Sumber foto dari: Tirto.id
Sumber foto dari: Tirto.id

Sutan Takdir Alisjahbana adalah seorang budayawan, sastrawan, dan ahli tata bahasa Indonesia yang lahir pada 11 Februari 1908 di Natal, Sumatra Utara. Ia mengawali pendidikannya di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Bengkulu dari tahun 1915 hingga 1921. Setelah lulus, Sutan Takdir memilih melanjutkan pendidikannya di sekolah calon guru pribumi.

Karirnya sebagai pendidik dimulai di HIS Palembang, tempat ia mengajar dari tahun 1928 hingga 1930. Kemudian, ia pindah ke Jakarta untuk mencari peluang pekerjaan baru. Di sana, Sutan Takdir bekerja sebagai redaktur di penerbit Balai Pustaka dan memimpin majalah Pandji Poestaka dari tahun 1930 hingga 1942.

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), ia berperan sebagai penulis ahli dan menjadi anggota Komisi Bahasa Indonesia di Jakarta. Setelah kemerdekaan, Sutan Takdir menjabat sebagai Ketua Komisi Bahasa Indonesia selama periode 1945 hingga 1950, di mana ia turut berkontribusi dalam pengembangan bahasa Indonesia.

Sutan Takdir Alisjahbana, bersama Amir Hamzah dan Armijn Pane, merupakan tokoh penting dalam perkembangan sastra Indonesia. Ketiganya sering mengirimkan sajak-sajak mereka ke majalah Pandji Poestaka, namun merasa perlu untuk mendirikan majalah sastra yang independen dari Balai Pustaka. Ide ini didukung oleh P.E. Dahler, seorang tokoh Volksraad yang pro-Indonesia, yang kemudian mengajak mereka untuk menawarkan konsep majalah Poedjangga Baroe kepada penerbit G. Kolff & Co.

Poedjangga Baroe menjadi majalah sastra yang berfokus pada isu-isu kebudayaan dan politik. Dengan sub judul “pembawa semangat baroe dalam kesoesasteraan, seni, keboedajaan, dan soal masjarakat oemoem,” majalah ini mencerminkan pengaruh Sumpah Pemuda dan bercita-cita menjadi pionir dalam kemajuan sastra Indonesia.

Sutan Takdir Alisjahbana dikenal sebagai tokoh pembaharu sastra yang berpandangan liberal. Pemikirannya yang pro-modernisasi dan pro-Barat sering kali membuatnya berbeda pandangan dengan cendekiawan Indonesia lainnya, terutama yang anti-materialisme, anti-modernisasi, dan anti-Barat.

Sebagai salah satu tokoh besar dalam bidang sastra dan kebudayaan di Indonesia, Sutan Takdir Alisjahbana menerima berbagai penghargaan bergengsi. Di antara penghargaan tersebut adalah Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1970 dan menjadi Honorary Member of The Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) dari Belanda pada tahun 1976.

Pada tahun 1979, ia dianugerahi gelar Doktor Kehormatan (Honoris Causa) dari Universitas Indonesia. Sutan Takdir juga menerima penghargaan internasional, seperti The Order of the Sacred Treasure, Gold and Silver Star dari Kekaisaran Jepang pada tahun 1987. Di tahun yang sama, Universitas Sains Malaysia memberikan gelar Doktor Kehormatan (Honoris Causa) kepadanya.

Kemudian pada tahun 1990, Sutan Takdir juga dianugerahi gelar Doktor Kehormatan (Honoris Causa) dari School For Oriental And African Studies, London. Penghargaan-penghargaan ini mencerminkan kontribusi besarnya dalam mengembangkan sastra dan kebudayaan Indonesia di kancah nasional dan internasional.

Sepanjang hidupnya, Sutan Takdir Alisjahbana menciptakan banyak karya penting yang mencakup berbagai bidang, mulai dari sastra hingga kebudayaan, bahasa, filsafat, pendidikan, seni, sosial, agama, dan sejarah.

Dalam sastra, ia menulis novel Tak Putus Dirundung Malang (Balai Pustaka, 1929) dan Layar Terkembang, yang merupakan salah satu karyanya yang paling terkenal. Layar Terkembang menggambarkan pergolakan batin seorang wanita muda dalam menghadapi perubahan zaman. Selain itu, ia juga menulis kumpulan puisi berjudul Tebaran Mega dan esai sastra seperti Kebangkitan Puisi Baru Indonesia.

Dalam bidang bahasa, Sutan Takdir menulis karya penting seperti Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia dan Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Modern, yang merupakan kumpulan karangan tentang perkembangan bahasa Indonesia. Ia juga terlibat dalam diskusi kebudayaan yang memicu polemik besar pada tahun 1936 melalui esainya dalam buku Polemik Kebudayaan, yang disunting oleh Achdiat K. Mihardja. Buku ini pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka dan mencapai edisi ketiga pada tahun 1977.

Dalam ranah filsafat, ia menulis buku Pembimbing ke Filsafat (Dian Rakyat, 1945) dan Kelakuan Manusia di Tengah-Tengah Alam Semesta (Dian Rakyat, 1983). Ia juga membahas masalah pendidikan dalam bukunya Museum Sebagai Alat Pendidikan (Dian Rakyat, 1954).

Sutan Takdir juga berkontribusi dalam bidang seni, dengan artikel seperti Perkembangan Seni Indonesia dan Kebudayaan yang Sedang Tumbuh. Dalam bidang sosial, ia menulis artikel Pemandangan dalam Dunia Surat Kabar yang diterbitkan di Pandji Poestaka (Tahun VII, 1930). Untuk isu agama, ia menulis artikel Pembangunan Ekonomi dan Etik Ekonomi Islam yang dimuat di Ilmu dan Budaya (Thn IV, No. 3, April 1982).

Tak hanya itu, ia juga menulis tentang sejarah, salah satunya adalah artikel Gandhi, Perlawanan Mengalah di India yang diterbitkan di Pandji Poestaka (Tahun VIII, No. 41, 1930). Karya-karyanya mencerminkan pemikirannya yang luas dan pengaruhnya dalam berbagai bidang di Indonesia.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here