Siti Bariyah merupakan salah satu murid yang dididik langsung oleh Kiai Dahlan. Lewat pengajian Sapa Tresna (Sopo Tresno) ia belajar ihwal pelbagai pengetahuan agama. Sapa Tresno adalah salah satu pengajian perkumpulan pertama di kampung Kauman, yang kelak akan menjadi cikal bakal organisasi Aisyiyah.
“Perempuan merupakan salah satu tonggak penerus perjuangan. Salah satu caranya adalah mengajak kaum perempuan mengenyam pendidikan.” (Kiai Dahlan)
Pesan moril yang sangat menyetuh, khususnya bagi kaum perempuan. Kiai Ahmad Dahlan merupakan salah satu dari ulama berpengaruh di awal abad ke-20 yang sangat peduli, bahkan memikirkan dan memerhatikan kiprah perempuan. Perempuan juga memiliki hak yang sama ihwal pendidikan dengan laki-laki, dawuhnya.
Kepedulian itu mengantarkannya terlibat dalam gerakan pembaharuan, hingga menganjurkan para perempuan untuk bersekolah umum. Gerakan ini saat itu masih sangat sulit diterima oleh khalayak, khususnya masyarakat Kauman.
Kauman merupakan tempat tinggal kiai Dahlan sekaligus tempat mula penyebaran nilai-nilai agama dan perkembangan Muhammadiyah—organisasi Islam terbesar di Indonesia. Dari kampung ini pula telah mengorbit kader-kader perjuangan yang melanjutkan nilai-nilai Kiai Dahlan, salah satunya Siti Bariyah.
Walaupun begitu, Kiai Dahlan banyak menerima kritikan dari penduduk setempat dan dianggap menjerumuskan kaum perempuan dalam kekafiran. Namun, itu tak membuat Kiai Dahlan gentar. Ia malah melakoni giat-giat tersebut secara masif hingga melahirkan murid perempuan secerdas Siti Bariyah.
Murid Ideologi Kiai Dahlan
Perempuan yang lahir pada 1907 itu merupakan salah satu kader ideologis Kiai Dahlan. Catatan sejarah mengatakan bahwa Siti Bariyah memang telah disiapkan untuk menjadi kader perempuan Muhammadiyah yang mewariskan pengetahuan agama dari Kiai Dahlan langsung. Bahkan pada 1913, Siti Bariyah dan beberapa kawannya dianjurkan untuk belajar pengetahuan umum oleh Kiai Dahlan, di salah satu tempat yang bernama Neutraal Meisjes School.
Setelah memperoleh pegetahuan dari sekolah umum milik Belanda, kemahiran Siti Bariyah semakin nampak tatkala berdiskusi dengan orang Belanda yang membuatnya fasih berbahasa Belanda. Ketekunan dan semangatnya dalam belajar mengatarkannya menjadi pemimpin pertama Aisyiyah, organisasi perempuan milik Muhammadiyah.
Selain itu, di antara santri-santri perempuan Kiai Dahlan, Siti Bariyah merupakan santri yang paling sering diajak untuk berdakwah dari satu tempat ke tempat lainnya. Sebab, perempuan yang berparas ayu dengan kulit kuning langsat ini terkenal memiliki wawasan yang luas dan kemampuan berkomunikasi yang baik dalam berbagai bahasa asing.
Kehandalan berbahasa menjadikannya penerjemah setiap forum dakwah Kiai Dahlan. Biasaya sebelumnya pengajian dimulai terdapat satu agenda untuk membacakan ayat al-Quran, pada momentum itulah Bariyah menerjemahkan setiap ayat al-Quran ke dalam bahasa asing, misalnya ke dalam bahasa Melayu dan Belanda. Model pengajian seperti ini membuat banyak orang senang sehingga selalu ramai dan nama Bariyah terkenal di mana-mana. Bagi jamaah, metode tersebut membuat mereka lebih dekat dengan al-Quran karena dapat memahami isinya. Seyogianya, Siti Bariyah tidak hanya sebagai penerjemah, tetapi ia juga penafsir ulung yang dimiliki Muhammadiyah.
Penafsir Muhammadiyah
Pada 23 Februari 1923, Kiai Dahlan meninggal dunia dan tampuk kepemimpinan dilanjutkan penuh oleh kiai Ibrahim. Siti Bariyah kemudian diberi mandat untuk membuat tafsir Muhammadiyah, yang diterbitkan dalam Soewara Moehammadijah nomor edisi 9 tahun ke-4 bulan September 1923 pada artikel “Tafsir Maksoed Moehammadijah”.
Siti Bariyah dipilih karena ia merupakan santri yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Ia memahami realitas tidak dengan kacamata kuda, tetapi menganalisisnya dari hulu ke hilir. Inilah mengapa ia dipilih menjadi penafsir ideologi muhammadiyah pasca-peninggalan Kiai Dahlan.
Tafsir yang telah dimuat dalam majalah tersebut, kemudian diuraikan secara detail oleh Mas Mansur dalam Tafsir Langkah Muhammadiyah. Dalam salah satu tulisannya, Siti Bariyah mencermati pendidikan masyarakat muslim pada zaman itu sering kali mengalami ketertinggalan. Seringkali mereka menolak pembaharuan, khusunya soal metode pembelajaran. Padahal perubahan adalah sesuatu yang pasti akan terjadi.
Disinilah Siti Bariyah menegaskan pentingnya pendidikan Islam memakai cara-cara yang modern (dalam hal ini ia membandingkannya dengan sistem pesantren). Pemikiran tersebut tidak lepas dari latar belakang Siti Bariyah yang mengenyam pendidikan model barat di Neutraal.
Cara modern memang penting untuk dilakukan, agar menarik keinginan siswa-siswi untuk semangat belajar. Namun, yang paling penting adalah untuk memajukan pendidikan agama Islam agar terus berkembang tanpa meninggalakan jejak nilai-nilai agama yang telah ada sejak dahulu.
Selain itu, Siti Bariyah menegaskan kembali bahwa Muhammadiyah didirikan untuk memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Islam di seluruh Hindia Timur. Dia pun menjelaskan Muhammadiyah mengajarkan agama dengan memakai cara sekolah di mana ada perpaduan antara ilmu agama dan ilmu umum, satu hal yang tidak didapatkan di pesantren. Dan hal tersebut, mesti dilakukan untuk terus mengembangkan pendidikan agama.
Pemikiran yang bernas pada zaman itu, tak lain buah hasil pengajaran Kiai Dahlan kepada Siti Bariyah. Tak heran jika Kiai Dahlan melalui Muhammadiyah ingin memperkuat gerakan-gerakan di sektor perempuan. Dengan mendidik murid yang kelak akan menjadi tonggak kuat yang melatarbelakangi perjuangan perempuan di negeri ini. Sehingga lahir sebuah organisasi yang bernama Aisyiyah, yang pertama kali diketuai oleh Siti Bariyah.
Memperkuat Gerakan Intelektual melalui Aisyiyah
Organisasi Aisyiyah dibentuk pada 27 Rajab 1335 H/19 Mei 1917 dalam perhelatan Isra Mi’iraj nabi Muhammad SAW. Aisyiyah diambil dari nama salah satu istri nabi yang memiliki kecerdasan yang luar biasa yakni Aisyah. Harapannya semua kader yang telah dididik di bawah asuhan organisasi tersebut, mampu seperti Aisyah baik secara intelektual atau tingkah laku.
Pada awal pembentukannya nama Siti Bariyah muncul sebagai ketua. Penunjukan Siti Bariyah menjadi pemimpin karena kualitas intelektualnya. Bagi Kiai Dahlan, setiap organisasi yang baru dibentuk mesti dibangun oleh orang yang memiliki intelektualitas yang matang untuk meletakkan dasar-dasar organisasinya. Pertimbangan itulah yang membuat seorang Ahmad Dahlan kokoh memilih Siti Bariyah.
Saat itu pula Siti Bariyah tak hanya menunggu perintah untuk menjalankan roda organisasi tersebut. Ia membawa organisasi tersebut pada gerakan pembaharuan hingga muncul aktivitas inovatif dalam tubuh organisasi. Misalnya, lahir sebuah gerakan memberantas buta huruf latin serta huruf arab; pendidikan keagamaan bagi buruh batik; pendirian mushola perempuan pada 1922 lalu direplikasi oleh organisasi Aisyiyah di seluruh Indonesia dan menjadi ciri khas Aisyiyah; dan taman anak-anak, dan pada 1926 pula Aisyiyah menerbitkan majalah organisasi yang bernama Suara ‘Aisyiyah.
Semua kegiatan yang dicanangkan oleh Aisyiyah sangat berkaitan dengan gerakan intelektual. Sebab, jika seseorang telah memiliki kemampuan untuk membaca setiap kalimat dengan sadar, maka seseorang tersebut, perlahan akan membaca realitas yang ada di kehidupannya.
Tak heran bila Siti Bariyah mencoba memperkuat Aisyiyah dengan gerakan intelektual. Ketika wadah itu berfungsi dengan semestinya, saat itu pula perempuan mampu berpartisipasi ke ranah publik. Dan Siti Bariyah telah melakukannya dengan pelbagai metode hingga menciptakan atmosfer pro-gender tak hanya dalam tubuh Aisyiyah ataupun Muhammadiyah, tetapi untuk negeri ini.