak kujawab WA-nya, namun spontan aku bangun dari tempat tidur dan kubuka laptop di atas meja, di sisi kanan tempat tidur. Aku chating di FB.. Entah itu sebuah pelarian, ungkapan rindu buat redam galauku malam itu atau sebuah babak baru kisah romanku, entahlah.

Apa kabar? 

Tiba-tiba, beberapa saat setelah aku ol, Bintang telah menyapaku, masih tetap dengan nama sang angin. Aku tak tahu, apa yang kurasa malam itu, mengalir saja perasaan yang belum ada namanya itu.

Bad

Why?

Buat apa aku cerita? Kamu sudah tak pernah peduli aku. Napa masih kamu simpan rindu buatku?

Aku sudah pernah bilang, semoga kamu masih ingat email-ku terakhir. Bahwa aku harus masuk ke Elizabeth Hospital karena sakitku

Lalu kenapa, kalau ol aku sapa diam saja? Malah offline. Sakit kok bisa ol?

Aku baru saja keluar dari rumah sakit. Ini juga masih rawat jalan, di rumah. Mungkin saat itu keponakanku memakai id-ku.

Napa kamu selalu maya adanya? Kalau serius, sekarang telepon aku. Berani?

Bintang tak menjawab. Dia lama terdiam. Aku gusar. Karena selama ini dia tak pernah punya kekuatan buat bicara dengan hatinya.

Nggak berani? Ya sudah. Buang rindu itu buatku. Bye!

Tunggu! Bagaimana aku bicara, kalau saat ini di bibirku ada corong oksigen?

Aku sedikit terhenyak, namun aku selalu tak punya keyakinan akan kesungguhan sakitnya, kanker otak, komplikasi, bla bla bla, dari dulu. Bahkan dia juga suka rally, balap mobil. Mungkinkah? Jawaban dia selalu begini, ”Semua telah aku pasrahkan pada-Nya. Mau mati di mana pun bisa. Dan aku telah divonis, tahun 2018 harusnya sudah mati.”

Antara yakin nggak, jika dia bertutur dengan suaranya, yang mirip banget dengan suara Bara. Bagaimana aku bisa yakin Bintang sakit, jika melihat postur tubuh atletis dan macho-nya? Dan keinginan buat buktikan, bertemu raganya, selalu saja tertunda. Dia yang tak punya daya arung atau aku yang masih ragu dengan perasaanku sendiri terhadapnya, karena bayang-bayang Bara masih begitu lekat di hati, meski kami telah berpisah.

Puas?

Aku kembali terdiam. Namun, aku mulai terpancing kalimat terakhirnya.

Aku akan puas, jika raga kita bertemu. Aku ingin membesukmu ke Lombok besok! Itu baru membuatku puas! Karena selama ini aku hanya menganggapmu selalu test case tentang hubungan kita yang tak pernah jelas ini!

Boleh aku tanya satu hal?

Apa?!

Apakah setelah kenal aku. Kamu pernah jalan dengan seseorang?

Darahku terasa panas, mendidih. Buat apa dia menanyakan hal yang sangat pribadi ini?

Dalam kapasitas apa kamu tanyakan itu? Toh selama ini tak jelas hubungan kita apa. Apa pentingnya bagimu jawabanku? Dan apa perlunya buatku. Nggak ada artinya sama sekali chatting kita malam ini. Aku capek dengan pertengkaran!

Aku nggak butuh eyelan-mu. Namun aku butuh jawaban. Satu kali saja. Yes or not.

Kembali emosiku terpancing, dan begitu saja mengalir jawaban-jawaban yang telah menggeliat menyakitkan dadaku. Bak gelombang samudera luas yang menggulung paru-paruku.

Ok! Aku jawab! Aku jadian, pacaran sama someone special. Puas?

Jadi setelah kenal denganku, kamu jalan sama dia?

Marahku makin tak tertahan. Begitu keras kutekan tuts laptop-ku.

Loh? Apa urusannya denganmu? Toh kamu tak pernah punya keberanian buat ucapkan kata cinta, berkomitmen atas hubungan kita. Dan saat itu aku masih dilematis, di persimpangan jalan, antara kamu dengan dia. Namun apa yang kudapat? Kamu hilang begitu saja. Sedang aku begitu tololnya menunggu kepastian yang tak pernah pasti menghampiriku

Perlu kamu tahu, setelah kita kenal, aku mulai memikirkanmu. Aku ingin kita segera bertemu. Dan aku jaga untuk tidak jalan dengan siapa pun, meski banyak perempuan yang mengejarku. Namun aku sangat menjaganya buatmu. Sampai satu saat kita bertemu

Artinya kamu tak pernah sakit kan? Sakitmu hanya buat test case! For what?

Percayalah Key. Sebulan setelah kita kenal, aku kembali dirawat di Singapore, selama dua bulan. Sepulang dari sana aku sibuk selesaikan proyek-proyek yang kutinggal. Aku berkejaran dengan waktu, bukan berarti aku telah melupakan hubungan kita

Pegangan apa yang bisa kudapat saat itu, kalau ada cintamu buatku? Nggak ada! Kita ini apa? Pacar maya? Kapan memang kamu bilang cinta? Pernah? Aneh!

Ya, sudahlah Key. Kamu bisa baca www.sangangin.com.

Tak kugubris jawabannya. Aku kesal. Aku offline dari FB. Aku terduduk lesu. Namun, jemariku tiba-tiba saja telah meng-klik website Bintang. Dengan getaran tak beraturan, nadi dan jantungku melaju kencang, mengikuti tuts laptop-ku. Kubuka note Desah Angin Kembara.

 

AKU RINDU DAUNKU

Andai kubisa bertahan menjadi angin 

Yang setia menyemilirkan gersang hijaumu

Namun takdirku

Aku tak bisa ada di seputar helaimu

Daurku, aku harus berlalu

 

Ketika semesta kembali gelincirkan sang waktu

Aku kembali mengujar rindu pada sang daun

Tanpa kupikir lagi

Daun itu masih setia di pohon 

Yang selama ini kucemburui

 

Pohon dan angin, dia dan aku

Adalah sama

Sama miliki cinta buat sang daun

 

Elizabeth Hospital, Bad New Year 2020

Buat Key, sang daun

 

Kujawab puisinya di kolom komentar. Lumayan juga, daya ungkap kalbunya. Memang jauh sih, kalau dibanding Bara, yang banyak formal-nya dalam bercakap-cakap denganku selama ini.

”Kamu memang sang angin, bahkan sang dewa angin. Begitu mudah meniup, membelai, menyemilirkan rindu buat sang daun. Lalu pergi, hilang, berlalu begitu saja. Tak pernah peduli dengan sang daun, yang sering hampir gugur dari sang pohon. Namun berusaha bergelayut terus pada batang sang pohon dengan tangkainya, penuh kelelahan buat bertahan, mencari arah mata anginmu, yang sulit kuhirup.”

Setelah kukirim jawaban puisinya. Aku membuka menu photo di album “Pohon dan Angin”. Entah kenapa, aku tiba-tiba saja tertarik buat memilih album itu. Dan getaran nadiku kembali berdegup kencang, tak beraturan, seirama dengan detak jantung yang sulit kuatur.

Mataku terbelalak ketika ku-klik tulisan photos. Tiba-tiba ribuan tanya bergelantungan di hatiku, yang mulai berkecamuk tak karuan. Semakin kupelototi sembilan gambar itu.

Kenapa dia bersamanya? Kok bisa? Apa hubungan mereka? Loh! Terus? Duh! Aku hampir pingsan ketika kubaca judul photo terakhir yang kulihat ”Dia Pergi Buatku”

Hah? Jadi?

Aku terus bergumam dan makin penasaran dengan deskripsi yang ada di foto ke Sembilan.

”Daun … aku dan pohon kembar non identik, dia pergi darimu buatku yang sakit.”

Sekujur tubuhku terasa kaku, aku terduduk, terdiam, tak bisa apa-apa. Cerca pikirku pun larut hanyut dalam kembara mayaku malam itu. Aku tak tahu harus bagaimana dan berbuat apa setelah tahu … Bara pergi buat Bintang, saudara kembarnya …. Ya Allah!

Segera kuambil HP, kucari nomor Bintang, kutelepon dia. Tak diangkat-angkat, hanya terdengar …. Bukan maksud hatiku. Acuhkan dirimu di depan mataku Tapi ku tak bisa lupakan, saat dirimu membuat diriku terhina. Sakit hatiku, remukkan tubuh, kumembencimu musnahkan cintaku! Syair ”Musnah” milik Andra & The BackBone menampar menyakitkan.

Tuhan, kenapa aku kembali kehilangan cintaku? Namun, cinta yang bagaimana dan kepada siapa? Aku benar-benar merasa memilikinya, ketika aku telah kehilangan mereka. Di mana salahku? Rutukku, dengan keringat dingin mengucur deras di sekujur tubuh, membasahi t-shirt ketat putih polos yang kupakai malam itu. Sambil terus kubaca berulang-ulang deskripsi getir pada foto ke sembilan, Bara dan Bintang. Hingga, tiba-tiba saja kepalaku terasa pening sekali, tubuhku gemetar, pandanganku mulai buram, temaram, dan gelap.

Gubrak! Aku terjatuh dari kursi, pingsan!

 

Tertulis kembali di Sidoarjo, 7 September 2022

Untuk Elang Lazuardi

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here