Dalam film Autobiography, hidup seorang tokoh laki-laki remaja delapan belas tahun bernama Rakib. Ia bekerja sebagai penjaga rumah singgah milik pensiunan militer bernama Purna yang tengah mencalonkan diri sebagai bupati. Kedua tokoh ini diperkenalkan hampir di waktu bersamaan pada permulaan cerita.
Saat itu, Rakib tengah asyik menonton pertandingan catur dalam siaran televisi. Ampas kacang berserakan di atas meja. Suasana di dalam ruangan terkesan pengap, minim sinar matahari, dan tak terurus.
Di tengah keasyikan Rakib menikmati waktu malas, tiba-tiba terdengar suara deru mobil dari balik gerbang halaman. Mobil itu meminta masuk ke halaman dan membunyikan klakson berkali-kali, seakan tahu benar bahwa dirinya memang bukan orang asing di rumah itu.
Rakib sempat canggung menghadapi majikannya itu. Pasalnya, mereka tak pernah bertemu. Sang jenderal saja mengaku, ia terakhir berkunjung ke rumah itu belasan tahun lalu. Ketika Rakib masih anak-anak, saat yang menjalankan peran sebagai pembantu masihlah ayahnya Rakib, Amir.
Dalam cerita, Amir mendekam di penjara. Ia ditahan karena diduga terlibat konflik menghalang-halangi proyek pembangunan PLTU di kawasan tempat tinggal mereka.
Rakib sempat ragu, apakah orang yang mengendarai mobil fortuner itu benar-benar adalah majikannya atau bukan. Saat membereskan kamar tempat sang majikan beristirahat, ia menengok dan memperhatikan sebuah lukisan berukuran besar, yang memperlihatkan potret masa muda Purna. Wajah dalam lukisan itu memang tak berubah banyak di dunia nyata.
Awalnya, Rakib hanya terlihat canggung saat berhadapan dengan Purna. Tetapi kecanggungan itu terkadang seperti orang yang ketakutan tanpa sebab, paranoid. Setelah kehadiran Purna di rumah, Rakib tak pernah segagah saat ia menonton pertandingan catur di televisi. Ia berbicara dengan Purna tanpa saling menatap mata, dan terus menundukkan kepala. Jari-jarinya bergerak cemas.
Kecanggungan bercampur rasa takut ini, sebenarnya tak terlalu terjelaskan dalam cerita. Mulanya saya berpikir, pertanyaan seputar latar belakang karakter dan psikis tokoh Rakib akan terjawab melalui ayahnya. Misalnya, kenapa Rakib begitu menutup diri dari majikannya. Cerita apa yang pernah didengarnya dari Amir?
Pertanyaan itu mengambang setidaknya sampai insiden perusakan baliho kampanye sang jenderal terjadi. Dalam perjalanan mereka berkeliling desa setelah kampanye, Purna yang saat itu ditemani Rakib mendapati baliho kampanyenya terkoyak-koyak berlubang. Naluri militer kemudian muncul pada adegan ini. Purna melihat sekitar seakan mengawasi medan perang dengan mata skeptis.
Selama perjalanan menemani Purna berkampanye, kecanggungan Rakib terhadap majikannya mulai mencair. Ia melihat Purna sebagai sosok yang demikian bapakisme. Sosok yang berusaha menjadi anti-tesa dari bapak yang selama ini dikenal Rakib. Saya menyebutnya anti-tesa, sebab dalam cerita film, Rakib tak memiliki hubungan yang baik dengan bapaknya. Ia bahkan terlihat enggan bertemu saat dipaksa ikut bersama Purna berkunjung ke penjara.
Sekali lagi, kenapa hubungan antara Rakib dan Amir retak, pun tak terjelaskan. Tetapi saya menduga-duga, mungkin karena bapaknya terlalu ikut campur dalam pergerakan melawan proyek pembangunan PLTU dan membuatnya berakhir di penjara. Akibatnya, Rakib hidup sendiri dalam kesepian. Ya, hanya kesepian. Sebab rasanya, tak mungkin majikannya yang seorang jenderal itu, membiarkan pembantu yang bahkan sudah bekerja secara temurun terjebak dalam kondisi kesulitan ekonomi. Apalagi, uang tampaknya tak menjadi soal bagi pensiunan jenderal yang mencalonkan diri sebagai bupati. Meski nanti, kita akan mendengar satu pernyataan moral dari Amir, yang kira-kira bunyinya begini, “Saya sudah terlalu banyak merepotkan bapak, tak ingin merepotkan lagi.”
Pernyataan di atas mengesankan, Amir bukanlah pembantu yang gampang meminta-minta ke majikan. Bahkan ia tak mau meminta “bantuan politik” kepada Purna saat lahan yang diperjuangkannya hendak dirampas pihak PLTU.
Kendati Rakib tak begitu mengerti bagaimana cara menjadi pembantu yang baik, namun ia tahu ayah dan kakeknya hidup dari pekerjaan itu. Kesadaran, yang barangkali terwariskan itu, membuat Rakib sempat canggung berada di sisi purna. Ia merasa sosok yang didampinginya adalah sesuatu yang besar dan adikuasi, sedangkan dirinya terlalu hina dan kecil.
Sepanjang film, kita melihat batas kekuasaan yang jelas antara Rakib dan Purna, antara majikan dan pembantu. Hubungan antara dua status inilah yang menjadi fondasi dari bangunan cerita menuju puncak konflik. Sutradara Makbul Mubarak menyekemakan alur cerita dengan hati-hati dan lambat. Sambil menegaskan, bahwa kontras perilaku tokoh-tokohnya sedang menunjukkan hirarki kekuasaan yang tebal.
Wijaya Herlambang (2013) dalam bukunya Kekerasan Budaya Pasca 1965, menghubungkan bahasa dan potensi fungsi kekerasan yang terjadi di lingkungan masyarakat. Herlambang mengindikasikan bahasa selalu membawa muatan ideologi tertentu dan karenanya tak lepas dari intuisi kekuasaan. Sifat ideologis bahasa ini juga sering digunakan untuk menindas dan juga menyerang kelompok lain menggunakan kekerasan simbolik.
Film Autobiography adalah penayangan kekerasan simbolik itu. Sejak Rakib bertemu Purna misalnya, tanpa tedeng aling-aling, ia langsung memposisikan diri sebagai pembantu hanya karena Purna datang menggunakan mobil. Padahal, ia sendiri belum begitu yakin, apakah sosok yang hadir di hadapannya, adalah majikannya atau bukan.
Purna dalam pembawaan bapakisme-nya, pun secara dingin berhasil menjadi pusat kekuasaan sekaligus sumber kekerasaan. Sepanjang film, Rakib yang tak lepas dari sisinya, tak hanya merasakan ketertekanan, tetapi diam-diam terobsesi ingin menjadi seperti Purna.
Clifford Geertz (2017) dalam bukunya Negara Teater, menyebut obsesi-obsesi kekuasaan muncul di kalangan penguasa kerap tanpa alasan. Bahkan, mereka sengaja mencapai kekuasaan hanya untuk membuat seremoni-seremoni besar dengan kemampuan memobilisasi massa ke tempat seremoni digelar (misalnya kemenangan pilkada dalam konteks film ini). Rakyat biasa, seperti petani, babu, atau sipil, akan menjadikan seremoni itu sebagai tontonan, dan diam-diam meneladaninya. Sampai pada suatu titik, rakyat akan bergerak dalam kesunyian untuk bisa mencapai level kekuasaan yang sama seperti sang penggelar pesta; Geertz mengistilahkannya sebagai ‘mitos tentang pusat sebagai teladan’.
Lalu secara paradoks, penguasa kerap mengalami penggulingan dari tampuk kekuasaannya oleh rakyat, dengan cara yang ditradisikannya sendiri. Sirkulasi kekuasaan pun berputar dengan pola yang sama. Dalam film Autobiography, Purna mengajari Rakib cara menembak dengan senapan, bahkan memberitahunya melalui kalimat-kalimat bijak soal nilai-nilai hidup. Andai saja ia tak meneladani Purna dan tak diajarkan cara menembak, mungkin Rakib tak akan seberani itu melesatkan tembakan ke badan sang jenderal saat menjelang akhir cerita. Dalam adegan ini, penonton mulai bisa merasakan dan menebak arah film, bahwa sirkulasi kekuasaan sebentar lagi akan terjadi dan berputar dengan Rakib berada di puncak.
Simbol-simbol kekuasaan juga diproyeksikan tidak hanya melalui bahasa, juga kode-kode pakaian, postur tubuh. Bourdieu dalam Maizier (2009) mengatakan, fitur-fitur yang melekat pada tubuh aktor, bukan hanya untuk memahami fungsi kognitif simbol-simbol, juga untuk melihat fungsi sosial simbol-simbol itu. Dan, sutradara Makbul Mubarak bahkan tak membiarkan kode-kode pakaian seperti seragam sang jenderal hilang begitu saja meski sudah beraktivitas sebagai pensiunan.
Dalam sebuah adegan, Rakib diberikan kesempatan mengenakan seragam militer yang dikenakan Purna sewaktu muda. Karena dirasa pas, ia diizinkan terus mengenakannya. Selama mengenakan pakian ini, Rakib dapat kesempatan pula bertingkah bak seorang jenderal betulan, terutama saat menyelesaikan perkara-perkara politik yang mengganggu urusan kampanye sang majikan.
Pola adegan itu akan mengingatkan penggemar Marvel saat Peter Parker berubah menjadi hitam dalam Spider-man 3. Peter Parker memang menjadi lebih kuat setelah menggunakan sisi gelapnya, tetapi ia sadar, kekuatan itu membuatnya lepas dari dirinya yang sejati.
Autibiography tayang secara terbatas di bioskop Indonesia sejak Januari 2023 dan layarnya masih belum turun di beberapa daerah hingga awal Februari kemarin. Film ini penting untuk ditonton, disimak dan dicatat dalam daftar panjang film yang merefleksikan kekuasaan militer di Indonesia.
Apalagi, selama ini, kebanyakan film yang mengangkat “citra kekuasaan militer Indonesia” secara umum bercerita dari mata rakyat atau dimulai dari lokus-lokus perkotaan, sebutlah; di balik 98 (2015), Djakarta (1966), Pengkhianatan G 30 S PKI (1998), dan Istiralatlah Kata-kata (2016). Sedangkan Autobiography secara adil mengajak penonton melihat jalannya cerita dari mata seorang jenderal yang bergerak di pedesaan sebuah kabupaten dan seorang babu yang lugu lagi penurut.
Mulai dari penggambaran panggung domestik (rumah) dan konflik politik (pilkada) yang sempit, melalui tokoh-tokoh yang hidup dalam lapisan kekuasaan yang demikian tebal, Autobiography mengajak kita sadar, bahwa tradisi kekerasaan masih ada dan bersemayam dalam unsur paling inti kehidupan sosial manusia; yakni bahasa.