Judul Buku : Suta Naya Dhadhap Waru: Manusia Jawa dan Tumbuhan
Penulis : Iman Budhi Santosa
Penerbit : Interlude (2017)
Jumlah hal. : xxx + 478 hlm.
ISBN : 6026250-42-1
Pernahkah Anda mendengar desa-desa di Jawa yang menggunakan nama tumbuhan? Mengapa masyarakat desa menamakan desa dengan nama tumbuhan? Bagaimana hubungan masyarakat desa dengan tumbuhan?
Setidaknya pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan mengantar kita pada buku setebal 478 halaman ini. Ketebalan buku ini juga menunjukkan betapa keras kepalanya Iman Budhi Santosa (IBS) dalam menghitung, menghimpun dan mendata desa-desa di Jawa Timur, Jawa Tengah dan DIY yang menggunakan nama tumbuhan.
Melalui referensi dari buku karangan K. Heyne berjudul Tumbuhan Berguna Indonesia jilid I-IV, IBS menguraikan, sebanyak 3395 desa menggunakan sejumlah 324 jenis tumbuhan di Jawa. Dari jumlah tersebut, jenis tumbuhan yang sering digunakan menjadi nama desa adalah: Jati, sebanyak 230 desa; Mojo, sebanyak 140 desa; Tanjung, 107 desa; dan disusul nama-nama tumbuhan lainnya.
Pria yang telah mangkat tiga tahun silam memberikan beberapa alasan mengapa terjadi kesamaan nama beberapa desa yang merujuk pada satu jenis tumbuhan tertentu. Pertama, persebarannya. Tumbuhan jenis tertentu memang memiliki persebaran yang begitu luas, yang barangkali memang banyak manfaat yang bisa didapatkan dari tumbuhan tersebut. Persebaran sebuah tumbuhan sangat memungkinkan beberapa desa memiliki nama yang sama.
Kedua, filosofi. Beberapa tumbuhan oleh masyarakat Jawa erat dikaitkan dengan filosofi kehidupan. Seperti misal, pohon jati yang sering diartikan sebagai sejati, sejatining diri. Sehingga dimungkinkan masyarakat mengambil nilai-nilai baik di balik nama tumbuhan sebagai harapan bagi masyarakat yang menghuninya.
Ketiga, fungsi. Beberapa tumbuhan memang memiliki fungsi dan guna bagi masyarakat. Seperti pohon jati yang sangat kuat, sering digunakan sebagai bahan bangunan, saka, atau perabotan rumah; atau daun pandan yang sering digunakan dalam kelengkapan dapur; atau waru yang sering digunakan sebagai pembungkus tempe. Dengan fungsi-fungsi yang membantu manusia, memungkinkan nama desa menggunakan nama-nama tumbuhan yang bermanfaat tersebut.
Tumbuhan Dalam Masyarakat Jawa
Tumbuhan memiliki kedudukan yang tidak sembarangan dalam kultur masyarakat Jawa. Sesaji dalam sebuah upacara adat misalnya, tak lepas dari unsur tumbuhan sebagai penyusunnya: mulai dari daun, bunga hingga buah.
Pada potret perkotaan tradisional, beringin besar hampir selalu ditemui di alun-alun, halaman keraton, rumah bupati, dll., yang bahkan usianya lebih tua dari penduduknya. Pohon yang memiliki nama latin Ficus benyamina itu adalah simbol atau penanda dari kekuasaan arisktokr di Jawa.
Jika kita beranjak menuju lanskap pedesaan, pohon lamtoro, trembesi, dan semacamnya akan berjajar di sepanjang jalan. Hampir pada setiap rumah, memiliki pohon yang ditanam di halaman depan: jambu, rambutan, sawo, dll.
Menuju ke belakang rumah, biasanya terdapat tanaman obat, empon-empon, atau tumbuhan yang bisa dimasak. Fungsinya agar tidak perlu merogoh uang apabila membutuhkannya, cukup memetik atau mengambil di belakang rumah.
Selanjutnya, di tegalan rumah biasanya ditanami tumbuhan yang hasilnya digunakan untuk bangunan. Seperti jati, sengon, waru, sono, dll. Adapun di sawah ditanami dengan tumbuhan palawija, seperti padi, jagung, ketela, dll.
Dalam bidang sastra, ada tradisi lisan yang disebut unen-unen, paribasan. Unen-unen dalam masyarakat Jawa tak sedikit yang menggunakan unsur tumbuh-tumbuhan; yang kemudian menjadi pelajaran dan pengajaran moral manusia dalam berkehidupan. Kapok lombok, gupak pulut ora mangan nangkane, donya ora mung sagodhong kelor untuk menyebut beberapa dari khazanah unen-unen yang masih dipegang erat oleh masyarakat Jawa.
Tumbuhan sebagai Sikap Wong Cilik
Penggambaran IBS ihwal tumbuhan dan manusia Jawa memang saling bertautan. Lantas, siapa yang dimaksud manusia Jawa dalam benak IBS? Adalah mereka yang menduduki posisi paling bawah dari stratifikasi masyarakat tradisional Jawa: wong cilik.
Kuntowijoyo (2003) menggambarkan kehidupan wong cilik sebagai mereka yang terpinggirkan dalam perkembangan kota, yang hanya sebagai penonton dari perayaan-perayaan yang diselenggarakan oleh keraton. Dalam hirarki tersebut, di atas wong cilik, ada raja dan priayi.
Selaras dengan itu, IBS menggunakan unen-unen “suta naya dhadhap waru” sebagai judul buku ini karena ungkapan tersebut dirasa sangat menggambarkan kehidupan wong cilik. Dalam memaknai suta naya dhadhap waru, IBS terlebih dulu membedah masing-masing komponen pembentuk unen-unen tersebut.
Suta naya adalah nama laki-laki yang telah dewasa; suta berarti anak, dan naya berarti tingkah laku, kebijaksanaan. Dalam khazanah nama di Jawa, Suta Naya tergolong dalam nama pasaran, nama yang tidak memiliki derajat ke-priyayi-an, atau dalam bahasa IBS, nama dari kaum pidak pidarakan [h. 2].
Kemudian dhadhap dan waru adalah nama tumbuhan di Jawa. Dhadhap dikenal sebagai tumbuhan yang bisa mengobati sakit pada balita. Sedang waru dikenal kayunya yang kuat dan daunnya yang biasa digunakan sebagai pembungkus tempe [h. 3].
Suta naya dhadhap waru adalah unen-unen yang menggambarkan bahwa posisi/derajat wong cilik adalah seperti tumbuhan. Dalam hal ini wong cilik posisi hidupnya ditentukan oleh penguasa, seperti tumbuhan yang eksistensinya ditentukan berdasarkan nilai gunanya pada manusia [h. 5].
Memang, pada dasarnya tumbuhan tidak lepas dari kehidupan manusia Jawa, baik raja, priayi maupun wong cilik. Namun, wong cilik berbeda dengan para penguasa tradisional yang dengan gagahnya menanam pohon beringin di depan halaman rumah sebagai simbol atas semat, drajat dan pangkat; ia yang menanam pohon beringin justru di tempat-tempat yang sakral: pepunden dan kuburan.
Begitu juga nama-nama tumbuhan yang sering digunakan sebagai nama desa, relatif pada wilayah-wilayah konsentris yang jauh dari hiruk-pikuk keramaian kota, jauh dari tangan-tangan keraton.
Bahkan bukan hanya sebagai nama desa belaka, tumbuhan di pedesaan menjadi sumber kehidupan bagi penduduknya; bagi mereka, meminjam bahasa Daldjoeni, yang berpangupa jiwa agraris: bertani dan bercocok tanam. Sebut saja praktik feodalisme-tradisional di Jawa, di mana raja dan para pejabatnya digaji melalui hasil bumi dari para cacah: besaran jumlah petani dalam sebuah desa yang wajib memberikan hasil bumi kepada para pejabat lungguh.
Sehingga sudah barang tentu, pertautan intim tumbuhan dengan manusia Jawa adalah pada masyarakat desa, wong cilik, yang menempatkan tumbuhan tidak cukup hanya sebagai pelengkap atau simbol belaka; melainkan sebagai laku hidup, penyambung hidup, atau bahkan lebur dalam ketenteraman hidup wong cilik; betapapun kondisi kehidupannya tidak masuk akal bagi kelayakan manusia modern, dalam bahasa IBS.