Barthes

Seperti yang bisa kita lihat, banyak tokoh budaya dan media yang menjadikan semiotika sebagai salah satu alat untuk menganalisis teks budaya. Foto merupakan salah satu bentuk visual buatan manusia yang tidak bisa lepas dari kajian semiotik. Dalam bidang semiotika, foto merupakan kumpulan teks atau tanda. Salah satu landasan semiotika adalah memahami apa yang kita berikan pada “tanda-tanda” yang membentuk kebudayaan. Sederhananya, tanda adalah sesuatu (objek, bunyi, gambar) yang mewakili sesuatu yang lain. Menurut pemikiran Barthes, tanda tidak dapat berdiri sendiri melainkan merupakan bagian dari suatu sistem. Suatu sistem mempunyai makna-makna yang berbeda-beda yang saling berkaitan satu sama lain dan makna-makna tersebut terkandung dalam tanda-tanda. Barthes juga mengemukakan gagasan lain, yakni polisemi.

Foto dianggap sebagai bentuk bahasa tersendiri, dengan aturan, kosa kata visual, dan tata bahasa yang mungkin disadari atau tidak disadari oleh fotografer. Dalam konteks pencitraan dan semiotika, objek yang ditangkap dapat dibaca sebagai tanda yang menyampaikan pesan dan makna kepada pembaca. Di antara sekian banyak tokoh semiotika, Roland Barthes yang paling dikenal dalam wacana fotografi. Melalui tulisan-tulisan yang dihasilkannya, salah satunya adalah “The Photographic Message” yang membeberkan struktur dan makna pesan gambar.

Barthes mengklasifikasikan foto dengan analogi objek alam yang terekam pada lembaran fotografi. Foto seperti itu disebut pesan tanpa kode, tidak perlu ditafsirkan. Foto tumpukan batu mudah dipahami hanya sebagai batu, titik! Tidak perlu adanya penafsiran yang berbeda. Namun disisi lain, isi foto tersebut kemudian dimaknai sebagai tanda (ditandai) bagi pembaca sesuai dengan pengetahuan budayanya masing-masing, dibaca secara ideologis atau estetis. Artinya, gambar tersebut mengandung kode-kode yang bermakna. Dari situ Barthes mengklasifikasikan dua pesan dalam foto, yaitu pesan denotatif (literal) dan pesan konotatif: makna melekat atau pesan denotatif, yang selanjutnya ditafsirkan sesuai dengan batasan budaya pembacanya. Ada fotografer, ada foto, ada pembaca, dengan berjalannya waktu dan keadaan zaman, hubungan ketiga kode bentuk gambar itu. Kode-kode yang dihasilkan dari perjanjian budaya menjadi kontrak. Foto menjadi potongan melintang di mana kode-kode dirangkai untuk menciptakan pesan dan makna.

Terdapat dua pesan pada gambar yaitu pesan denotasi dan pesan konotasi. Pertama, pesan yang ingin disampaikan adalah pesan apa adanya. Misalnya saja foto seorang wanita dengan pose dua jari. Kemudian, pembaca membaca pesan denotasi dari contoh gambar tersebut sesuai dengan pemahaman dan pengetahuan budayanya. Di sana ia menerima makna atau pesan lain seperti perdamaian, kerendahan hati atau lainnya. Hampir setiap pose benda dan makhluk di dunia ini memiliki sejarah dan keterkaitannya. Narasi dan asosiasi sejarah mengubah pose dan objek menjadi foto konotatif.

Membaca foto sudah mempunyai pengetahuan budaya membaca dan mengartikan foto. Ini adalah tata bahasa sejarah yang berhubungan dengan postur. misalnya subjek buku dan posisi duduk orang yang membaca buku dapat dikaitkan dengan kecerdasan, literasi, dan implikasi lainnya. Tentu saja maknanya juga menjadi lebih konkrit jika kita melihat langsung pada contoh gambarnya, karena penempatan benda tersebut juga mempunyai pengaruh yang besar. Setiap benda mempunyai asosiasi gagasan yang berkaitan dengan hal-hal di luarnya. Dari situlah pesan konotatif muncul.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here