Bung Karno
Sumber foto: Behance.com

Berbicara sepak terjang Soekarno (bung Karno) rasanya belum lengkap tanpa menyentuh buah pikirnya tentang Marhaenisme. Buah pikir yang merupakan dasar perjuangan semasa hidupnya. Ia merumuskan “Marhaenisme” sebagai sebuah ideologi perjuangan melawan kolonialisme, merebut kemerdekaan.

Bung Karno menyadari pentingnya suatu kendaraan perjuangan bersama. Ia kemudian membentuk Perserikatan Nasional Indonesia yang selanjutnya berubah menjadi Partai Nasional Indonesia. Asas politiknya tentu saja Marhaenisme, yaitu ideologi kaum marhaen (rakyat biasa; petani, buruh).

Kala itu, partai besutan Bung Karno lekas digemari masyarakat. Dengan karismanya, Soekarno menyampaikan dengan gamblang arah gerak partai yang dipimpinnya. Tak selesai di panggung, bung Karno juga memberi bukti masifnya pergerakan yang dilakukan. Itu membuat gagasan Marhaenisme Soekarno cepat tersebar membakar semangat rakyat melawan penjajah (Dachi, 2016).

Sayangnya, buah pikir itu justru kini terkesan terlupakan. Jika pun ada yang mempelajari, hanya golongan dan orang tertentu saja. Padahal bung Karno menciptakan Marhaenisme bagi semua orang yang gandrung kemerdekaan, keadilan dan mengimani nilai kemanusiaan. Merugilah generasi bangsa bila mengabaikan warisan gagasan leluhur.

Tanpa belajar dari sejarah, perjalan bangsa mengalami krisis identitas. Laiknya pepatah “Rumput tetangga lebih hijau dari rumput sendiri,” betapa kita akhirnya acap mengagumi gagasan Barat. Padahal buah pikir para pendiri Republik ini jauh lebih relevan dengan kondisi bangsa kita. Karena itu, kita perlu menggali sejarah dan belajar mendalami warisan ide para pemimpin bangsa. Dengan belajar dari sejarah, kita dapat meneruskan cita-cita luhur Indonesia. Begitu pula halnya warisan gagasan “Marhaenisme” bung Karno, penting dipelajari-dipraktikkan.

Marhaenisme tidak lahir dari imajinasi hampa, melainkan berdasar kondisi konkret bangsa Indonesia. Memang ada bermacam versi yang bermunculan ihwal bagaimana bung Karno menemukan “Marhaenisme”. Pandangan umum menyebut bahwa Soekarno terinspirasi saat bertemu seorang petani di daerah Bandung. Ada pula yang menerangkan, Soekarno hanya mengarang cerita pertemuan dengan petani, sesungguhnya Marhaenisme adalah gabungan aliran ideologi dan filsafat Marxisme, Hegelian, Leninisme, dan Islamisme.

Terlepas dari pertentangan itu, kita perlu melihat gagasan tersebut sesuai konteksnya. Apa saja yang melatari pemikiran dan karakter Soekarno, serta bagaimana situasi Indonesia saat itu. Melalui uraian itulah kita dapat menemukan jawaban komprehensif yang logis dan terang. Sebaliknya, mendasarkan pandangan pada fanatisme sektoral akan mengaburkan substansi Marhaenisme itu sendiri. Terpenting, versi manapun yang betul, manfaatnya bagi kehidupanlah yang kita kejar. Itulah yang jadi orientasi dan harus diuji. Oleh karena itu, lebih esensial jika kita dapat memaknai nilai Marhaenisme dan menerapkannya dibanding terjebak dalam perdebatan yang tak ada hasil nan tak berujung.

 

Konsepsi dan Praksis

Penulis memandang kedua versi munculnya ideologi “Marhaenisme” memiliki sisi logis masing-masing atau bahkan keduanya saling terhubung-melengkapi. Keduanya beririsan antara konsep dan praksis, seperti dua bilah kepingan koin uang. Tentu tak dapat dipisah, meski keduanya berbeda. Di satu sisi menyoal konsep pemikiran (baik melalui buku, guru, teman diskusi) yang mempengaruhi pemikiran bung Karno. Sementara di lain sisi berbicara praksis, di mana bung Karno melihat langsung praktik penindasan karena sistem yang berlaku. Pada titik itu, konsep dan praksis bertalian melahirkan gagasan Marhaenisme.

Berbicara tentang aliran filsafat dan ideologi di atas tentu ada beribu kebaikan yang terkandung di dalamnya, meski dalam praktik bisa saja melenceng dari nilai dan tujuannya. Secara umum bila dikelompokkan ada dua aliran, yakni Marxisme (Hegelian, Leninisme) dan Islamisme. Apakah keduanya bertentangan? Kita perlu membaca nilai dan praktik gerakannya.

Pertama, Islamisme berbicara tentang ajaran cinta, kedamaian, dan persaudaraan. Kedua, Marxisme menyoal keadilan ekonomi bagi setiap orang agar dapat tercipta kemanusiaan, cinta, kedamaian, dan persaudaraan. Kalau kita melihat dan menilai dengan jernih konsep dan tujuan keduanya sangatlah mulia. Keduanya justru saling menopang demi kemanusiaan.

Perjalanan sejarah siapa yang tahu. Dikondisikan. Dimanipulasi. Si pemenang pertarungan politik acap menempatkan dirinya sebagai pemilik-penentu selaras kepentingannya. Maka tidak heran, pertentangan tentang asal-usul Marhaenisme pun berulang diperhadapkan antara satu versi dengan versi lainnya. Ini paling baik, itu paling buruk. Berdebat tanpa menguji. Sementara keduanya belum tentu saling bertentangan, dan memang tidak.

Pembelajar

Soekarno muda banyak dipengaruhi oleh guru, teman diskusi, dan buku-buku bacaannya. Saat sedang menempuh pendidikan di Surabaya, Soekarno tinggal di rumah seorang guru bernama H.O.S. Cokroaminoto beserta kawan-kawan pelajar lainnya. Cokro dikenal sebagai seorang pemikir islam yang juga mendalami filsafat Marxisme.

Dari guru Cokro, Soekarno banyak belajar seluk-beluk pergerakan nasional. Pemikirannya tentang Islamisme dan Marxisme juga banyak diserap oleh Soekarno. Pemahaman ideologinya sangat mengakar dan tak sekalipun dipisahkan. Kedalaman pemaknaan itu mendorong Soekarno dan koleganya mempraktikkannya.

Sekilas kita sudah menelaah siapa saja yang mempengaruhi pemikiran seorang Soekarno. Atas dasar pemikiran yang dipahaminya secara mendalam membuatnya tidak puas hanya berhenti pada ruang-ruang diskusi tanpa turun langsung ke tengah rakyat.

Setelah selesai dengan pendidikannya di Surabaya, Soekarno melanjutkan kuliah di Bandung. Di Tempat itu, Soekarno mendalami soal-soal pergerakan dan turun langsung ke desa-desa. Suatu waktu, Soekarno bertemu dengan seorang petani yang diajaknya berbicara banyak hal tentang aktivitas pertanian dan kehidupannya. Pertemuan itu semakin menyadarkan Soekarno bahwa apa yang dipelajarinya tentang Islamisme dan Marxisme nyata di tengah masyarakat. Bahwa keadilan harus diperjuangkan, yang memantik jiwa soekarno muda bergerak demi perubahan. Di waktu itu juga, Soekarno merumuskan “Marhaenisme” sebagai sebuah ideologi “sosialisme Indonesia dalam praktik”.

Rumusan ideologi Soekarno cepat tersebar ke seluruh penjuru tanah air karena ketelatenan pidato Soekarno dan rekam jejaknya pun bagus. Kolega sepantarannya juga turun ke dalam gelanggang perlawanan, mengingat penjajahan kolonial Belanda masih berlangsung saat itu. Azas politik Marhaenisme mampu menghimpun massa, membakar semangat rakyat sekaligus membuat pergerakan jelas dan terarah. Sejatinya gagasan Marhaenisme itu memang milik rakyat, Soekarno menyebut tegas bahwa “Seorang Marhaenis pastilah berpihak pada rakyat” (Wisnu Wardana, 2020).

 

Humanisme

Benang merah Marhaenisme adalah memperjuangkan keadilan dan humanisme. Bagi bung Karno, rakyat itu sendiri adalah kaum marhaen, yaitu mereka yang tertindas oleh sistem. Sementara setiap orang yang memiliki kesadaran dan turut memperjuangkan kaum marhaen disebut Marhaenis. Kaum marhaen dan marhaenis haruslah bersatu untuk melawan dan memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan. Itulah yang mendasari mengapa bung Karno disebut tak berjarak dengan rakyat, karena dia adalah kaum marhaenis yang menyatu dengan kaum marhaen (rakyat). Bahkan dalam sebuah catatan bung Karno menggambarkan dirinya sebagai penyambung lidah rakyat.

Kisah perjalanan bung Karno semasa muda membentuknya menjadi pemimpin hebat. Kata pepatah, hasil yang baik tercermin dari perjuangan panjang. Nilai dari hasil itu akan lebih tergambar dan berguna bagi generasi sekarang ketika kita melihat prosesnya. Sebab dengan mengikuti atau menerapkan nilai-nilai dari proses itulah kita akan mampu mencapai hasil serupa. Sementara jika hanya melihat hasil tanpa memaknai prosesnya tentu yang timbul hanyalah pragmatisme belaka.

Nilai perjuangan bung Karno sebelum menjadi seorang pemimpin dapat kita amati saat sedang berguru kepada Cokro. Soekarno mau belajar dan diajar, karena setiap pemimpin hebat selalu punya mentor. Terbukti dari rumah Cokro, selain Soekarno, banyak pemimpin bangsa hebat lainnya yang lahir. Meski akhirnya ada banyak perbedaan pandangan dari kelompok diskusi itu ketika sudah memilih jalannya masing-masing. Wajar-wajar saja, tiap individu adalah manusia merdeka yang bebas memilih. Lagi pula, beragam perbedaan itu justru memperkaya pemikiran di masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Dari rumusan Marhaenisme Soekarno kita belajar tentang makna dan praksis humanisme (kemanusiaan). Rasa kemanusiaanlah yang menggerakkan Soekarno melawan ketidakadilan. Kemanusiaan bukan saja berbicara konsep abstrak tetapi nyata dapat diterapkan melalui sistem dan kultur yang memanusiakan manusia. Bahkan setalah Indonesia merdeka, bung Karno terlibat aktif membantu negara lain (khususnya Asia-Afrika) mencapai kemerdekaannya.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here