MENULIS FIKSI

Beberapa tahun belakangan, saya jatuh cinta dengan kegiatan menulis. Barangkali itu dipicu oleh buku-buku bagus (menurut saya), yang telah saya tamatkan. Ya, meskipun buku yang saya tamatkan tak jauh dari hal-hal yang berbau fiksi. Ada cerpen, novel, dan puisi.

Kegemaran melahap fiksi itu pun menelurkan kegemaran menulis. Ya, fiksi juga. Kadang puisi, kadang cerpen, kadang kata-kata picisan yang saya muat di instagram dengan akun marimengurai. Mungkin tertarik, sila diikuti.

Tidak seperti bernapas, terkadang saya bosan dengan tema menulis yang saya lahirkan: fiksi dengan pembahasan cinta atau keluarga. Mungkin kedua hal itu amat dekat dengan saya, atau mungkin saya yang kurang mengkonsumsi fiksi dari berbagai genre. Bosan dan merasa stuck, saya pun berdiskusi membahas dunia “nulis” dengan teman yang keranjingan bacaan fiksi, juga.

Itu tiga tahun yang lalu, saya berjumpa dengan teman saya dari jurusan sosiologi. Barangkali kamu heran, kenapa diskusi soal kepenulisan dibincangkan bersama mahasiswa jurusan sosiologi? Tapi begitulah adanya. Saya menganggap teman saya ini sudah mengonsumsi buku sejak orok (saya kadang curiga kalau waktu orok, alih-alih ASI, dia lebih memilih mengenyot buku). Singkat cerita, saya berdiskusi dengannya. Saya ingat betul tentang saran dari dia, “kalau mau berkembang dengan tulisan diksi yang beragam, bacalah novel terjemahan atau novel sastra dengan berbagai genre, jika ada kata atau kalimat yang tidak kamu pahami, teruslah membaca sehingga ‘kata baru’ yang kamu temukan itu sudah tidak asing lagi bagimu ketika kamu menemukannya di lain bacaan”.

Sejujurnya, saya memang suka membaca karena tema bacaannya seputar cinta. Tapi lambat laun saya sadar kalau tema bacaan saya cuma itu-itu saja, saya tak akan bisa berkembang. Saya kemudian meluncur untuk membeli novel sastra lawas atau novel dengan genre selain cinta. Saya mendapati novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka. Satu dua halaman saya tertegun, sedikitnya karena untaian kata yang agak membingungkan, selebihnya karena ternyata tema cinta bisa dibentur-samakan dengan adat istiadat setempat. Ini sama sekali bukan kisah picisan, ini mahakarya, ujar saya kala itu. Ya, kamu mungkin beranggapan saya alay atau lebay, tapi begitulah saya ketika pertama kali membaca novel sastra. Saya terus melahap halaman demi halaman dari novel menakjubkan itu. Dari alur cerita, bahasa yang digunakan, juga dialog tokoh begitu mengesankan—meski kerap kali saya berhenti sejenak dan mencari makna kata asing yang saya temukan dalam bacaan. 

Selang beberapa tahun semenjak saya membaca novel dari Hamka itu, saya mulai mencari sekaligus membaca karangan dari penulis lain dengan tema yang juga lain. Katakanlah novel Sherlock Holmes untuk genre detektif, series Supernova oleh Dee Lestari untuk genre fantasi, atau genre persahabatan sekaligus komedi dari novel Para Bajingan yang Menyenangkan oleh Puthut EA.

Dalam pencarian serta pembacaan yang saya lakukan, saya mencoba menulis serta melakukan uji coba berupa menempatkan pilihan kata-pilihan kata segar yang saya dapatkan dari kegiatan membaca. Tapi tetap saja saya tak pernah puas, sejurus dengan itu saya merasakan ada sesuatu yang menarik saya dari dalam, ia bukan hantu atau keinginan jahat, ia adalah sesuatu yang dekat sekali dengan saya. Ialah cinta dan keluarga. Saya merenungkan hal tersebut. Mendiskusikan ulang dan melakukan riset kecil-kecilan secara mandiri, hingga saya sampai pada kesimpulan: mungkin saya cocoknya memang di sini, di cinta dan di keluarga, toh saya bisa sesekali membenturkannya dengan berbagai genre, meski muara ceritanya adalah soal cinta. Kalaupun pada masa mendatang, saya mengubah genre tulisan, ya tidak apa-apa, yang penting saya tetap “menulis”.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here