Laki-Laki dengan Mimpi yang Terbangun
mata angin mencari timurnya,
sebaimana kau yang kembali. dari jauh
ke pantaimu. kulitmu sengat mercu yang berkarat.
ibarat kapal yang singgah-lalu, dayung yang patah.
menyerah pada ayunan terakhir. pikirmu. gegabah.
kilapan mata itu saru di antara debur ombak
dan kenangan. di mana mimpi di tengah malam manja?
apakah muncul dari tepi yang ditarik pasang.
mimpi itu belum hancur. amis lautmu kian menguap
ke atap tambak udang, dan karang. juga garam.
tersabur pada karang, terbenam pada dermaga,
tempat kau berbaur. sebelum mimpi tertidur.
Sepanjang Jalan Abu Qosim al-Mahdi
wanita hijau ucap seorang sastrawan
sebuah surat cinta yang menawan
dan sederhana, kayu, juga abu
georgia, boston, dan new york. aku tidak begitu.
Sejarah cinta, abdul wahab, dan wanita manis di pagi hari
bus kota, Diana anak petani, bisa dipertimbangkan sesekali.
tidak. bukan begitu. karena kau sepanjang jalan Abu Qosim al-Mahdi
dengan stasiun yang ditunggu-tunggu, akar yang menjalar ke mana-mana
ke dadaku, ke kelopak mataku. dan menahannya. sehingga kutiup sendiri
secara perlahan. secara panjang. sepanjang jalan Abu Qosim al-Mahdi.
dari jauh, dari sebuah taman kosong, dari meja yang lengang
jendela yang tak berkaca, kau di sana. seandainya suaramu tak tertahan udara
seperti kisah-kisah yang tak terbaca. karena pagi yang cekatan. maka halaman-halaman ini
akan panjang. sepanjang jalan Abu Qosim al-Mahdi.
dan akhirnya, mungkin aku memilih cara-cara pendahulu.
Perihal Waktu Paling Tak Nyaman
sumpah. dengan angin yang masuk ke kamar. menyelinap bagai
rasa cinta yang tak terbendung. tubuhku tak kuat menahan getir.
pada malam, dan keajaiban yang tak kunjung datang.
mudah betul seorang kiayi menyalakan pijar,
setelah doa yang tak pernah datang. hujan ini menyentuh tanah,
aku menggigil menjaga air matamu yang santun. tubuhmu bagai liuk pasir
mengundang nelayan menambatkan perahu.
apa benar kata kawan perihal waktu paling tak nyaman;
“mari bertemu ketika siang dan malam tak berdampingan”.