Robert Michels & Isu Oligarkisasi
Robert Michels & Isu Oligarkisasi

Oligarki dan Oligarkisasi

Barangkali istilah ‘Oligarki’ menjadi salah satu buzzword saat kita membahas segala bentuk praktik ekonomi politik nasional. Namun demikian, agaknya juga perlu dipahami terlebih dulu tentang proses munculnya oligarki. Nah, perjalanan menuju ke oligarki disebut dengan ‘oligarkisasi’.

Sejak lama Robert Michels dalam bukunya, Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy (1915), telah membahas bagaimana birokratisasi memungkinkan kepentingan pemimpin mendominasi massa. Hirarki memberikan pemimpin akses ke kekuasaan dan sumber daya yang lain tetapi juga mengurangi pengaruh dan partisipasi anggota. Untuk memproteksi posisinya, para pemimpin kian konservatif dan menolak reformasi. Ketika kekuasaan terkonsentrasi pada beberapa individu, organisasi melepaskan praktik demokratis, dan dengan demikian gagal merefleksikan kepentingan anggota. 

Tentu saja ini juga berlaku dalam konteks negara. Untuk melanggengkan kekuasaannya, rezim yang hegemonik dikarakterisasi dengan dominasi yang cenderung kuat dan tidak terkendali, sering kali oleh koalisi (antara pemimpin dan kroni) yang berkuasa atau partai politik yang dominan. Biasanya hegemoni tertanam dalam struktur kekuasaan patrimonial, jaringan patron-klien yang kompleks, dan alokasi sumber daya yang membentuk dasar legitimasi politik.

Implikasi Oligarki

Implikasi etis dari oligarki sungguh signifikan. Konsentrasi kekuasaan memantik pertanyaan tentang akuntabilitas, representasi, dan keadilan. Ketika sekelompok kecil orang memerintah, maka peluang korupsi (termasuk gratifikasi) meningkat, karena mereka ini mungkin lebih mengutamakan kepentingannya sendiri ketimbang kebutuhan masyarakat yang lebih luas. Dinamika ini dapat membajak lembaga dan proses demokrasi, yang menjurus pada sistem politik (pemerintahan) yang mungkin tampak demokratis dalam strukturnya tetapi beroperasi secara oligarki dalam praktiknya.

Di Indonesia, misalnya, jalinan praktik oligarki dengan proses politik telah dianggap sebagai ancaman nyata terhadap demokrasi, di mana pemilihan umum (pemilihan presiden-wakil presiden dan pemilihan anggota legislatif) atau pemilihan kepala daerah dapat didominasi oleh ‘koalisi’ elit politisi-pengusaha yang memanfaatkan sumber daya mereka untuk memengaruhi hasil politik. Situasi ini menyoroti masalah etika seputar integritas representasi politik, serta adanya potensi erosi dan defisit demokrasi.

Kerentanan negara terhadap oligarki bergantung pada situasi-kondisi tertentu. Ini meliputi kepentingan dan tujuan pemimpin, norma-norma kehidupan sosial-kenegaraan (yang kondusif atau sebaliknya), dan kompetisi dengan kelompok lain, termasuk yang resisten. Untuk mengeliminasi sentralisasi kekuasaan dan konservatisme seperti itu, beberapa peneliti merekomendasikan disrupsi akar rumput (grass roots). 

Strategi Mengatasi Oligarkisasi

Mungkin ada berbagai strategi untuk ‘memerangi’ oligarkisasi. Setidaknya menurut penulis, antara lain, yaitu dekonstruksi praktik monopoli ekonomi politik dan reformasi sistem-lembaga peradilan. Keduanya dapat memberikan kontribusi yang krusial bagi keberlangsungan demokrasi.

Pertama, dekonstruksi praktik monopoli ekonomi politik. Sejatinya praktik dekonstruksi ini akan mendorong tata kelola yang baik dan memastikan distribusi sumber daya yang adil. Praktik seperti ini menganjurkan participative governance, di mana para pemangku kepentingan, termasuk kelompok-kelompok yang marjinal, memiliki suara dalam proses pengambilan keputusan. Dengan mempromosikan transparansi dan akuntabilitas, hal ini dapat memperteguh kepercayaan rakyat.

Upaya mengatasi monopoli (ekonomi) yang dipegang oleh oligarki dapat melemahkan cengkeramannya terhadap kekuasaan politik. Ini termasuk sektor-sektor, seperti pertambangan dan energi. Reformasi politik regulasi yang ditujukan untuk lebih menjamin fairness dapat membongkar monopoli ini, sehingga dapat mempersulit oligarki untuk memanipulasi opini publik dan proses politik.

Kedua, reformasi sektor peradilan. Menyemai rasa keadilan dalam sistem peradilan dialamatkan untuk menjaga demokrasi yang fungsional terhadap lembaga hukum. Integritas penting untuk menjaga kepercayaan publik (public trust), karena hal ini meyakinkan warga negara bahwa lembaga peradilan akan bertindak konstitusional dan menegakkan keadilan. Sistem peradilan yang efektif dan adil melindungi individu dari tindakan semena-mena dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), termasuk yang dilakukan oleh negara.

Reformasi ini dibutuhkan untuk mereduksi pengaruh oligarki dengan lebih menjamin rasa keadilan. Lembaga-lembaga peradilan dan anti korupsi perlu dipastikan dapat secara efektif mengatasi korupsi dan menegakkan supremasi hukum. Jika sistem dan lembaga peradilan menyimpang, maka rakyatlah yang harus ‘menuntun’ kembali ke marwahnya. Sistem peradilan yang kuat dapat mencegah tindak pidana korupsi dan menciptakan iklim akuntabilitas, sehingga mengurangi kekuatan oligarki yang mengeksploitasi celah hukum. 

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here