Sumber foto dari: Tribunnews.com
Sumber foto dari: Tribunnews.com

Ketika berbicara tentang Sumpah Pemuda, tidak mungkin mengabaikan salah satu hasil terbesarnya: lahirnya bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Di tengah keragaman budaya dan bahasa yang ada di Indonesia, Bahasa Indonesia menjadi pengikat yang menjaga keutuhan dan persatuan bangsa. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa perjalanan Bahasa Indonesia hingga menjadi bahasa persatuan tidaklah mudah. Perjuangan ini melibatkan banyak tokoh bangsa yang berdedikasi, dan salah satu dari mereka adalah Sanusi Pane. Meskipun kontribusinya besar, Sanusi Pane masih sering luput dari perhatian, bahkan belum diakui sebagai pahlawan nasional hingga kini.

Sanusi Pane adalah seorang sastrawan dan pujangga yang lahir di Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, pada 14 November 1905. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh pelopor yang mendorong lahirnya Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Tidak hanya dalam diskusi dan perdebatan dengan tokoh-tokoh muda lainnya, Sanusi juga menerapkan Bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-harinya, bahkan di dalam lingkungan keluarganya sendiri. Sikap ini menunjukkan betapa kuatnya keyakinan Sanusi Pane akan pentingnya bahasa persatuan bagi masa depan bangsa.

Karya-karya Sanusi Pane mencakup puisi dan drama, yang tidak hanya kaya akan nilai-nilai filosofis tetapi juga menggambarkan kejayaan masa lalu Indonesia, khususnya pada masa Hindu-Buddha. Kumpulan sajak pertamanya, “Pancaran Cinta,” terbit pada tahun 1926, diikuti oleh “Puspa Mega” pada tahun 1927. Drama-dramanya seperti “Airlangga” (1928), “Burung Garuda Terbang Sendiri” (1929), dan “Sandyakala ning Majapahit” (1933) menegaskan komitmennya untuk menggali dan menghidupkan kembali kejayaan masa lalu Indonesia.

Sanusi Pane dikenal sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah sastra Indonesia, khususnya pada masa sebelum Perang Dunia II. Ia tergabung dalam golongan Angkatan Pujangga Baru, yang merupakan salah satu periode penting dalam perkembangan sastra Indonesia. Sebagai seorang sastrawan, Sanusi menulis berbagai karya yang mencerminkan pemikirannya tentang sintesis antara nilai-nilai Timur dan Barat, persatuan antara jasmani dan rohani, serta integrasi dunia dan akhirat. Salah satu karya terkenalnya yang mencerminkan pemikiran ini adalah “Manusia Baru,” yang terbit pada tahun 1940.

Dalam dunia sastra, Sanusi Pane sering kali dianggap sebagai kebalikan dari Sutan Takdir Alisjahbana. Jika Sutan Takdir lebih condong pada pemikiran modern Barat, Sanusi justru menemukan inspirasi dari kejayaan masa lalu Indonesia. Filosofi hidup Sanusi berkembang menjadi sintesis antara Timur dan Barat, yang terwujud dalam persatuan jasmani dan rohani, dunia dan akhirat, serta idealisme dan materialisme. Karya-karyanya adalah cerminan dari filosofi ini, yang mengajak pembaca untuk merenungkan kembali nilai-nilai tradisional dalam konteks modern.

Meskipun peran Sanusi Pane sangat besar dalam memperjuangkan Bahasa Indonesia dan mengembangkan sastra Indonesia, ia memilih untuk hidup sederhana dan menghindari ketenaran. Bahkan, ia pernah menolak penghargaan Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Soekarno, dengan alasan bahwa bekerja demi bangsa dan negara tidak memerlukan balasan atau penghargaan. Pandangan ini mencerminkan kerendahan hati dan dedikasi Sanusi Pane terhadap perjuangan yang ia yakini.

Nasib Sanusi Pane memang berbeda dengan adiknya, Lafran Pane, yang lebih dikenal dan diakui secara luas. Meskipun Sanusi berperan penting dalam memperjuangkan Bahasa Indonesia, hingga kini ia belum dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Pengajuan gelar pahlawan nasional untuk Sanusi Pane baru dimulai pada tahun 2021 oleh Balai Bahasa Sumatera Utara. Sanusi Pane diusulkan sebagai pahlawan nasional karena perannya dalam melahirkan dan menghidupkan Bahasa Indonesia di tengah masyarakat. Bahasa Indonesia, yang kini menjadi pengikat di tengah kebinekaan Indonesia, tidak terlepas dari jasa-jasa Sanusi Pane.

Sanusi Pane adalah salah satu tokoh besar yang perannya sering kali terlupakan dalam sejarah Indonesia. Meskipun kontribusinya dalam melahirkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sangat besar, ia belum mendapatkan pengakuan yang sepantasnya. Namun, warisan yang ditinggalkan Sanusi Pane, baik dalam bentuk karya-karya sastra maupun pengabdiannya terhadap bahasa dan bangsa, akan terus hidup dan dikenang oleh generasi mendatang. Sebagai bangsa yang menghargai jasa pahlawannya, sudah selayaknya kita mengingat dan mengakui peran Sanusi Pane dalam sejarah Indonesia.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here