Multatuli, nama pena Edward Dowes Dekker, berarti “Aku telah sangat menderita.” Nama itu adalah pengejawantahan perjalanan hidupnya: Dibuang karena benar.
Tulisan ini tidak bermaksud menyanjung karya Multatuli secara berlebih tanpa sebab, tetapi berusaha menyatakan sejarah secara adil berdasarkan nilai. Begitulah sekiranya kita mempelajari sejarah yang tidak tunggal versi dan hampir selalu dibentuk sang pemenang pada zamannya.
Mengapa berorientasi nilai? Karena nilai dapat dipakai jadi “alat” memetik pembelajaran sejarah agar kita tidak terjebak dalam perdebatan kosong yang melelahkan. Karena itu, haruslah kita lepas terlebih dahulu identitas suku, agama, ras, dan golongan dalam membaca sejarah.
Berbicara tentang Dowes Dekker, ia adalah seorang Belanda yang pernah menjabat sebagai asisten kerasidenan di Lebak, Banten. Suatu ketika, Dowes Dekker melihat Bupati Lebak, R.A. Karta Natanagara, hendak menyambut Bupati Kabupaten Priangan yang datang ke rumahnya. Sang Bupati lalu mempekerjakan masyarakat untuk membersihkan pekarangan dan memasak hidangan jamuan makan, serta mengambil kerbau penduduk tanpa dibayar. Menyaksikan kejadian itu, Dowes Dekker tergerak nuraninya, ia lantas mengirimkan surat kepada atasannya, Residen Brest van Kempen, yang isinya menyatakan bahwa Bupati Karta Natanagara telah menyalahgunakan kekuasaan.
Hasilnya, laporan Dekker tidak digubris oleh atasannya. Alih-alih ditindaklanjuti, justru Dowes Dekker yang dikecam. Keberaniannya menentang primordialisme dan ketidakadilan pemerintah kolonial Belanda berujung pendepakan: Dowes Dekker dipindahtugaskan dari kerasidenan Lebak ke kerasidenan Ngawi, Jawa Timur.
Getir yang dialami Dowes Dekker menjadi titik awal lahirnya mahakarya Max Havelaar, yang oleh Pramoedya Ananta Toer disebut “Buku yang Membunuh Kolonialisme.” Benarkah karya Multatuli sehebat itu? Jawaban atas pertanyaan ini dapat diuji dengan membaca konteks peristiwa sejarah: asal-usul lahirnya karya Max Havelaar dan konteks ucapan Pram.
Kebenaran dan Akal Sehat
Pertama, asal usul lahirnya karya Max Havelaar. Pascaditolak dan dipindahtugaskan, rasa malu dan kegamangan menghampiri Dowes Dekker. Ia lantas memutuskan mundur dari jabatannya dan pulang ke negeri Belanda. Ia tak habis pikir, tindakan benar yang diperjuangkannya malah membuatnya terasing. Namun, perjuangannya menyuarakan penderitaan masyarakat pribumi belum tamat. Di Eropa, tepatnya di Brussel, Belgia, Dowes Dekker dengan nama samaran Multatuli menuliskan pengalamannya selama di Hindia-Belanda (sekarang Indonesia), terutama soal apa yang telah disaksikannya di Lebak, Banten. Kondisi memprihatinkan masyarakat pribumi karena praktik “Tanam Paksa” yang diberlakukan Kolonial Belanda dan watak korup penguasa pribumi dilukiskannya secara terang. Bagi Dowes Dekker, “Kebenaran dan akal sehat” harus diikhtiarkan.
Buku Max Havelaar mulai ditulis pada 1856 M, berselang empat tahun kemudian pada 1960 M, buku tersebut diterbitkan untuk pertama kalinya di Eropa. Bersinambung pada 1972 M (112 tahun setelah terbit), HB Jassin menerjemahkan buku tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Karya Multatuli begitu diminati khalayak pembaca karena disuguhkan dengan gaya bercerita yang apik lagi berani serta mendedah isu yang populer pada masa itu.
Pro dan kontra buku Max Havelaar ramai dibahas hingga saat ini. Beberapa pihak mengapresiasi karena dinilai lantang menyuarakan kebenaran yang berasal dari nurani, pula mewakili keresahan pribumi. Namun demikian, tidak sedikit jua yang meragukan kebenarannya dan menuduh Multatuli menulis hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Kedua pendapat itu sah-sah saja. Begitulah dialektika bekerja hingga muncul suatu kemurnian sejarah. Di samping itu, Max Havelaar dikenal sebagai buku fiksi yang kental dengan nuansa kenyataan penindasan sistem pemerintahan Kolonial Belanda dan Primordialisme di Nusantara, atau dapat pula disebut gugatan yang dikemas ke dalam buku fiksi (roman). Ahh.. apapun itu jenisnya, yang terpenting adalah sumbangsih dari karyanya, bukan? Sisanya, kita bisa menilai sendiri dengan waras.
Efek Domino
Kedua, ngomong-ngomong tentang sumbangsih, saya sepakat dengan pendapat Pram bahwa “Max Havelaar adalah buku yang membunuh Kolonialisme.” Kendati demikian, saya menilai dampaknya lebih tepat disebut secara tidak langsung (efek domino) atau tidak menjadi satu-satunya faktor yang membentuk sejarah. Sebab, pada dasarnya, cara kerja literasi tidak praktis, tetapi melalui proses penyadaran. Tulisan menyentuh pembaca dan pembacalah yang kemudian bergerak menjadi aktor perubahan.
Begitu halnya dengan buku Max Havelaar. Pascaterbit pada tahun 1960, ia membutuhkan waktu yang lama hingga gaungnya terdengar ke seantero negeri Belanda dan Eropa. Kala seruan Dowes Dekker sampai ke telinga partai yang gencar memperjuangkan hak asasi manusia seperti Partai Sosialis dan Partai Liberal di Belanda, teriakannya diteruskan ke lingkar kekuasaan pembuat kebijakan (Belanda). Pada titik itu, pena Multatuli berhasil menyentuh hati Pemerintah Belanda.
Diakui atau tidak, efek domino dari tulisan Dowes Dekker berperan signifikan melahirkan kebijakan Politik Etis di Hindia Belanda, tepatnya pada 1901 (241 tahun pascakarya karya Multatuli diterbitkan). Politik Etis atau kebijakan Balas Budi adalah kebijakan Kolonial Belanda yang bertujuan memperbaiki tanah jajahannya. Politik Etis menyasar tiga sektor strategis, yakni edukasi, irigasi, dan transmigrasi. Ketiga sektor tersebut penting, tetapi sektor edukasi bisa dikatakan paling strategis membawa pengaruh besar dalam pemajuan pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Bagaimana tidak, akses pendidikan yang dibuka bagi pribumi (meski masih terbatas untuk priyayi) menjadi awal lahirnya tokoh bangsa pemimpin pergerakan kemerdekaan, di antaranya, R.A Kartini, Tan Malaka, Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Ki Hadjar Dewantara, Soetomo, dan kawan-kawan sezamannya. Tokoh-tokoh tersebut punya peranan besar memupuk kesadaran rakyat Indonesia dan menentang penjajahan.
Para pejuang kemerdekaan itu bekerja dengan cara yang berbeda namun punya satu tujuan: R.A. Kartini misalnya giat mengajar para perempuan yang tidak memiliki akses pendidikan seperti dirinya; Tan Malaka dan Soekarno aktif merajut gerakan rakyat dan menyampaikan propaganda pembangkit semangat melawan penjajah; Hatta dan Sjahrir berkesempatan menimba ilmu di Belanda, mereka terlibat menghimpun kekuatan dari luar negeri dan menempuh jalan diplomasi melawan penjajahan; Ki Hadjar Dewantara merupakan pendiri Taman Siswa yang mengajarkan tentang kesetaraan, ia juga kelak menjadi menteri pendidikan pertama Indonesia dan dianugerahi sebagai Bapak pendidikan Indonesia; Dr. Soetomo adalah pendiri organisasi pergerakan modern pertama yang dinamainya Budi Utomo. Dan ada banyak tokoh lainnya yang punya peran tak kalah penting.
Jika ditelaah dengan cermat, dampak dari buku Max Havelaar semacam bola salju yang terus membesar hingga pecah saat kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian, pembacaan kronologis dan kontekstual atas ucapan Pram di atas tampak jelas dan logis, bahwa “Max Havelaar adalah buku yang membunuh Kolonialisme.” Sekali lagi, tentu bukan merupakan satu-satunya faktor yang memengaruhi, melainkan efek domino. Seperti kemerdekaan Indonesia yang tercapai sebab beragam faktor, ia memiliki kronologi panjang.
Kemerdekaan tidak serta-merta diraih setelah mengangkat bambu runcing belaka. Memang betul, bambu runcing adalah simbol keberanian rakyat melawan penjajah, tetapi apakah cukup hanya dengan bambu runcing untuk mengalahkan koloni yang mempunyai senjata senapan dan bom? Agaknya kurang logis. Ada faktor lainnya: Kartini menyemai literasi, Tan Malaka bergerilya dan menggagas nama Republik, Soekarno berorasi memecut kesadaran dan semangat, Hatta dan Sjahrir berdiplomasi, dan aktor penting lainnya. Oleh karena itu, bambu runcing hanya satu bagian perjuangan yang tampak di lapangan, di baliknya dan tidak kalah penting adalah “nalar runcing” para pemimpin pergerakan.
Begitulah kisah nurani pena Multatuli yang menuntun seorang Dowes Dekker menegakkan prinsip kemanusiaan‒terlepas dari identitasnya sebagai seorang Belanda yang kentara kepentingan politik. Kisah Dowes Dekker pantas dikenang dan dipelajari. Kendati Dowes Dekker telah tiada, karya monumental Max Havelaar tetap hidup menggerakkan pembacanya untuk berpihak pada “Kebenaran dan akal sehat.”