Silampukau, grup musik folk asal Surabaya yang digawangi oleh Kharis Junandharu dan Eki Tresnowening berhasil memukau penikmat musik di tiga kota yakni Gresik, Sidoarjo dan Malang.
Mereka menggelar konser bertajuk Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) untuk menyapa para penikmat musik yang telah lama menantikan gig langsung semacam ini, karena saat pandemi berlangsung banyak konser yang dilarang dan dialihkan secara daring.
Bagi sebagian orang, konser daring kurang gereget, semacam kehilangan nuansa syahdu. Aku juga berpikir demikian, bahwa yang menarik dari sebuah konser adalah interaksi langsung dengan musisinya, penontonnya, bernyanyi bersama dalam keriuhan tentu itu semacam stimulus positif yang menyenangkan.
Bernyanyi bersama seakan ada ikatan satu sama lain, melepaskan segala keluh, kesah, dan penat, menyenangkan bisa berbagi energi. Konser ini merupakan yang pertama bagiku semenjak pandemi mengoyak-ngoyak Indonesia. Awalnya tidak menyangka jika akan ada konser semacam senikmat ini.
Berawal dari ketidaksengajaan saat menjelajah di media sosial instagram, saat itu sedang kalut, gelisah karena urusan hati—abaikan. Dari situlah entah mengapa kepikiran membuka akun resmi Silampukau.
Tak dinyana-nyana ternyata ada informasi konser, awalnya pikirku itu hanya akan digelar di Sidoarjo. Setelah mencari-cari ternyata ada di Gresik dan Malang juga.
Tak berlama-lama aku meneruskan informasi itu ke seseorang dengan harapan ia tertarik, sesaat setelah itu langsung membeli tiket konser tersebut. Momen langka ini benar-benar semacam oase di tengah tanah tandus, di mana dahaga akan suasana gig yang menyenangkan seolah-olah akan terobati.
Menjelang hari-hari menuju konser perasaan seolah was-was dan cemas, sebab cuaca tidak menentu, apalagi Kota Malang sering diguyur hujan. Bahkan sesaat sebelum konser sejak menjelang siang menuju sore hujan tidak henti-hentinnya, memang perubahan iklim itu nyata dampaknya, selain mendorong bencana seperti banjir, longsor dan gagal panen, ternyata juga mengancam kesenangan orang.
Bayangkan jika hari itu hujan tidak berhenti, tentu yang datang nestapa, kemudian mengunci diri di kamar sembari ikut memproduksi air mata, konser tak jadi, jalan bareng dengan seseorang pun terancam. Sedihnya akan menjadi-jadi jika memang hujan benar-benar datang malam itu.
Akan tetapi, untungnya hujan tiba-tiba berhenti dan rehat sejenak. Akhirnya, hari yang dinanti datang juga, mendengarkan dan menyasikan Silampukau secara langsung, setelah lama sekali tidak melihat pentas mereka.
Aku bersama seseorang itu, langsung meluncur ke tempat acara di sebuah warung kopi kekinian di Malang. Kami sampai di sana sekitar pukul 19.00 WIB lebih 3 menit. Tak disangka animonya begitu besar, hampir lebih dari seratus orang memadati tempat yang tak begitu besar, ditambah antrian mengular.
Kami pun rasan-rasan, berbagi keresahan perihal spot mana yang menarik. Untunglah dapat tempat di outdoor dan bisa duduk santai melihat penampilan Silampukai dari kejauhan.
Lagu-lagu mulai dilantunkan oleh duo grup musik itu, alunan gitar berpadu dengan bass betot dan drum menambah kemeriahan.
Mereka menyanyikan lagu dari album mereka yang bertajuk “Dosa, Kota & Kenangan” di tahun 2015 yang merupakan album kedua mereka, sebelumnya pernah mengeluarkan extended play atau familiar dengan EP atau mini album bertajuk “Sementara Ini.”
Konser yang berdurasi hampir 60 menit lebih ini berhasil menuntaskan dahaga para penikmat musik, melalui lagu-lagu andalan mereka. Menurutku, semuanya andalan karena hampir semua lagu di album “Dosa, Kota & Kenangan” memiliki daya tarik yang unik di setiap lagunya.
Silampukau memang berbeda dengan yang lain. Jika folk mainstream akan mengumbar tema senja, cinta dan diri, SIlampukau tampil selayaknya city pop tetapi dikemas dengan sentuhan alternatif.
Sementara itu, Silampukau menawarkan musik yang berbeda, musikalisasinya kompleks, perpaduan dari berbagai genre. Sepintas mirip blues, country, grass sepintas semacam alternative rock. Untuk single terbaru yang berjudul Dendang Sangsi, alunan musiknya dipadukan dengan instrumen kendang yang identik dengan dangdut.
Ciri khas Silampukau selalu menawarkan tema yang berelasi dengan situasi sosial, kenangan kolektif, keresahan, dan harapan. Pada albumnya yang kedua mereka mengusung Surabaya sebagai episentrumnya, bercerita segala sesuatu tentang kehidupan Kota Surabaya.
Sebagai orang yang lama tinggal di Surabaya, aku merasa tergelitik oleh lagu-lagu yang disajikan oleh Silampukau, dan mengiyakan bahwa lagu yang mereka ciptakan sesuai dengan realita yang terjadi.
Lagu-lagu Silampukau seakan bercerita, mencoba mengabarkan kepada kita, semacam menunjukkan “ini lho wajah Surabaya” dengan aneka persoalannya.
Dari persoalan ruang yang tergambar di lagu “Bola Raya” yang menceritakan gedung-gedung tinggi telah merampas ruang publik dan ruang bermain, sekadar bermain bola saja susah, nah apalagi hidup.
Tak hanya itu, realitas yang dilukiskan oleh Silampukau juga menyasar kehidupan di salah satu lokalisasi yang pernah ada di Surabaya dalam lagu berjudul “Si Pelanggan”.
Lagu tersebut mencoba menguak kehidupan di lokalisasi itu, meski tak tampak, tapi tersirat ia mencoba menggambarkan pada kita bahwa realitas penutupan Dolly tak menyelesaikan persoalan.
Dolly hanyalah simbol dan ruang. Meski ia hilang, pelacur dan mucikari tetap ada, ya karena memang persoalan lokalisasi itu kompleks, artinya ada faktor ketimpangan.
Juga lagu “Sang Juragan”, yang mengisahkan pebisnis miras yang memang ada dan menjamur di Surabaya, mereka sering jadi korban palak, realitas masyarakat pinggiran yang dipinggirkan, korban ketimpangan metropolitan.
Kompleks memang Silampukau ini, bukan sekadar ikut arus pop culture yang kata Adorno bagian dari kerja kapitalisme. Akan tetapi, Silampukau menciptakan sub-kulturnya sendiri dengan jalannya sendiri.
Ini terlukis di lagu “Doa 1”, semacam keresahan, kekalutan, dan kelelahan. Menjadi musisi yang sejalan dengan ide dan kebebasan itu susah. Apalagi kalau sudah dimakan industri yang memang orientasinya bukan kebebasan, melainkan akumulasi.
Ini juga sempat disinggung oleh Adorno ketika membahas musik jazz dalam menyoroti kultur industri yang mengapropriasi dan merampas nilai untuk kepentingan akumulasi.
Saat genre ini berubah menjadi simbol kelas dan industrial yang lahir dari rasialisme, diskriminasi dan perbudakan, tiba-tiba diklaim, dirampas oleh “penindas.” Kultur industri semacam monster dan membuat manusia di dalamnya kehilangan kewarasan.
Lagu “Doa 1” kurang lebih mengisahkan itu secara sederhana dari pengalaman mereka.
Sebenarnya, sangat banyak yang ingin dituliskan, tapi karena terbatas karakter, di penghujung tulisan ini aku ingin mengucapkan terima kasih pada Silampukau yang telah membuat satu hari malam lebih berwarna, sebab kerinduan akan gig semacam ini akhirnya terpenuhi.
Lalu, terima kasih juga untuk kamu yang telah bersedia menonton dan bernyanyi bersama, sungguh menyenangkan dan semacam mood booster.
Ditunggu running article-nya tentang “Seseorang itu”