Demokrasi memang sistem terbaik, di antara sistem-sistem kenegaraan lainnya. Hampir semua keyakinan ini diadopsi dari Republik ala Plato. Meskipun syarat yang diajukan oleh Plato pada Negara Ideal amatlah ketat. Salah satunya, antara lain adalah, mayoritas populasi harus filsuf. Dalam Negara Modern, Negara-Bangsa maksudnya, hari ini kurang lebih 136 Negara telah menerapkan sistem demokrasi. Adapun fondasi kenegaraan ditopang oleh produksi pengetahuan yang berada di Perguruan Tinggi, selain itu, tentu Konstitus Kenegaraan. Tetapi dalam konstitusi Indonesia, sejak November lalu, banyak orang menganggap cara Negara memerlakukan Konstitusi, melalui lembaga tertingginya, Mahkamah Konstitusi (MK) dihina. Masalah itu yang memunculkan meme, MK berarti Mahkamah Keluarga.
Gibran masih menjabat Walikota Solo. Sementara itu, kontestasi politik nasional, melalui Tim Pemenangan Prabowo sebagai Presiden mengambil Gibran sebagai Wakil Presiden. Permasalahannya kecil, karena yang lebih besar terjadi setelahnya. Dalam regulasi tahun 2017 UU 17 menyebutkan syarat menjadi calon presiden berusia 40 tahun, sementara Gibran baru berusia 32 tahun. Tanggapan terbaru hari ini, dari serangkaian polemik yang ada, Anwar Usman dipecat, karena dianggap curang merubah putusan itu menjadi minimal berusia 30 tahun. Dengan kata lain, pengamat, seperti Rocky Gerung misalnya, mengatakan upaya ini untuk melanggengakan dinasti politik Joko Widodo.
Bahkan tidak hanya berhenti pada Rocky. Penyair besar dan mantan pendiri Tempo, Goenawan Mohamad (GM) merasa kecewa dan menangis karena masalah ini. Dengan Ironi GM menanggapi, Anwar Usman seperti tokoh Saudagar Venezia dalam drama Shakespeare. Seorang iblis yang mengutip ayat suci untuk kepentingannya pribadi, lalu keluar dengan sumringah. Lebih jauh, tokoh-tokoh Reformasi, yang telah mengajukan penguatan dalam aspek hukum, setelah habis hukum negara dibuat berpihak pada rezim Orde Baru, merasa keputusan MK melalui Konstitusi justru mencederai cita-cita Reformasi.
Bagaimana menilai permasalah ini? Apakah memang, keputusan MK telah melenceng dari konstitusi kenegaraan? Benarkah politik, dengan perangkat hukum yang kini disusun hanya bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan Jokowi? Adakah titik temu, atau barangkali kacamata yang lebih luas untuk melihat masalah ini, daripada sekedar, misal, sentimen kekecewaan pendukung yang pro-Jokowi, atau dari pihak oposisi. Benarkah hukum, seperti yang banyak Netizen lontarkan telah tumpul. Dengan kata lain, tidak berpihak kepada rakyat. Semakin rezim berkembang, bukankah hukum semakin tumpul ke atas dan tajam ke bawah?.
Bagi Mahasiswa Hukum, atau setidaknya yang memiliki akses dan perangkat terlibat dalam pemahaman Ilmu Hukum dan Ketatanegaraan tentu mampu melihat ini. Hanya saja, hukum tidak mungkin lepas dari dinamika politik yang hadir dalam masyarakat. Dinamika hukum ini, seringkali meleset dari logika-logika ketatangeraan yang ideal, dengan acuan Trias Politica-nya. Tiga lembaga pusat aktivitas ketatangeraan, yudikatif, legislatif dan eksekutif, seringkali berdebat hanya pada tataran prosedural. Sederhanya, jika anda ingin menyuarakan kepentingan publik, masuklah ke dalam parlementer, mengikuti tata cara kepartaian bertarung di parlemen, dan silahkan adu gagasan anda.
Dewan Perwakilan Rakyat, sebagai lembaga perwakilan rakyat, atau dalam Demokrasi Keterwakilan, Indonesia melalui Parlemen Legislatif ini mewadahi suara rakyatnya. Hanya seringkali, sekali lagi, dalam tataran substantif, seringkali masalah ini tidak dibatas. Misalkan, misalnya, seperti pernyataan banyak netizen, mengapa semakin banyak produk hukum, justru dalam masalah Agraria mengalami ketimpangan yang meningkat secara signifikan. Apa yang salah?
Keadaban Politik. Inilah yang ditawarkan oleh Luthfi J Kurniawan, dalam bukunya Keadaban Politik. Luthfi meyakini, dalam bukunya yang lain, Demokrasi Tanpa Nalar, argumen yang serupa dengan Plato. Hanya dengan kekuatan nalar, Demokrasi bisa berjalan Ideal. Tanpanya, isi politik hanya omong kosong belaka dan permainan kekuasaan tanpa partisipasi publik yang sehat. Sehat dalam kata lain, akal sehat yang membantu manusia mencari solusi permasalah publik yang dihadapinya dalam Negara Demokrasi.
Masyarakat Indonesia masuk jenjang modern. Ciri khas dari Negara Modern, antara lain, pendapat popular mengatakan ia akan memasuki tahap Negara Kesejahteraan (Welfare State) . Sementara dalam Negara Dunia Ketiga, Negara Demokrasi masih jauh untuk belajar tentang bagaimana mengelola birokrasi dengan profesionalitas. Birokrasi yang mengedepankan Common Good. Dalam konteks Indonesia, peralihan dari sistem sosial bercorak Feodal, menuju Negara Bangsa yang baru – pengaruh kolonialisme – sangat cepat transisinya. Kesiapan bernegara, berubah menjadi kesiap-siagaan, sehingga politisi cenderung kaget menghadapi problem sosial yang hari ini semakin kompleks. Hanyalah Intelektualitas, yang menurut Luthfi yang mampu menopang ini. Secercah cahaya dalam gelapnya dunia politik.
Keadaban, dalam istilah Luthfi, adalah adab (peradaban) yang menopang sistem sosial-masyarakat. Di dalamnya, bukan hanya mengandung dimensi etis, meskipun etika menjadi prinsip dasar dalam melakukan hubungan sosial. Kurun 50-98, dengan tanda adanya Reformasi, penjaga keadaban politik sebagian besar berasal dari Intelektual. Intelektual, adalah seorang yang memiliki prinsip teguh dalam kehidupan sosial, untuk menerapkan pengetahuan yang telah dimilikinya. Tetapi dalam kondisi hari ini, seolah semua bubar.
Dalam kondisi jumud, jalan panjang yang penuh sekat, Negara Indonesia yang memiliki banyak pengalaman tragedi, mulai dari 65, sampai Trisakti, bahkan Rempang hari ini misalnya, sulit menyaksikan kapasitas intelektual seorang pelajar, atau minimal, dalam Bahasa Luthfi intelektualitas untuk kegunaan diri sendiri menawarkan gagasan dari sekat dan lorong gelap ini. Adalah Richard Albert, barangkali yang mampu menawarkan ini. Kendati orang ini bukan berasal dari Indonesia, tetapi dari Amerika.
Negara, sekali lagi, memilki Konstitusi. Di setiap negara, Konstitusi menjadi muatan nilai universal, yang menjadi pijakan untuk menyusun perundang-undangan. Regulasi dan hukum secara instrumental yang lahir ke ruang publik. Akan tetapi, Konstitusi, kadangkala menjadi fondasi pemilik kepentingan yang jauh dari kata publik, atau kepentingan segelintir kelompok saja. Kelompok hari ini, yang cenderung berpihak kepada Oligarki misalnya. Konstitusi macam ini, dalam paradigma baru, disebut dengan Konstitusionalisme.
Richard Albert membawa beberapa data, dari beragam Negara yang mengalami proses Demokratisasi, dan menuju ke pembenutkan Negara Demokrasi yang berdasar hukum. Komparasi yang ia sajikan, bukan sekedar berkaca kepada sistem tekstual, melainkan melibat konteks, dan kadang ia menekankan pada teks atau kadang juga pada konteks. Dalam Negara Demokrasi, Richard Albert menyajikan ragam cara pandang melalui perspektif doktrin, sejarah maupun paradigma teoritik.
Di tengah kejumudan MK hari ini, Albert dan Luthfi meski jauh dari kata sebanding kiranya perlu karya mereka dibaca. Selaras dengan informasi hari ini banal, tiga buku yang lahir dari tangan mereka, barangkali bagi publik, atau mahasiswa hukkum secara khusus mampu menjadi oase tempat singgah sementara untuk melihat persoalan secara lebih jeli dan luas.
[…] Indonesia, misalnya, jalinan praktik oligarki dengan proses politik telah dianggap sebagai ancaman nyata terhadap demokrasi, di mana pemilihan […]