sepotong rujak
pinterest.com

Sore itu perempuan yang biasa lewat kamp Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) lewat dengan membawa dagangannya yang telah habis. Perempuan itu baru saja pulang dari pasar seperti biasa.

Dia adalah penjual rujak yang memang telah cukup terkenal di Pasar Bondowoso dengan bumbunya yang sangat pedas dan nikmat. Hampir semua orang tergoda dengan bumbu buatannya, terutama seorang tentara bernama Pratman.

Keduanya bertemu pertama kali ketika suatu sore ada sekelompok pengendara motor yang berusaha menjambret tas andong milik si perempuan. Saat itu, Pratman bermain sepak bola di sebuah tanah lapang yang cukup luas tak jauh dari kamp. Sejak perempuan itu lewat, Pratman tidak fokus bermain sepak bola. Perhatiannya tersedot habis pada si perempuan. Itulah sebabnya gawangnya lebih sering kebobolan dan membuat teman satu timnya mengeluh.

Pengamatan Pratman nampaknya membuahkan hasil. Dari kejauhan nampak dua orang laki-laki mengendari motor yang selalu memperhatikan Si Perempuan yang sore itu seperti biasa berjalan sendirian di atas trotoar. Insting pahlawannya mengatakan bahwa dua orang itu nampaknya ingin mencelakai si perempuan.

- Poster Iklan -

Tanpa pikir panjang, Pratman langsung berlari menuju si perempuan ketika motor mereka hendak menepi, dan tanpa babibu Pratman langsung menghantam rahang salah satu pengendara motor tersebut dengan ganas.

Melihat temannya yang hampir pingsan karena dihajar oleh seorang tentara yang kekar, teman si rampok langsung membopong temannya dan berusaha melarikan diri. Nampaknya dia paham bahwa jika dia berusaha melawan, nampaknya nasibnya akan sama seperti temannya yang hampir pingsan tersebut.

“Kau tak apa?” tanya Pratman pada si Perempuan yang masih kaget dengan kejadian tadi.

Perempuan itu melihat Pratman dengan tatapan penuh terkejut dan masih syok. Dari pada memikirkan nasib para begal tadi, Si Perempuan nampaknya memperhatikan lengan Pratman yang kekar dan badannya yang basah karena keringat.

Bahkan dia tidak sempat mengeluarkan sepatah kata pun di depan Pratman yang saat itu masih ingin memastikan bahwa si perempuan baik-baik saja.

“Halo… Nona.…” Pratman masih memandangi perempuan itu dari dekat. Dia berusaha menyembunyikan kekagumannya  pada kecantikan si gadis yang telah dia amati sejak beberapa hari yang lalu.

“Ekhm…” Perempuan itu nampaknya pura-pura membenarkan pita suaranya yang sedikit serak, “Ya, saya tidak apa-apa Tuan..” imbuh Si Perempuan sambil berusaha mengalihkan pandangannya dari Pratman yang berdiri begitu menawan di hadapannya.

Pratman masih berusaha mencari jawaban yang sebenarnya. Sebab nampaknya Si Perempuan bertingkah aneh daripada biasanya. Seperti seseorang yang berpura-pura baik-baik saja.

“Kau yakin?”
“Sangat yakin” jawab Si Perempuan sambil tidak melihat mata Pratman.

“Baiklah.…” Pratman langsung kembali bergabung dengan teman-temannya yang sejak tadi menyoraki Pratman untuk mengajak gadis itu berkenalan.

Sebenarnya tentara itu sangat ingin berkenalan dengan si Perempuan. Namun, nampaknya si lawan bicara tidak ingin digoda lebih lanjut oleh kawan-kawan Pratman yang sejak tadi memang membuatnya sedikit risih. Sehingga niatan Pratman untuk berkenalan dengan Si Perempuan, ditunda dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Suatu saat aku akan berkenalan denganmu! Lihat saja!

***

Beberapa hari setelahnya, Indonesia kembali mengadakan pemilu yang tentu saja partai berwarna kuning yang menang. Itu adalah kemenangan presiden Soeharto yang kesekian dan menambah masa periode jabatan Si “Raja Jawa” tersebut.

Semakin tahun peraturan tambah aneh dan mencekik. Beberapa orang merasa peraturan demi peraturan baru hadir, hanya agar membuat presiden nyaman berada di kursi kekuasaannya. Bahkan beberapa ABRI seperti Pratman merasa hal ini adalah sebuah tindakan yang aneh.

“Nampaknya hal ini harus segera disudahi” ujar Pratman pada ketiga kawannya yang malam itu mendapat waktu jaga yang sama seperti dirinya.

Adalah Lucas dan Haris yang telah berteman dengan Pratman dalam waktu yang cukup lama. Ketiganya bertemu ketika masih dalam akademi militer dan kebetulan berada dalam kesatuan tim yang sama.

Ketiganya telah memahami sifat satu sama lain, terutama mengenai sikap politik Pratman yang cukup ekstrem menentang keseragaman yang dibuat Orde Baru.

“Saya paham keresahanmu” Jawab Lucas sambil memperhatikan sekitar wilayah kamp, “Namun jangan sekali-kali kau bertindak gegabah Man, bisa-bisa kau dibuang dari ABRI.”

“Betul apa yang dikatakan Lucas, kita harus hati-hati dalam melangkah. Jika tidak, bisa-bisa jatuh ke jurang” balas Haris berusaha menerangkan pada Pratman untuk lebih berhati-hati dalam bertindak.

“Aku paham, namun tidak kah aneh? Jika dia menjabat presiden lebih dari empat kali dan tidak ada yang protes?”

“Hei! Jaga mulut kau” ujar Lucas sambil menodongkan muncung pistolnya pada Pratman, sambil memberikan isyarat menggunakan matanya bahwa mereka sedang diawasi oleh beberapa orang dari jauh.

“Saya tau perhatianmu pada keadilan sangatlah tinggi…” Jawab Heri dengan nada suara yang sangat pelan, “Namun, hati-hati jika kau ingin berbicara serampangan.”

Pratman menghela nafas panjang. Dia kembali memperhatikan daerah sekitar yang saat itu gelap gulita. Meski ada beberapa tempat yang telah mendapat penerangan. Namun, nampaknya masih ada beberapa sudut yang masih saja tidak mendapat lampu yang memadai.

Sehingga kekurangan itu dimanfaatkan oleh pendukung Presiden Soeharto untuk mengamati lawan politiknya secara diam-diam. Bahkan, baru-baru ini berhembus kabar bahwa Presiden Soeharto menggunakan Petrus (Penembak Misterius) untuk menghilangkan lawan politiknya secara diam-diam.

Ketiganya membisu dan berusaha tidak terjadi apa-apa. Mereka berusaha menetralkan suasana dengan memperhatikan seluruh wilayah kamp selayaknya penjaga malam pada umumnya melalui pos jaga yang tidak seberapa lebar tersebut.

“Intinya, di pemilu berikutnya aku enggan memberikan suaraku pada Gol….”

Duar! Dor! Dor!

Terdengar suara tembakan yang cukup kencang dan langsung membuat Pratman berhenti bicara seketika. Ketiganya saling pandang dan langsung bergegas berlari menuju suara tembakan yang diperkirakan berjarak sekitar 200 hingga 400 meter dari tempat mereka berjaga. Ketiganya tidak membutuhkan waktu lama untuk menemukan seorang mayat yang terbujur kaku dengan masih menggunakan seragam lengkap.

Meski ketiganya ABRI yang berpengalaman, namun nampaknya kejadian semacam ini adalah salah satu malapetaka yang sanggup mengguncang hati nurani ketiganya.

Tidak ada yang berani bersuara sedikitpun malam itu. Ketiganya masih saling menatap dan nampaknya mereka tahu bahwa setelah ini akan sangat jarang obrolan semacam tadi yang kerap dilakukan dan disenangi Pratman.

***

Beberapa hari setelahnya kamp militer yang ditempati Pratman berkabung. Banyak desas-desus yang bermunculan bahwa korban meninggal itu adalah salah satu mata-mata Partai Komunis yang berhasil menyusup ke tubuh militer dengan kurun waktu yang sangat lama.

Meski tidak ada bukti konkrit akan hal itu, namun ketika pihak akademi militer menggeledah isi lemari si korban tidak ada sedikitpun jejak valid yang mengatakan bahwa dia bagian dari Partai Komunis.

Hanya satu buku catatan bersampul warna merah saja yang dijadikan bukti kuat. Padahal warna merah tidak mengartikan apapun bagi Pratman dan beberapa orang di kamp tentara tersebut.

Namun, tidak ada yang berani menginterupsi petinggi akademi militer. Semua yang behubungan dengan Partai Komunis (termasuk buku bersampul merah) harus segera dimusnahkan, dan pemiliknya akan mendapat ganjaran yang setimpal.

Kengerian semacam itu membuat Pratman frustrasi. Nampaknya dia tidak tega untuk angkat senjata dan membela tanah air, jika pemimpin yang sekarang menginginkan keberagaman bukan toleransi.

Bahkan, Pratman juga memalingkan muka pada ketiga kawan baiknya dan lebih memilih murung berhari-hari. Meski segala macam tugas telah dia penuhi dengan giat, namun semua orang tau Pratman kehilangan seleranya menjadi tentara.

Hingga suatu sore, ketika semuanya sedang akan bersiap menuju lapangan sepak bola demi menghibur diri, Pratman kembali bertemu dengan Perempuan yang dia tolong tempo hari.

Entah hasutan macam apa yang membuat Pratman mendekati si perempuan, namun dia kembali tak menghiraukan ajakan temannya dan langsung menuju Si Perempuan yang telah menunggunya dengan tas andong di badan.

“Baru pulang, Nona?” Tanya Pratman penuh semangat (padahal, dengan kawan-kawan satu kamp berhari-hari dia hemat bicara).

“Iya, ada apa kau kemari?” Tanya Si Perempuan, berusaha menguji Pratman.

“Bukankah kau memanggilku?”

“Siapa yang memanggilmu?! Aku kan hanya diam dan menatapmu saja?” Jawab Si Perempuan sambil tersipu sedikit malu. Rona merah keluar dari wajahnya yang lelah.

“Ahhh … kalau begitu matamu yang menyuruhku kemari” Jawab Pratman iseng.
“Memangnya mataku bisa bersuara?”
“Tidak, tapi sangat menyilaukan. Menarik minat hatiku” Jawab Pratman sambil tersenyum.

Nampaknya senyuman Pratman tidak meluluhkan hati Perempuan. Terbukti dia tidak tertegun atau tersipu yang memancarkan aura-aura penuh cinta malu-malu. Dia langsung mengeluarkan bungkusan daun pisang berbentuk hampir segitiga, dan memberikannya pada Pratman.

“Apa ini?”
“Rujak buatanku, ada sisa tadi di Pasar. Makanlah jangan mengkerut terus pikiranmu” Ujar si perempuan sambil kembali melanjutkan perjalanan pulang. Pratman terdiam. Dan kali ini dia yang tertegun.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here