sapardi djoko damono

“Sapardi adalah cermin kesahajaan dalam banyak arti. Kesederhanaan itu bukan saja tampak dari tampilan dan lakunya, melainkan juga tergambar dari karya-karyanya.”

Kendatipun Sapardi adalah seorang maestro sastra (sulit diragukan) pada masa tuanya, sang “Penyair Bulan Juni” tetap tampil, berlaku, dan berkarya sepantasnya. Dalam arti, tampil minimalis, berlaku jujur, dan berkarya secara terus terang mengekspresikan perasaannya tanpa harus dilebih-lebihkan. Hal itu misal dapat kita temui saat ia tampil dalam acara diskusi menyoal sastra, atau dari kesaksian kolega dan muridnya, serta terutama dari karya-karyanya.

Ialah Sapardi Djoko Damono yang melegenda sebagai pujangga Indonesia. Selain diakui sebagai penyair, Sapardi yang kerap dipanggil SSD itu juga dikenali publik sebagai pengamat dan kritikus sastra, sekaligus pendidik di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Hebatnya, Ia tidak hanya berhasil menciptakan karya antik dan abadi, tetapi juga mujur melahirkan sastrawan-sastrawan mentereng. Sebut saja beberapa nama sastrawan seperti: Joko Pinurbo, Yanusa Nugroho, Reda Gaudiamo, Dee Lestari, dan lain-lain. Latar itulah yang membuat namanya dikenang sebagai salah satu maestro sastra di tanah air.

Sumber foto: diantarakata

Kendati sudah berpulang pada 2020 lalu, karya-karyanya tetap menghiasi hari para penikmat sastra dan puisi tanah air. Pria kelahiran Solo, Jawa Tengah, 20 Maret 1940 ini menyejarah melalui sajak-sajak yang dijaitnya dari kata-kata dengan pintalan rasa dan jarum logika sehingga mewujud suatu karya yang kuat lagi menyentuh. Sebut saja beberapa misal dari banyak puisinya: Hujan Bulan Juni, Yang Fana adalah Waktu, Aku Ingin, Pada dan Suatu Hari Nanti. Meski jasadnya sudah tiada, namun jiwanya mengembara menembus hati tiap pembaca.

Kiprahnya laik diperhitungkan telah memberi warna di dunia sastra dan puisi khususnya. Warna yang sederhana lagi menawan. Jamak pengamat sastra menyebut Sapardi sebagai pujangga yang menggunakan kata-kata sederhana dan mudah dipahami, namun kaya makna dan tidak kehilangan estetika sastrawinya. “Tidak ada tulisan yang lebih logis dari puisi. Kalau dalam puisi tidak menghubungkan kata dengan kata lain dan tanpa logika maka itu bukan puisi. Meskipun puisi tidak perlu dipahami, tetapi dihayati, dalam proses penghayatan itulah kita memerlukan logika,” kata Sapardi Djoko Damono dalam sebuah diskusi Mocosik Festival pada 2018 silam.

Sebagai bukti, mari sejenak resapi untaian sajak Sapardi yang bertajuk Aku Ingin:

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Titik Temu

Nirwan Dewanto, mengacu Borges, mengatakan bahwa karya seorang sastrawan “mengubah konsepsi kita tentang masa lalu sekaligus masa depan.” Lanjut Nirwan, kesederhanaan pada puisi Sapardi adalah suatu capaian estetik yang tidak diperoleh dengan begitu saja. Sapardi mempunyai gaya tersendiri dalam menaklukkan kata, bunyi, dan kontrol terhadap yang berlebih.

Dalam perjalanan perpuisian di Indonesia terdapat pertentangan. Benang merah dari perbedaan itu adalah: apakah sastra untuk sastra ataukah sastra untuk politik? Puncaknya terjadi pada masa Orde baru, kala sastrawan terbelah menjadi dua kubu yang berseteru, yaitu kubu Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan Manikebu (Manifest Kebudayaan). Manikebu adalah kelompok sastrawan berhaluan sastra murni yang tidak ingin jika sastra dijadikan alat untuk kepentingan politik, sedangkan Lekra diisi oleh para sastrawan yang menilai sastra sebagai ekspresi manusia harus membebaskan manusia melalui jalan politik. Pertentangan itu memuncak pada tahun 1960-an, yang secara formal akhirnya pemerintah membuabarkan Lekra karena sejalur dengan gerakan PKI. Kala itu, punggawa Lekra, Pramoedya Ananta Toer dkk diasingkan. Kendati secara organisasi sudah bubar, namun pertentangan dua aliran sastra itu masih menggelayuti. Lebih-lebih, friksi itu (boleh jadi) masih ditemui hingga kini.

Lalu, mengapa tiada henti bentrokan terjadi? Apakah sebenarnya sastra itu? Kiranya perlu kita pahami lebih dulu untuk membaca benang merah kegunaannya. Menurut Sapardi dalam sebuah diskusi, ia menekankan bahwa sastra adalah ekspresi hati yang diuji logika. Karena itu, setiap objek dapat sahaja diutarakan. Jelasnya sastra sebagai medium, lepas dari dipakai untuk bergerak ke kiri atau ke kanan, ke utara atau ke selatan, dan ke arah serta ruang tuju lain.

Puisi Indonesia memang pernah bergerak ke kiri dan ke kanan. Sedang puisi Sapardi adalah jalan tengah, titik moderat antara keduanya. Tanpa mendikotomi keduanya dengan tegas dan keras, Sapardi menjernihkan konsep dasar bahasa lalu berkarya sesuai konteksnya. Apakah itu berbicara soal cinta dan rembulan sebagaimana kritik W.S. Rendra dalam sajaknya terhadap pujangga yang seakan menutup mata dari realitas ketidakadilan yang sedang tejadi. Pula menyoal politik dan perjuangan keadilan dapat disentuhnya.

Sapardi sendiri tidak hanya menulis soal cinta (romantisme), ia juga membuat karya sastra tentang politik (perjuangan tentang keadilan, keberpihakan pada yang lemah). Dongeng Marsinah misalnya, diangkat dari kisah seorang buruh pabrik di Sidoarjo, Jawa Timur, yang bersuara lantang meminta perusahaan tempatnya bekerja untuk menaikkan upah buruh sesuai peraturan yang berlaku. Sayang, niat baik itu tak manjur. Malahan, nyawa Marsinah direnggut setelah melakukan unjuk rasa bersama teman-temannya. Sapardi mengabadikan Marsinah dalam puisi Dongeng Marsinah yang ditulis pada 1993−1996:

/1/

Marsinah buruh pabrik arloji,
Mengurus presisi:
Merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;
Waktu memang tak pernah kompromi,
Ia sangat cermat dan pasti.
Marsinah itu arloji sejati,
Tak lelah berdetak
Memintal kefanaan

Yang abadi:
“kami ini tidak banyak kehendak,
Sekedar hidup layak,
Sebutir nasi.

/2/

Marsinah, kita tahu, tak bersenjata,
Ia hanya suka merebus kata
Sampai mendidih,
Lalu meluap ke mana-mana.

“Ia suka berpikir,” kata Siapa,
“itu sangat berbahaya.”

Marsinah tak ingin menyulut api,
ia hanya memutar jarum arloji
agar sesuai dengan matahari.

“Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa,
“dan harus dikembalikan ke asalnya, debu.”

/3/

Di hari baik bulan baik,
Marsinah dijemput di rumah tumpangan
untuk suatu perhelatan.
Ia diantar ke rumah Siapa,
Ia disekap di ruang pengap,
Ia diikat ke kursi;
Mereka kira waktu bisa disumpal
Agar lengkingan detiknya
Tidak kedengaran lagi.
Ia tidak diberi air,
Ia tidak diberi nasi;
Detik pun gerah
Berloncatan ke sana ke mari.

Dalam perhelatan itu,
Kepalanya ditetak,
Selankangannya diacak-acak,
Dan tubuhnya dibirulebamkan
Dengan besi batangan.
Detik pun tergeletak
Marsinah pun abadi.

/4/

Di hari baik bulan baik,
tangis tak pantas.
Angin dan debu jalan,
klakson dan asap knalpot,
mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk.
Semak-semak yang tak terurus
dan tak pernah ambil peduli,
meregang waktu bersaksi:

Marsinah diseret
dan dicampakkan
sempurna, sendiri.

Pangeran, apakah sebenarnya
inti kekejaman? Apakah sebenarnya
sumber keserakahan? Apakah sebenarnya
azas kekuasaan? Dan apakah sebenarnya
hakikat kemanusiaan, Pangeran?

Apakah ini? Apakah itu?
Duh Gusti, apakah pula
makna pertanyaan?

/5/
“Saya ini Marsinah,
buruh pabrik arloji.
Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir
ke dunia lagi; jangan saya dikirim
ke neraka itu lagi.”

(Malaikat tak suka banyak berkata,
ia sudah paham maksudnya.)

“apa sebaiknya menggelinding saja
bagai bola sodok,
bagai roda pedati?”

(Malaikat tak suka banyak berkata,
ia biarkan gerbang terbuka.)

“Saya ini Marsinah, saya tak mengenal
wanita berotot,
yang mengepalkan tangan,
yang tampangnya garang
di poster-poster itu;
saya tidak pernah jadi perhatian
dalam upacara, dan tidak tahu
harga sebuah lencana.”

(Malaikat tak suka banyak berkata,
tapi lihat, ia seperti terluka.)

/6/
Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini;
dirabanya denyut nadi kita,
dan diingatkannya
agar belajar memahami
hakikat presisi.

Kita tatap wajahnya
setiap hari pergi dan pulang kerja,
kita rasakan detak-detiknya
di setiap getaran kata.

Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini.

Tampak jelas Sapardi memahami betul apa itu bahasa, kegunaan, dan fungsinya, sehingga ia mampu berbahasa tanpa terkecoh. Sapardi berpuisi sesuai kondisi yang dialaminya. Ia tidak turut dalam dikotomi sastra, baginya keduanya bisa sejalan bergantung kebutuhan dan keresahan sang penyair.

Daripada terpental-pental terus-menerus dengan dua hal karena memang kita membedakannya sedari awal, mending merefleksikan kembali dan melihat secara jernih makna bahasa. Karena itu, kata Nirwan Dewanto, Sapardi sesungguhnya adalah puisi yang wajar sekaligus sebagai puisi yang harus dalam khazanah perpuisian Indonesia.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here