Tara Febriani Khaerunnisa

Langit gelap menyelimuti kota pagi itu. Entah karena mendung, atau karena sisa asap kebakaran semalam. Tak ada petir, hanya ada suara gemerutuk puing-puing yang jatuh belakangan, hilang keseimbangan karena penyangga besarnya hangus duluan. Beberapa anggota pemadam kebakaran duduk di sekitar bangunan. Melihat-lihat apakah masih ada yang harus diselesaikan, sebelum akhirnya mereka memutuskan kembali ke markas.

Seminggu kemudian, petugas pemadam kebakaran kedatangan berita bahagia sehubungan dengan peristiwa yang mereka tangani minggu lalu. Berita bahagia jarang datang ke tempat itu. Karena itu ketika berita bahagia datang, ia membawa suka cita yang sangat besar. Berita bahagia datang melalui surat yang diantar ke markas, dikirim dari salah satu rumah sakit kota dekat lokasi kejadian. Surat itu, secara khusus, sebenarnya ditujukan untuk salah satu personel yang bertugas hari itu, Akmal namanya.

“Kebahagiaan memang sering datang untuk bayi yang akan lahir,” ujar salah satu rekan Akmal yang membawa surat itu untuknya. 

“Ha ha ha … aku harap seperti itu. Istriku pasti juga akan bahagia jika kuceritakan keajaiban yang terjadi di gedung itu.”

“Bacalah suratnya. Kami akan membuat laporan terkait peristiwa minggu lalu. Kami akan berada di ruang administrasi.”

“Aku akan menyusul setelah membaca surat ini.”

“Tentu. Nikmati waktumu.”

Begitulah, Akmal akhirnya sendiri di ruang peralatan pemadam kebakaran. Surat sampai ketika mereka baru selesai mendata apa-apa yang digunakan dan rusak akibat peristiwa minggu lalu. Selama seminggu, pekerjaan menyibukkan mereka, paska aksi pemadaman di gedung itu. Kabar-kabar mengecewakan datang menyusul, kecuali hari ini. Berita baik datang. 

Akmal mengusap amplop surat berwarna cokelat tua, membaliknya, dan melihat cap bundar berwarna merah dari lilin yang dipanaskan. Amplop tanpa lambang apa-apa, hanya lingkaran biasa bekas cap untuk menyegelnya. Pun tak ada tulisan apa pun. Surat ditujukan untuknya berdasar keterangan perantara; seorang suster yang mampir ke markas, yang mengatakan bahwa anak yang selamat dari peristiwa kebakaran itu ingin mengucapkan rasa syukurnya ke pahlawan yang menyelamatkan hidupnya.

Akmal membuka segel lilin. Kertas-kertas putih mencuat dari dalam amplop. Cukup tebal, beberapa lembar yang dilipat kuat agar muat.  Akmal mulai membuka lipatan, entah ada berapa lembar, dan mulai membaca:

           “Salam.

Semoga keadaanmu baik-baik saja. Sudah satu minggu setelah peristiwa itu. Peristiwa yang mengharuskanmu menyelamatkan nyawaku. Aku tahu, kau pasti menghadapi dilema besar saat harus memilih menyelamatkanku atau ibuku. Tapi sungguh. Kau seharusnya menyelamatkan ibuku.”

Senyum yang awalnya bergantung di sudut bibir Akmal seketika pudar. Alisnya mulai bertaut seturut keningnya yang mengerut. Sekilas dilihatnya lagi lembaran-lembaran surat yang ditulis dengan huruf berukuran besar, yang memakan hampir tiga garis, dan penuh coretan, bahkan di lembar pertama.

           “Namaku Daisy. Usiaku 13 tahun.  Daisy adalah salah satu bunga yang melambangkan kecantikan dan kemurnian. Ibuku pernah berkata bahwa dia teringat bunga itu saat pertama kali melihatku. Namun, ibuku juga yang mengubahku menjadi tidak terlihat seperti bunga itu.”

Akmal yang tak akrab dengan bunga, langsung mengambil gawainya dan mencari di kolom internet bentuk dan rupa bunga yang dimaksud dalam surat. Bunga yang cantik, pikirnya. Putih dan terlihat polos. 

          “Ibuku adalah jenis manusia yang akan melakukan apa pun agar keinginannya tercapai, tapi juga tidak ingin membuat dirinya terlibat masalah. Dia hidup terus seperti itu selama aku bersamanya. Kau pasti merasa ini cuma gurauan gadis dengan luka menjijikkan di seluruh badannya. Kau pernah melihatku langsung. Kulitku memang bersisik karena terlampau sering terpapar api. Di beberapa bagian masih mengembung dan berair karena merupakan luka baru yang dibuat ibuku. Alis dan bulu mata sudah tidak ada lagi di wajahku, entah sejak kapan. Rambutku pendek, kusut, dan selalu terbakar, atau dibakar. Tidak, tidak, ibuku tidak memiliki obsesi terhadap api. Ibuku terobsesi membakarku.”

Akmal terpaku beberapa saat dan membaca ulang surat itu dari awal beberapa kali dan berusaha mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Terutama kalimat penutup paragraf terakhir. Sejauh ini pikirannya masih enggan menerima apa yang baru saja dibacanya. Bukan tidak mungkin ini hanya gurauan gadis yang sedang bosan seminggu berada di rumah sakit. Namun, fakta bahwa gadis itu memang memiliki kulit yang berbeda dengan gadis seusianya membuat Akmal mempertimbangkan lagi keyakinannya.

          “Ibuku bilang kehadiranku membawa neraka di hidupnya. Dan untuk mengimbangi perasaan itu, aku juga harus merasakan neraka yang diyakininya. Dia mengatakan itu terus menerus saat membakarku. Seperti rapalan mantra yang akan membuat api di tangannya terasa dingin saat menyentuh kulitku.”

Akmal beranjak dari tempat duduknya dan menyusul rekan-rekannya ke ruang administrasi. Dia langsung menghampiri Dani, pemimpin regu pemadam kebakaran minggu lalu.

“Sudah dipastikan penyebab kebakaran di rumah susun minggu lalu?” Akmal bertanya.

“Belum dapat dipastikan dengan jelas penyebab utamanya. Tapi hei, kau tahu, api bermula dari lantai sebelas, tepatnya dari kamar gadis yang kau selamatkan. Ada tabung gas kecil di tengah ruangan. Gadis itu dan ibunya sepertinya berencana untuk memasak bersama di ruang tengah, dan tabung kecil itu meledak.”

“Ya Tuhan, itu mengerikan.”

“Memang peristiwa yang mengerikan. Seluruh penghuni di lantai itu hangus terbakar kecuali gadis itu. Dia beruntung bertemu denganmu.”

Akmal meraih kursi dan duduk kembali. Dia menatap surat di tangannya. Antara percaya dan tidak, terlebih lagi saat pemimpin regunya memaparkan informasi yang mereka dapatkan.

Dani mendekat ke arah Akmal dan menyentuh pundaknya sambil berkata: “Hei, kau tahu, yang kau lakukan itu menakjubkan, menyelamatkan gadis itu. Ibunya pasti bahagia. Jika suratnya berisi sesuatu yang berguna bagi penyelidikan, kabarkan ke Rena.”

Akmal mendongak, tersenyum, dan kembali membaca surat itu.

          “Kami hidup hanya berdua, berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya. Selain karena cibiran tetangga, sebab Ibu bukan pribadi yang menyenangkan bagi sekitar, juga karena Ibu selalu bermasalah dengan orang-orang yang berusaha menolongku. Mereka berusaha mengambilku dan berkata bisa menyembuhkan dan mengurusku. Aku mendengar semuanya. Tawaran hidup bahagia, bermain bersama anak-anak lainnya, pengobatan, dan banyak hal lain yang tidak bisa kuingat lagi. Kau pasti berpikir: “Ambil saja tawarannya!” Beberapa kali memang aku mengiyakan, dan ibuku tidak bisa menolak. Tapi ibuku selalu mengambilku kembali dari orang-orang itu. Ya, ibuku mengambilku kembali. Dan kami pergi ke kota lain.”

”Perempuan sinting,” batin Akmal dengan wajah yang menunjukkan kekesalan. Seluruh badannya bergetar geram, tangannya memperkuat genggaman pada surat-surat itu. Pikirannya melayang kembali ke peristiwa, saat dia menerobos masuk lokasi kebakaran dan menyelamatkan anak itu. Perempuan yang tergeletak tak berdaya di ruang tengah, tak jauh dari jendela tempat anak itu meringkuk ketakutan, adalah ibu yang Akmal tak sangka-sangka mempunyai sifat yang mengerikan.

          “Namun, kejadian-kejadian itu justru menyadarkanku bahwa ibuku sungguh menyayangiku. Dia tidak ingin kehilanganku. Aku mungkin membawa keduanya, neraka dan surga bersamaku, untuk ibuku. Hubungan kami menjadi lebih baik setelah pindah ke kota ini. Aku bahkan sampai meminta Ibu untuk membakarku. Kulitku, rambutku, atau jari-jari tangan, dan kakiku. Aku menyukainya. Aku menyukai ekspresi Ibu saat melakukannya. Di sini, di kota ini, kami tinggal di rumah dengan intensitas bertemu tetangga lebih kecil dari tempat tinggal kami sebelumnya. Aku menyukainya, Ibu menyukainya. Ibu mendapat pekerjaan yang baik di sini. Dia membelanjanku beberapa buku, lilin-lilin yang wangi, kembang api, stempel lilin, dan hal-hal yang aku dan ibuku sukai. Ibuku mengajariku cara membaca dan memahami apa yang kubaca dengan baik. Katanya, aku harus menjadi gadis yang cerdas, karena dia tidak suka dengan gadis yang bodoh. Ibu juga mengajariku cara memasak, membersihkan rumah, mengurus pakaian, dan mencuci alat-alat makan yang sudah kami gunakan. Ibuku mengajariku dengan penuh kasih sayang. Terutama saat belajar memasak.”

Genggaman tangan Akmal terhadap surat itu melonggar. Akmal mengembuskan napas dan mendongak. Melihat langit-langit ruang administrasi yang semakin lama terlihat semakin rendah. Matanya tertutup, memikirkan kembali apa yang baru saja dibacanya. Menyesap suara-suara riuh rendah orang-orang yang berjalan melewatinya, aroma ruangan yang tercium seperti kedai kopi di persimpangan, yang juga mengingatkannya pada body lotion istrinya yang beraroma serupa. Akmal membuka matanya, kembali ke posisi semula, dan lanjut membaca surat.

          “Seminggu ini terasa menyakitkan untukku. Tidak ada ibuku, tidak ada yang menyayangiku, tidak ada yang membakar kulitku, rambutku, atau jari-jari kaki dan tanganku. Tidak ada yang mengajariku memasak, membahas buku bacaan, atau mencuci piring bersama. Orang-orang di sini menakutiku. Mereka menjejalkan makanan dari sendok kecil perak yang menyakiti bibirku. Padahal mereka bisa meletakkan makanan di lantai dan aku akan memakannya langsung dari sana, seperti yang biasa ibuku lakukan.”

“Kau pasti tidak akan percaya isi surat yang sedang kubaca,” ucap Akmal spontan yang mengakibatkan Dani sedikit terkejut. 

“Gadis itu menulis penyebab kebakaran?” 

“Dani, ini lebih dari itu.” Akmal menjawab dengan suara tercekat dan remasannya di kertas surat diperkuat.

Dani menatap Akmal dengan sorot mata teduh dan menenangkan. “Hei, kau tahu, kau mungkin sedikit tertekan karena istrimu sebentar lagi akan melahirkan. Tapi sungguh, tidak ada hal yang harus kau cemaskan. Istrimu akan menjadi ibu yang baik.”

Akmal duduk kembali dan menandaskan paragraf terakhir.

        “Aku merindukan ibuku. Sangat merindukan ibuku. Bahkan, hingga aku menulis surat ini, aku masih berharap kau menyelamatkannya, bukan justru menyelamatkanku. Aku tidak merasakan kebahagiaan karena harus berpisah dengan ibuku, dan aku yakin, ibuku pun merasa demikian. Kesendirian justru lebih menyiksaku daripada apa yang ibu lakukan terhadapku. Sungguh, aku tidak memiliki siapa pun lagi. Sejujurnya, aku merasa bahagia bisa tetap hidup, dan berterima kasih kepadamu karena menyelamatkanku. Tapi sungguh, aku merindukan ibuku.”

Tandas sudah surat itu. Kertas-kertas surat kusut karena digenggam terlalu erat. Sekarang beberapa noda seperti darah yang berusaha dihilangkan dan tinta yang meluber di beberapa huruf menjadi perhatian Akmal. Akmal berdiri, dan menyerahkan kertas-kertas itu ke Dani.

“Kau harus membacanya, seluruh tim harus membacanya,” tegas Akmal.

Dering telepon memenuhi ruang administrasi. Setelah dering ketiga, Rena mengangkat telepon.

“Akmal, telepon untukmu!” teriak Rena dari bilik yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari Akmal.

Akmal menerima gagang telepon. “Siapa?” tanyanya.

“Perempuan, entah siapa.” Rena meninggalkan biliknya setelah mengoper gagang telepon ke Akmal.

Akmal mendekatkan gagang telepon ke telinganya.  “Selamat siang, Akmal di sini, ada yang bisa dibantu?”

Suara napas berat, diiringi bunyi bising lain, yang tak bisa ditebak berasal dari apa, memenuhi telepon beberapa saat sampai Akmal berkata “Halo” lebih dari dua kali. Baru setelah itu terdengar suara serak dari seberang:

“Kau seharusnya tidak menyelamatkan anak itu…”

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here