“Aku pergi dulu, mungkin hingga sore nanti aku baru akan kembali.” Perempuan yang tengah bersiap membuka pintu itu berucap dengan nada yang selalu sama setiap harinya. Selalu datar. Kegembiraan seolah telah menguap dalam hidupnya. “Telah kusiapkan sarapan untukmu di atas meja, juga untuk makan siangmu. Dan untuk makan malam nanti akan kubuatkan sepulang aku menyelesaikan urusan kita ini”.
“Apakah kau tak ingin menemaniku sarapan? Hanya untuk kali ini saja,” Dia terhenyak mendengar pintaku yang mendadak. Selama tiga puluh hari rumah tangga kami berjalan, kami memang belum pernah satu kali pun bersantap bersama, terlebih lagi tidur bersama sebagaimana rumah tangga seharusnya.
Ada perubahan pada wajah yang mulai dibarisi garis-garis itu. Seperti mencoba menahan sebuah keinginan. Dengan tekad yang dikuatkan dia berbalik memunggungiku. “Aku tak bisa,” dia berucap cepat, setengah berupaya menutupi getir suaranya. “Aku harus segera pergi untuk menyelesaikan semuanya”. Dibukanya pintu. Lirih suara pamitnya terdengar pelan, menyusul suara pintu ditutup dengan enggan. Kulihat dari kaca jendela depan punggungnya menjauh dan menghilang.
Wanita itu, tiga puluh hari yang lalu, ketika usianya mendekati akhir empat puluh sembilan tahun, mendatangi gubukku yang sudah reot ketika malam menjelang. Aku cukup terkejut ketika itu. Karena meskipun wajah sendu namun agak sedikit angkuh itu sudah tidak asing bagiku, tetapi kami tidak saling mengenal sama sekali.
Dengan sedikit geragapan kupersilahkan dia masuk. Kami berdua duduk di lantai beralaskan tikar pandan. Bahkan tak terpikir untuk menawarkan segelas minuman padanya, karena aku belum sepenuhnya terbebas dari keterkejutan. Dan dia sendiri seperti tak mengharapkannya. Dia seperti ingin segera berbicara pada pokok permasalahan dan kemudian pergi. “Kita sudah sering bertemu sebelum ini”, ucapnya tanpa basa-basi. “Kau sudah tahu siapa aku, dan aku pun tahu siapa adanya kau ini.” Aku semakin diam dalam keterkejutanku. Caranya berbicara seperti sudah lama tidak berbicara dengan orang lain.
Harus ku akui ucapannya memang benar. Tak ada satu pun orang di sekitar sini yang tak mengenal siapa dia adanya. Termasuk aku. Dia adalah wanita kaya yang hidup kesepian. Dia menempati rumah yang begitu besar peninggalan orang tuanya. Dia menjadi pewaris kekayaan orang tuanya yang melimpah ruah, entah itu perkebunan dan juga rumah besar yang kini ditempatinya, karena dia adalah anak tunggal.
Tetapi, yang menjadi pertanyaan, bagaimana dia tahu siapa aku? Aku hanyalah petani kecil yang menggarap sepetak kecil sawah peninggalan ayahku. Kami memang sering berpapasan, tak pernah saling sapa.
Suasana menjadi begitu kaku, sehingga suara-suara binatang malam begitu teramat jelas terdengar. “Aku ingin menawarkan sesuatu padamu,” Mulai ada perubahan pada wajah dan nada dari kalimat yang diucapkan kali ini. Suara yang semula terkesan angkuh datar mulai sedikit bergetar. “Oh ya, apakah itu?” aku bertanya, bahkan suaraku terdengar dan terasa asing oleh telingaku sendiri.
Dalam hati aku mencoba menebak-nebak apa kiranya yang akan ia tawarkan padaku. Pekerjaankah? “Jika kau mau menjadi suamiku,” dia mulai kembali berbicara. Kepalanya coba ia tegakkan ketika mengucapkan ini, tetapi gagal. Kembali ia tertunduk dalam. “Akan kuberikankan sebagian besar, tidak, bukan sebagian,” ia meralat. “Tetapi seluruh kekayaan yang aku miliki untukmu.” Kini sosok angkuh di hadapanku telah hilang sama sekali, digantikan sosok yang tengah terpuruk begitu dalam.
Tak ada lagi ruang tersisa untuk keterkejutan yang datang susul menyusul ini. Seolah semua binatang malam turut terperanjat dan menahan nafas mereka, sehingga tak lagi terdengar suara-suara yang tadi saling tingkah. Suasana jadi begitu tidak nyaman. Tetapi kucoba untuk menguasai diri. Dan, dalam samarnya cahaya ruang, dapat kurasakan wajahnya menguarkan hawa panas memerah padam. Kepalanya semakin dalam tertunduk, suaranya lenyap ditelan senyap.
“Mengapa?”, aku mencoba untuk angkat bicara, tapi tak sanggup kulanjutkan. “Mengapa begitu tiba-tiba? Ini terlalu mengejutkanku.” Akhirnya aku berhasil mengungkapkan apa yang ada di hatiku. “Karena aku tak tahu harus bagaimana lagi!” dia berucap setengah histeris.
Kendali dirinya yang dipegang kuat sedikit terlepas. “Kalian, para lelaki, selalu mengejar wajah-wajah cantik dengan usia muda sebagai pilihan! Lihat aku! di usiaku yang hampir separuh abad, aku masih sendiri, karena sikap orang tuaku yang semasa hidup mereka terlalu melindungiku. Mereka tak membiarkanku memilih takdirku sendiri!” Seluruh unek-uneknya seakan tak bisa ditahan lagi. Berhamburan memenuhi seisi ruangan ini. Tak lama lelehan airmata, yang sedari tadi coba ia tahan, membasahi sudut matanya. Kubiarkan ia bertarung dengan perasaannya sendiri.
“Bagaimana?” hanya 30 hari saja, setelah itu kau bisa ceraikan aku dan mengambil hak yang kujanjikan,” Ia bangkit berdiri setelah mengatakan itu. Mengabaikan perasaanku yang semakin serba salah akan kalimatnya yang terakhir tadi. “kau tak perlu menjawabnya sekarang.” ia kembali melanjutkan.
Caranya berbicara telah kembali seperti semula. Bernada angkuh dan sedikit menyebalkan. “Aku akan meminta jawaban darimu jika kita bertemu lagi, kapan pun itu.” Ia melangkah menuju pintu keluar yang sejak kedatangannya kubiarkan terbuka menganga. Mengucap pamit tanpa melihat wajahku, dan pergi membiarkan aku sendiri yang diserang tanya, mengapa dia menawarkan sebuah pernikahan yang hanya sesaat saja? Tiga puluh hari.
Setelah kepergiannya, aku tak dapat tidur. Aku baru bisa memejamkan mataku setelah malam hampir mendekati pagi.
Dalam pikiranku saat itu adalah, inilah saatnya aku memutus mata rantai kemiskinan yang diwariskan oleh keluargaku. Karena hidup dalam kubangan kemiskinan itu tidak menyenangkan, dan aku benci menjadi orang miskin.
***
Perjanjian itu berakhir hari ini. Tetapi perasaanku selama tiga puluh hari ini terhadapnya berubah. Aku tak lagi peduli dengan kesepakatan kami sebelum ini, sepasang matanya yang selama ini terlihat angkuh telah berubah menjadi teduh. Dan, perasaannya yang kini terlihat rapuh telah membuatku terenyuh.
“Kau telah menepati perjanjian kita, maka aku pun akan menepati janjiku,” bibirnya berucap ketika ia telah kembali pulang di saat hari mulai menarik selimutnya dengan perlahan. “Aku tak lagi membutuhkan semua kekayaan ini, ambillah semua!” Tangannya yang masih menyimpan sisa-sisa kelembutan di masa lalu menyodorkan beberapa lembar kertas surat berharga yang tak ingin lagi dia miliki. Dia melanjutkan dengan nada yang sama seperti pertama kali datang padaku. “Aku hanya ingin ketika ajal datang padaku, aku dikenal dengan status pernah menikah. Hanya itu.” Tangannya mengulur padaku.
Kuraih tangan itu. Kurengkuh dengan seluruh kehangatan yang kupunya. Kubiarkan surat-surat berharga yang ia berikan padaku jatuh berserakan di lantai. Kurasakan tangannya bergetar. Aku sudah tak ingat, seberapa dingin tangan ini setelah pesta pernikahan kami dulu.
“Tidak, selama tiga puluh hari ini kau telah menjadi istriku,” mulutku berucap dalam dengan kombinasi lembut dan jelas. ”Begitu pula untuk seterusnya, kau akan tetap menjadi istriku,” Aku melanjutkan. “Lagi pula, kau sudah berjanji untuk membuatkan makan malam untukku. Dan kali ini, aku ingin kita makan bersama.”
Kulihat sepasang mata teduhnya melirik langit senja melalui jendela. Sepasang mata yang indah di rumah ini.