Siapa sih yang ga kecewa kalau kalau dia baru tahu ternyata orang yang diagung-agungkan sifat aslinya menyerupai iblis atau dajal (disensor jadi da*al)? Pasti banyak dari kalian yang ngerasa dikhianati kepercayaannya karena perlakuannya selama ini baik, lemah lembut bagaikan malaikat.
Bertahun-tahun berjalan semua hal terlihat begitu normal, dan bahkan kalian percaya untuk menjadikannya partner di dunia kerja atau lebihnya. Tentu sebagai makhluk sosial, yang tak lepas dari pergaulan serta perkumpulan pasti membutuhkan kekompakan dan kenyamanan saat bergaul. Kenyamanan itu timbul karena kepercayaan terhadap seseorang yang dirasa sudah sefrekuensi dengan dirinya.
Tapi tidak semua orang mudah untuk menunjukkan wajah aslinya, sebagian besar menunjukkan perilaku yang berbeda dengan sifat asli, karena beberapa alasan salah satunya takut tidak diterima oleh individu atau kelompok tertentu seperti yang dikatakan Erving Goffman seorang Sosiolog “Setiap pertemuan sosial merupakan pertunjukan” yang mana setiap orang menutupi kekurangannya untuk suatu pertunjukkan yang indah, agar semua penonton terhibur dan terpenuhi keinginannya.
Tak jarang banyak orang berkata “Tapi pas awal itu kayak tulus banget loh, dia kayak ga lagi ngadi-ngadi gitu.” Berbicara dan bahkan menjadikan orang lain sebagai tempat ternyaman untuk dijadikan teman, ternyata pertemanannya tidak tulus, tentu membuat rasa sakit yang tak berujung atau bahkan sampai ke ulu hati bos!!! Hingga membuatnya orang tersebut kecewa. Sebab, kekecewaan tersebutlah, membuat kita sering kali menyematkan sebagai da*al.
Kerangka dramaturgi yang ditawarkan oleh Goffman ini sudah membahas sampai tuntas, sebenarnya bagaimana kita menghadapi si Da*al ini, jangan-jangan dia bukan iblis akan tetapi malaikat pencabut nyawa yang sedang menyamar jadi malaikat surga?! Bisa saja begitu, karena di mata semua orang apa yang tidak sesuai dengan pandangan kita otomatis akan memblokir dan menjadikannya boomerang bagi kita.
Saya sempat diingatkan oleh kerabat saya, tentang cara pandang terhadap seseorang, bagaimana saya menilai orang tersebut hanya karena ke-Da*alannya, akan tetapi ini yang dia katakana “Terlepas dari semua itu, saya melihat bagaimana dia berproses, bukan sifat Da*alnya (penyebutan saja)”, sontak dalam hati saya “oia, kenapa saya tidak memanfaatkan Da*al itu sebagai sesuatu yang lebih luas? Toh semua orang memiliki keburukan masing-masing”. Dari sini saya banyak belajar dari Ervin Goffman dengan Dramaturginya.
Dua hal yang kamu harus tahu perihal da*al.
Pencitraan
Pernyataannya berbeda dengan kenyataan, yah apalagi sekarang sedang gencar-gencarnya kampanye pemilu 2024, pasti banyak janji-janji yang bakal ditebar sebelum akhirnya terbuang entah ke mana. Dalam teori Goffman terdapat dua lapisan kehidupan oleh aktor yaitu front stage dan back stage, pada lapisan front stage para aktor bebas untuk menunjukkan aksi sesuai dengan kelihaiannya, sebagai pemain teater ia juga wajib membaca situasi untuk menggunakan atribut apa yang relevan dengan dirinya, setelah pentas berakhir maka aktor akan menghapus riasan dan melepas atribut yang dipasang itu disebut backstage. Begitulah kira-kira yang digambarkan Goffman.
Lalu, apakah semua orang itu pencitraan? Ya semua orang membutuhkan pencitraan, karena semua orang ingin terlihat sempurna dan ingin mendapatkan citra yang baik untuk kepentingannya. Namun satu hal yang perlu diketahui oleh pembaca, pencitraan hanya bersifat sandiwara dan bukan jati diri si aktor, ini digunakan untuk kepentingan politik, peliknya juga menutupi keda*alan serta melebih-lebihkan apa yang dimiliki, secara simpelnya pencitraan merupakan hal yang negatif. Jika terlalu banyak kebohongan, maka akan terasa lelah, untuk melakukan hal tersebut.
Personal Branding
Merupakan tindakan positif yang mampu menganalisa mana sifat yang boleh ditunjukan mana tidak, aktor memiliki sesuatu yang unik untuk ditonjolkan, dengan begitu menjadi merek/brand dirinya, ia mampu membangun proposisi yang dapat mencerminkan dirinya sebagai brand yang kuat, sehingga menimbulkan suatu kepercayaan orang lain terhadap dirinya. Target dan sasaran dari brand yang dibangun juga mengerti dari awal bagaimana dan siapa aktor itu dapat diketahui dari merek pribadi yang mudah dijangkau melalui tools/alat promosi diri mereka, baik di media sosial atau pergaulan suatu kelompok tertentu. Ketidaksesuaian pernyataan akan sangat merugikan personal branding yang dibangun, dengan begitu perkataan, perbuatan dan penampilan harus balance dengan personal branding.
Perlu disadari bahwa personal branding itu bukanlah identitas yang dibuat akan tetapi identitas yang dimiliki, dibangun atas dasar bisnis maka harus direspon menggunakan pendekatan bisnis bukan emosi. Hal ini berbeda jauh dengan pencitraan.
Harapan Berlebihan pada Da*al
Lalu kenapa orang bisa kecewa? Ya karena penonton memiliki harapan yang besar pada akhir cerita, ia bahkan sudah memberikan kepercayaan kepada si Da*al (menurutnya), dan sampai-sampai sudah memiliki planning satu sampai tiga bulan kedepan. So what next? Perlu kita sadari juga bahwa tidak semua makhluk hidup itu wujudnya seperti bidadari, mungkin menurut penonton semua harus berjalan sesuai dengan yang diinginkan, bolehlah kalau orang yang kita kenal itu mempunyai personal branding dan targeting yang baik, tapi kalau dia hanya pencitraan saja bagaimana? Itu juga menjadi salah satu poin di mana penonton juga turut waspada dan harus cermat dalam menilai seseorang, di mana letak kata Da*al itu, apakah kepada mereka yang membangun personal branding karena keunikan diri atau, mereka yang cuma sebar pamflet aja?
Dalam ajaran Islam Da*al akan muncul di akhir zaman, tapi yang sifatnya seperti Da*al tidak lepas dari kata pencitraan, siapa juga kan yang tahu kira-kira orang yang ada di baliho itu sedang melakukan personal branding atau pencitraan?